opini

GOLPUT DAN KEKUATAAN UANG DALAM PILKADA

GOLPUT DAN KEKUATAAN UANG DALAM PILKADA

Oleh Syamsul bahri, SE (Conservation di TN Berbak)

Pada Pilkada baik Gubernur maupun Bupati dan Wali kota di Propinsi Jambi pada tanggal 9 Desember 2015 telah melalui fase dan tahapan yang telah dilakukan. Jika kita cermati kondisi Pelaksanaan Pilkada yang akan berlangsung, kecenderungan banyak pasangan baik incumbent yang mendominasi akan bersaing dengan pasangan calon pendatang baru yang justru pandatang lama, dalam frame fakta kecenderungan paslon terlalu dinina bobok dengan sebuah fakta dalam dukungan semu, hal ini sudah banyak terbukti, bahwa data dari peta politik hasil pemantauan oleh tim ”seakan-akan berpihak” pada Paslon tersebut, ya tentunya pada hari H fakta itu akan terbukti, sehingga kajian dan analisa Ilmiah belum bisa memprediksi kondisi ini, karena ada sebuah kekuatan ”invisible hand” yang bermain justru menjelang hari (H), hal ini lebih disebabkan paling tidak ada 2 hal yaitu GOLPUT dan Kekuatan Uang.

Dari berbagai sumber dalam pelaksanaan Pilkada bahkan Pemilu baik Legeslatif, Presiden, munculnya golongan putih (Golput) dalam setiap event demokrasi tidak mungkin untuk dihindari, dan memang itu sebuah pilihan. Golput itu muncul lebih dilatar belakang menurut beberapa pengamat adalah instrumen Demokrasi yang terimplementasi dalam pemilu atau Pilkada yakni antara lain (1). Figur kandidat yang ditetapkan mealui rekruitmen mekanisme Parpol yang seharusnya dengan parameter profesional, moral, dan nilai jual di tengah masyarakat, ternyata kandidat yang muncul dinilai masyarakat tidak atau belum aspiratif dan tidak Akseptabel; (2) unsur nepotisme dari pihak parpol tertentu yang membuat masyarakat jenuh; (3) faktor yang juga paling dominan yang menjadi penyebab golput adalah sikap nepotisme pihak-pihak tertentu dalam menetapkan Kandidat, sedangkan dalam kondisi riil bertentangan dengan keinginan masyarakat secara umum hal itu akan memengaruhi orang untuk tidak memilih alias memilih untuk golput.”

Walaupun pilihan tersebut tidak mendukung upaya demokrasi, munculnya golput bukan hanya disebabkan oleh sebuah pilihan, melainkan disebabkan belum sempurnanya pelayanan Administrasi kependudukan sebagai acuan oleh KPUD dalam memberikan informasi dan pelayanan untuk warga negara yang akan menyalurkan hak politiknya, antara lain lokasi dan tempat tinggal pemilih yang sangat sulit di jangkau, persoalan DPT yang masih belum selesai dimaknai sebagai keteledoran administrasi dan lain-lain.

Pada hal kondisi tersebut ini menyebabkan hak politik seseorang hilang, hak konstitusi yang tersalurkan menjadi bobot nilai tingkat keberhasilan pesta demokrasi dalam setiap pemilu demokratis, secara umum, gulput itu muncul disebabkan oleh Sistim Managemen Pelayanan dan informasi Publik yang meliputi hak dan tanggung jawab pemilih yang belum dilakukan secara optimal, sampai pada calon pemilih.

Sangat disadari bahwa dalam percaturan Politik, posisi dan kekuatan uang teramat penting, seperti sebuah kendaraan pelumas mesin, uang adalah energi untuk menggerakkan partai, tanpa uang, partai politik tidak akan berbuat banyak.

Memang difahami demokrasi itu tidak dinilai dari besarnya ongkos demokrasi, namun dinilai dari tingkat partisipasi aktif dan positif dalam demokrasi tersebut menjadi hal yang sangat menentukan dalam demokrasi, dan berdemokrasi juga tidak harus menelan ongkos yang mahal, namun antara peserta demokrasi yang memiliki modal dan kekuatan Uang yang kuat dengan yang lemah bisa bersanding dan berkompetisi secara wajar dan berazaskan kelayakan demokrasi berjalan seiring dan sejalan dalam tatanan hormonisasi demokrasi, dan ini mengindikasikan sebuah demokrasi yang sehat.

Namun jika dalam sistem demokrasi tersebut memberi peluang kepada transasksi suara, ini akan dimanfaatkan untuk mendapatkn kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli.

Fakta tersebut baik beli suara, beli kursi dalam penentuan persyaratan administratif untuk menjadi Paslon, serta beli pengaruh dalam demokrasi menjadikan uang bukan lagi sebagai pengerak partai, bahkan telah berubah menjadi momok bagi balon lain, bahkan para Balon sudah ber”kalkulasi” untuk mendapat suara melalui transaksi suara, semetara di tingkat lapangan, kondisi tersebut memang cukup nyaman untuk dilakukan transaksi politik dalam bentuk Lelang Suara Rakyat.

Hali itu lebih disebabkan oleh tingkat pemahaman dan pendidikan politik yang masih lemah, tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, kemiskinan dan tingkat pendapatan yang lebih cendurung memperkuat terjadi transaksi bahkan lelang suara di tingkat akar rumput.

Penggabungan antara aktor politik secara ekonomi cukup kuat, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman politik yang rendah serta kebutuhan ekonomi pemilih menjadikan katalisator berkembangnya lelang suara (tersembunyi) di tingkat lapangan sangat sulit untuk dihindari.

Lelang suara, mungkin akan menjad trendy dalam demokrasi saat ini, karena ada kecenderungan masyarakat sangat pasif dalam demokrasi, dan mereka akan berartisipasi dalam demokrasi, siapa yang bisa membayar suara mereka dengan angka tertinggi, walaupun pada awalnya negosiasi dari nilai terendah sampai tertinggi mereka terima, namun yang akan menjadi pilihan mereka cenderung pada nilai tertinggi, bahkan tidk menutup kemungkinan sang golput akan larut dalam proses lelang suara ini.

Kondisi ini sesungghunya sudah terbaca, hal dapat terlihat dari komposisi Kandidat yang muncul saat ini muncul sebagai tokoh yang ditokohkan kecenderungan dalam proses waktu yang relative singkat, karena popularitas, karena kekuatan Uang, yang tentunya proses “karbitnasasi” ini akan memunculkan tokoh yang secara mutu dan pemahaman demokrasi dan tanggung jawab masih dipertanyakan akan membuahkan hasil jika mereka menjadi Kepala Daerah juga masih dipertanyakan.

Kenyataan tersebut tokoh yang menokohkan diri melalui proses relative singkat dan kekuatan popularitas terutama kekuatan Uang memang tidak dilarang bahkan diakomodir memalui sistim yang dibentuk melalui UU Demokrasi, tentunya secara faktual belum memberikan peluang yang kondusif untuk tokoh-tokoh yang memiliki idealisme dan berfihak kepada masyarakat, dan kita sangat yakin tokoh yang memiliki idealisme pada umumnya belum begitu mapan dalam ekonomi.

Fakta hari ini, tokoh yang menokohkan dan di tokohkan untuk maju Pilkada tahun 2015, secara umum di Indonesia banyak yang berasal dari kalangan keluarga pejabat, isteri pejabat, keluarga mantan pejabat, baik sipil mapun meliter, baik Pimpinan Politik, mantan, maupun Kepala Daerah. Fakta ini menunjukan sebuah pengembangan kekuasaan dan kedigdayaan ekonomi, sistem yang mengatur memberikan peluang bagi tokoh-tokoh tersebut untuk ikut bermain dengan modal Uang yang kuat.

Secara kasat mata, bahwa money politik dan cost politik untuk demokrasi di Indonesia memang cukup besar, yang tentunya para tokoh yang diproses melalui proses alamiah di tengah masyarakat tidak memiliki peluang untuk menuangkan dan memperjuangkan idealisme untuk kesejahteraan rakyat, karena keterbatasan dan kebelum mapan secara ekonomi, sehingga tokoh yang mengandalkan kekuatan Uang yang memiliki kecenderungan berinvestasi politik untuk mendapat benefit baik uang maupun politik, yang tentunya untuk merebut benefit ganda, berusaha melihat peluang dan kelemahan UU.

Dengan sistem UU dan peraturan yang seyogyannya keberpihakan kepada masyarakat jadi dasar perjuangan, justru melenceng dari tujuan tersebut, lebih mengarah kepada Politik Bisnis ataupun Bisnik Politik, lalu aspirasi masyarakat dimana, dan kemana, yach aspirasi untuk mensejahterakan masyarakat sebuah tujuan semu yang akan diperjuangkan dan tertinggal pada tokoh idealisme sangat sulit untuk disuarakan.

Dominasi Demokrasi ini, merupakan dominasi memperkuat kemapanan dalam ekonomi dan memperkuat tirani kekuasaan dalam partai politik dan kekuasaan Politik, sehingga bukan prestasi yang ingin diraih melalui perjuangan aspirasi masyarakat, melainkan kekuasaan dan kemapanan ekonomi sebuah tirani baru di Indonesia.

Lalu fakta juga menyimpulkan, bahwa kemungkinan tokoh idealisme yang tinggal menjadi tokoh yang belum bisa berbuat dan berjuang di kencah perpolitikan di Indonesia, sehingga idealisme tergadaikan dengan kekuasan dan uang.

Ditulis berdasarkan pengamatan penulis secara langsung di tingkat akar rumput, dibeberapa wilayah, dan memang belum bisa dikatakan untuk mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dimana kecenderungan proses lelang suara akan terjadi, akibat dari sebuah keputusanasaan tehadap apa yang dilalui dalam pembangunan selama ini, terutama maraknya korupsi, Nephotisme dan koncoisme, proyek-proyek yang dibangun sudah roboh sebelum masanya, jalan yang amburadul, harga barang dan sembilan bahan pokok, beserta Subsidi BBM yang masih bermasalah dll, tentunya membawa dampak ekonomi negatif bagi masyarakat.(syamsulbahri1605@gmail.com).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button