Jambiopini

Hindari Manajemen Reaktif Dalam Pengendalian Dan Pemadaman Kebakaran Hutan Dan Lahan

HINDARI MANAJEMEN REAKTIF DALAM PENGENDALIAN DAN PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Oleh Syamsul Bahri, SE dan Saryono, SP

(Conservationist di Jambi)

Syamsul Bahri
Syamsul Bahri

Provinsi Jambi secara administrative terletak diantara Provinsi Sumatera Selatan dan Riau serta Propinsi Bangka Belitung, menurut data dan informasi bahwa 4 provinsi yaitu Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah memberlakukan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan meningkatnya ancaman bencana itu karena pengaruh cuaca kering di wilayah terebut (Media Indonesia, 22/02/2018)

Jika kita cermati ramalan cuaca dari yang bersumber dari accu water. Com pada web site https://www.accuweather.com/id/id/jambi/202451/daily-weather-forecast/202451? day=66, bahwa Provinsi Jambi sampai akhir Mei 2018, dengan cuaca rata-rata hujan sedikit/sedang, berpetir sampai panas berawan, sehingga tingkat kerawanan dan ancaman kebakaran hutan dan lahan yang dipengaruhi oleh factor cuaca kurang member pengaruh ancaman kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi, periode sampai akhir Mei 2018.
Bahwa 4 provinsi yaitu Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah memberlakukan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla), merupakan musim kemarau ekuatoria peride pertama, sedangkan diperkirakan akhir Mei dan awal Juni-September masuk musim kemarau kedua yang lebih kering, sehingga potensi kebakaran hutan di Provinsi Jambi cukup tinggi.

Penentuan status karhutla di daerah sangat penting dilakukan, pemberlakuan siaga darurat akan memudahkan penanganan karhutla dalam proses pengerahan petugas, komando, logistik, anggaran, dan dukungan dari pemerintah pusat. “Status siaga darurat akan mempermudah koordinasi jalur komando.

Karena dengan status siaga darurat Karhutlan, diperlukan kegiatan pengendalian dan pemadaman kebakaran gerakan yang terpadu dan terintegrasi dalam satu komando, karena melibatkan banyak banyak pihak, yang meliputi anggota gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, Polri, Manggala Agni, pemadam kebakaran, Polisi kehutanan, Satuan Polisi Pamong Praja, masyarakat peduli api, dunia usaha, dan relawan dikerahkan untuk mengatasi kerhutla.

Tentunya gerakan satu komando dalam tindakan pemadaman dan pengendalian kebakaran Hutan dan lahan membutuhkan daya dukung operasional lapangan dan koordinasi lintas sektoral, namun yang lebih penting lagi bahwa dalam rangka tindakan pemadaman dan pengendalian kebakaran Hutan dan lahan, kita hindari melalui reactif management, tapi dilakukan dengan management terencana atau proaktif dan responsibilty management, sehinga semua data dan informasi yang terkait dengan persoalan kebakaran hutan menjadi acuan dalam management terencana dan Responsibilty management.

Baca juga:  Zarman Pembina ABK Desak APH dan Bea Cukai Tindak Tegas Rokok Illegal

Management reaktif (Reactive management) cenderung melihat permasalahan pemadaman dan kebakaran hutan sebegai suatu peristiwa dadakan atau seketika, sedangkan managemen terencana atau pro aktif menlihat kebakaran dan pengendalian kebakaran hutan bukan hanya aspek pemadaman saja, namun lebih melihat kebakaran hutan dan lahan dari semua factor dan berusaha untuk meminmalkan factor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan tersebut, dengan tidak mengabaikan kegiatan pemadaan dan pengendalian.

Sehingga sangat di harapkan Pemerintah Pusat dan daerah tidak melihat pemadaman Kebakaran Hutan dan lahan dari reactive mamagement, yang cenderung panic dan membabi buta, dan sebaliknya lihat dan kajilah kebakaran hutan dan lahan ini dari berbagai aspek yang terencana dan terarah, secara terpadu yang berbasiskan data lapangan yang akurat dan valid.

Sehingga pengendalian dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan, sangat pasti tidak mengabaikan pemadaman dan pengendalian saja, namun melakukan dan mengkaji dan melakukan tindakan terencana untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, bukan hanya penedakatan kepada manusianya saja, namun penedakatan ke fisik dan penyebab tingginya ancaman kebakaran itu tidak kalah pentingnya.

Sebagaimana di Provinsi Jambi, telah diterbitkan Peraturan Daerah No 2 tahun 2016, tentang pencegahan dan pengendalian Kebakaran Hutan yang diundangkan pada bulan Februari 2016, perda ini sangat memahami bahwa kebakaran yang terjadi disamping ada factor pendukung baik alam, maupun iklim, namun banyak peneliti mengatakan bahwa hampir lebih dari 95% kebakaran tersebut lebih disebabkan oleh factor manusia, terutama dalam pengelolaan hutan/lahan gambut yang ada, maupun factor yang menjadi tradisi masyarakat dalam membuka lahan dan hutan melalui pembakaran lahan dan hutan, walaupun secara ekologi dan pertanian, pembakaran tersebut sangat merugikan kesuburan lahan dan ekologi lahan, namun hanya berpikir secara ekonomi jangka pendek, sehingga cenderung kebiasaan tersebut dipertahankan.

Bahwa sangat disadari bahwa factor penyebab kebakaran hutan dan lahan terutama di wilayah gambut, adalah ketidak tepatan dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan gambut, yang belum memahami karakteristik dan tata kelola hutan gambut, sehingga faktanya banyaknya pemanfaatan lahan/hutan gambut dengan membuat perkebunan yang justru akan merusak ekosistem gambut dan lingkungan yang berdimemsi ekonomi, antara jenis tanaman perkebunan dan pertanian serta pembuatan kanal/parit di areal perkebunan tersebut.

Pola seperti itu sangat cenderung membuat pembasahan lahan/hutan gambut menjadi kering dan sangat kering, apalagi didukung oleh system pembakaran dan iklim kering ekstrim El-nino, sehingga antara factor manusia, lingkunan dan iklim membuat potensi kebakaran di lahan gambut sangat besar potensi.

Baca juga:  Zarman Pembina ABK Desak APH dan Bea Cukai Tindak Tegas Rokok Illegal

Dan jika kita simak Peraturan Daerah No 2 tahun 2016 pasal 16 terkait dengan kanal, yaitu Ayat (1) setiap orang dan pemegang izin dilarang melakukan pembukaan kanal pada areal gambut yang memiliki ke dalam lebih dari 3 (tiga) meter; Ayat (2) setiap orang dan pemegang izin yang telah melakukan pembukaan kanal wajib melaporkan aktivitas pembukaan kanal tersebut kepada pemda; Ayat (3) kanal yang sudah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di kelola dengan system kanal bloking.

Jika kita cermati, pasal 16 ayat 1 Perda tersebut memiliki konsekwensi bahwa pemanfaatan lahan/hutan untuk perkebunan/pertanian yang memerlukan daya dukung utama dengan pembuatan/pembangunan kanal tidak dapat diberikan izin, bahkan ayat (3) kanal yang sudah ada harus dikelola dengan system kanal bloking.

Implementasi Perda ini harus dilakukan pemantauan dan kajian di lapangan oleh SKPD terkait, baik SKPD Kabupaten/Kota maupun Provinsi, terutama SKPD Kehutnan atau yang membidangi, SKPD Perkebunan, SKPD Pertanian, SKPD yang membidangi Lingkungan Hidup daerah, Satpol PP, SKPD terkaitnya lainnya.

Jika tidak dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi dari Perda tersebut, tentunya maksud dari PERDA ini yaitu sebagai pedoman dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi tidak akan tercapai, sehingga kebakaran hutan dan lahan tidak akan bisa diminimalkan, bahkan cenderung baik pihak swasta, masyarakat dan pemerintah daerah melakukan pelangaran hukum dari PERDA ini
Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pasal 5 Peraturan Daerah No 2 tahun 2016, juga diharapkan ada kajian secara ilmiah untuk memahami factor penyebab kebakaran hutan, antara lain adalah kerusakan ekosistem gambut, akibat salah kelola, sehingga upaya pemulihan dan perbaikan ekosistem gambut hendaknya menjadi prioritas melalui kegiatan Pemulihan Ekosistem Gambut itu sendiri.

Hutan rawa gambut sebagai ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran.

Persoalan Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, bukan hanya dilihat bagaimana memadamkan kebakaran, melainkan mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengeolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkesinambungan.

Baca juga:  Zarman Pembina ABK Desak APH dan Bea Cukai Tindak Tegas Rokok Illegal

Anggapan dari masyarakat dan pejabat di daerah masih menganggap kebakaran hutan, termasuk kebakaran hutan rawa gambut, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam, yang merupakan proses alami belaka. Faktanya saat ini, upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut, hanya terbatas pada upaya pemadaman yang bersifat Insidentil dan bersifat reaktif.

Sehingga Kebakaran hutan dan lahan itu bukanlah “hanya” sebuah proses secara alami semata-mata dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang bencana biasa, namun kebakaran hutan dan lahan saat ini, lebih banyak dipengruhi oleh faktor manusianya dan merupakan bencana yang bersifat “luar biasa” dan harus ada political will, tidak hanya untuk memadamkan, namun lebih komprehensif untuk mengkaji sebab atau faktor utama pembangunan yang cenderung menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, terutama di wilayah Prioritas.

Dari urian tersebut diatas, beberapa hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan Daerah untuk meminimalkan terjadinya bencana asap dimasa yang akan datang, disamping implementasi PERDA No 2 tahun 2016 yaitu adalah (1) Memperbaiki Ekosistem Gambut agar dapat berfungsi sebagai mana mestinya (watering); (2) mengkaji ulang system kanalisasi yag sudah ada, atau program blocking kanal sesuai kajian ilmiah; (3) Maratorium pemberian izin pemanfaatan lahan/hutan gambut baik untuk kepentingan Perkebunan, kehutanan, dan pembangunanl ainnya; (4) Memastikan lahan konsesi yang sudah terbakar untuk kembali ke Negara dan merestorasinya; (5) Mengkaji ulang perkebunan baik sawit atau jenis tanaman lainnya dan HTI yang berada di lahan gambut, agar lebih mengedepankan prinsip dan berorientasi ekologi dan lingkungan dalam berusaha; (6) Penegakan Hukum yang konsisten; (7) Pelibatan masyarakat secara terdidik dan terlatih untuk ikut serta aktif dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran di setiap desa; (8) Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan/lahangambut yang berorientasi penguatan ekonomi yang ekologis; (10) Pembuatan Perdes tentangan antispasi kebakaran hutan dan lahan (11) Mengevaluasi program sawitnisasi dan HTI di lahan/hutan gambut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button