opini

Implementasi Perda No 2 Tahun 2016 Propinsi Jambi

IMPLEMENTASI PERDA NO 2 TAHUN 2016 PROPINS JAMBI
Oleh Syamsul Bahri, SE, Hepri Yuda, SP
(Conservationist di Jambi)

Pada tahun 2016 telah dikeluar Peraturan Daerah Provinsi No 2 tahun 2016, tentang Tentang pencegahan dan pengendalian Kebakaran Hutan yang diundangkan pada bulan Februari 2016, oleh Pemerintah Provinsi Jambi, yang merupakan Perda yang response terhadap kondisi Provinsi Jambi sebagai salah satu provinsi penyumbang asap terbesar diantara 5 propinsi lainnya di Indonesia, artinya Perda sudah dua tahu lebih semenjak di Undangkan.

Perda ini mencerminkan bentuk kepedulian dan kegelisahan Pemerintah Propinsi Jambi sebagai salah satu Provinsi penyumbang asap terbesar bersama 5 Provinsi lainnya di Indonesia, karena sangat disadari bahwa kebakaran hutan dan lahan yang hampir terjadi setiap tahun akan sangat merugikan baik secara ekonomi, kesehatan, pertanian/perkebunan, lingkungan, Kehutanan, transportasi dll, sehingga kebakaran hutan disamping ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, yang perlu mendapat dukungan dari pemerintah Provinsi bahkan Kabupaten Kota.

Dan Jika kita cermati berdasarkan data hot spot Tahun 2015, yang merupakan kebakaran yang terbesar diantara kebakaran yang pernah ada dari bulan awal Juli 2015 s.d akhir Oktober 2015, disapamping kebakaran tahun 1998 melalui pemantauan satelit TERRA/AQUA Sumber :http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/main, satelit TERRA / AQUA (NASA), dengan jumlah titik api sebanyak ± 2618 Hot Spot yang menyebar di 11 Wilayah Kabuaten Kota dalam Propinsi Jambi.

Dari sebanyak ± 2618 Hot Spot tersebut, kecenderungan terbanyak terjadi di bulan September 2015 yaitu 1136 Hot Spot atau 43%, dan bulan agustus 2015 sebanyak 773 Hot spot atau 30%, serta oktober sebanyak 517 Hot Spot atau 20%, sisanya di bulan juli 2015.

Hot spot tahun 2015 berdasarkan wilayah Kabupaten/Kota di Propinsi Jambi, bahwa hotspot tersebut dengan rincian katogori 4 besar posentase hot spot tertinggi adalah (1) Kabupaten Muara Jambi (45,95%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (20,24%), Sarolangun (9,13%) dan KabupatenTebo (7,8%), sementara Kabupaten/Kota lainnya berada di bawah 7,8% bahkan ada yang 0,0% seperti Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh.

Data sebagaimana dimaksud diatas menjadi bagian penting dasar Ilmiah perlunya penguatan Peraturan yang telah ada melalui PERDA Provinsi Jambi, karena hampir lebih 70% daerah atau kawasan yang terbakar sebagai sumber asap ada di Kabupaten Muara Jambi dan Tanjung Jabung Timur, yang merupakan kawasan hutan/lahan gambut terluas di Provinsi Jambi.

Kebakaran yang terjadi disamping ada factor pendukung baik alam, maupun iklim, namun banyak peneliti mengatakan bahwa hampir lebih dari 95% kebakaran tersebut lebih disebabkan oleh factor manusia, terutama dalam pengelolaan hutan/lahan gambut yang ada, maupun factor yang menjadi tradisi masyarakat dalam membuka lahan dan hutan melalui pembakaran lahan dan hutan, walaupun secara ekologi dan pertanian, pembakaran tersebut sangat merugikan kesuburan lahan dan ekologi lahan, namun hanya berpikir secara ekonomi jangka pendek, sehingga cenderung kebiasaan tersebut dipertahankan.

Dengan terbitnya Peraturan Daerah No 2 tahun 2016, tentang Tentang pencegahan dan pengendalian Kebakaran Hutan yang diundangkan pada bulan Februari 2016, kondisi yang menjadi kebiasan tersebut sudah menjadi pelanggaran hukum, walaupun sebelumnya juga menjadi pelanggaran hukum menurut UU yag telah ada sesungguhnya juga merupakan perbuatan melanggar Hukum.

Bahwa sangat disadari bahwa factor penyebab kebakaran hutan dan lahan terutama di wilayah gambut, adalah ketidak tepatan dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan gambut, yang belum memahami karakteristik dan tata kelola hutan gambut, sehingga faktanya banyaknya pemanfaatan lahan/hutan gambut dengan membuat perkebunan yang justru akan merusak ekosistem gambut dan lingkungan yang berdimemsi ekonomi, antara jenis tanaman perkebunan dan pertanian serta pembuatan kanal/paritdi areal perkebunan tersebut yang sangat cenderung membuat pembasahan lahan/hutan gambut menjadi kering, apalagi didukung oleh system pembakaran dan iklim kering ekstrim El-nino, sehingga antara factor manusia, lingkunan dan iklim membuat potensi kebakaran di lahan gambut sangat besar potensi.

Dan jika kita simak Peraturan Daerah No 2 tahun 2016 pasal 16 terkait dengan kanal, yaitu Ayat (1) setiap orang dan pemegang izin dilarang melakukan pembukaan kanal pada areal gambut yang memiliki ke dalam lebih dari 3 (tiga) meter; Ayat (2) setiap orang dan pemegang izin yang telah melakukan pembukaan kanal wajib melaporkan aktivitas pembukaan kanal tersebut kepada pemda; Ayat (3) kanal yang sudah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di kelola dengan system kanal bloking.

Jika kita cermati, pasal 16 ayat 1 Perda tersebut memiliki konsekwensi bahwa pemanfaatan lahan/hutan untuk perkebunan/pertanian yang memerlukan daya dukung utama dengan pembuatan/pembangunan kanal tidak dapat diberikan izin, bahkan ayat (3) kanal yang sudah ada harus dikelola dengan system kanal bloking.

Namun dari pencermatan fakta di lapangan, bahwa proses perizinan untuk pemanfataan hutan/lahan gambut yang memerlukan pembangunan kanal terus berproses. Implementasi Perda ini harus dilakukan pemantauan dan kajian di lapangan oleh SKPD terkait, baik SKPD Kabupaten/Kota maupun Provinsi, terutama SKPD Kehutnan atau yang membidangi, SKPD Perkebunan, SKPD Pertanian, SKPD yang membidangi Lingkungan Hidup daerah, Satpol PP, SKPD terkaitnya lainnya.

Jika tidak dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi dari Perda tersebut, tentunya maksud dari PERDA ini yaitu sebagai pedoman dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi tidak akan tercapai, sehingga kebakaran hutan dan lahan tidak akan bisa diminimalkan, bahkan cenderung baik pihak swasta, masyarakat dan pemerintah daerah melakukan pelangaran hukum dari PERDA ini
Upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pasal 5 Peraturan Daerah No 2 tahun 2016, juga diharapkan ada kajian secara ilmiah untuk memahami factor penyebab kebakaran hutan, antara lain adalah kerusakan ekosistem gambut, akibat salah kelola, sehingga upaya pemulihan dan perbaikan ekosistem gambut hendaknya menjadi prioritas melalui kegiatan Pemulihan Ekosistem Gambut itu sendiri.

Sesungghuhnya bencana asap dan cuaca ekstrim el-nino tidak bisa kita lupakan, namun kita jangan menjadikan cuaca ekstrim el-nino sebagai sebuah bencana alam, yang seharusnya cuaca ekstrim el-nino itu harus ada antisipasi sebelumnya, karena kemunculan dan kedatangan cuaca ekstrim el-nino sudah dapat diprediksi, sehingga antisipasi akan besarnya dampak juga bisa di eleminasi atau diminimalisasi oleh Pemerintah baik Pusat maupun daerah dan masyarakat.

Hutan rawa gambut sebagai ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran.

Persoalan Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, bukan hanya dilihat bagaimana memadamkan kebakaran, melainkan mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengeolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkesinambungan.

Sesungguhnya kerusakan ekosistem gambut menjadi factor utama penyebab kebakaran hutan, lahan gambut tidak lagi berada pada kondisi normal yang sesungguhnya, karena hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 – 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan ¬bahan tanaman yang telah mati.

Anggapan dari masyarakat dan pejabat di di daerah masih menganggap kebakaran hutan, termasuk kebakaran hutan rawa gambut, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam, yang merupakan proses alami belaka. Faktanya saat ini, upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut, hanya terbatas pada upaya pemadaman yang bersifat Insidentil dan bersifat reaktif.

Sehingga Kebakaran hutan dan lahan itu bukanlah “hanya” sebuah proses secara alami semata-mata dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang bencana biasa, namun kebakaran hutan dan lahan saat ini, lebih banyak dipengruhi oleh faktor manusianya dan merupakan bencana yang bersifat “luar biasa” dan harus ada political will, tidak hanya untuk memadamkan, namun lebih komprehensif untuk mengkaji sebab atau faktor utama pembangunan yang cenderung menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, terutama di wilayah Prioritas.

Dari urian tersebut diatas, beberapa hal yang harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat dan Daerah untuk meminimalkan terjadinya bencana asap dimasa yang akan datang, disamping implementasi PERDA No 2 tahun 2016 yaitu adalah (1) Memperbaiki Ekosistem Gambut agar dapat berfungsi sebagai mana mestinya (watering); (2) mengkaji ulang system kanalisasi yag sudah ada, atau program blocking kanal sesuai kajian ilmiah; (3) Maratorium pemberian izin pemanfaatan lahan/hutan gambut baik untuk kepentingan Perkebunan, kehutanan, dan pembangunanl ainnya; (4) Memastikan lahan konsesi yang sudah terbakar untuk kembali ke Negara dan merestorasinya; (5) Mengkaji ulang perkebunan baik sawit atau jenis tanaman lainnya dan HTI yang berada di lahan gambut, agar lebih mengedepankan prinsip dan berorientasi ekologi dan lingkungan dalam berusaha; (6) Penegakan Hukum yang konsisten; (7) Pelibatan masyarakat secara terdidik dan terlatih untuk ikut serta aktif dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran di setiap desa; (8) Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan/lahangambut yang berorientasi penguatan ekonomi yang ekologis; (10) Pembuatan Perdes tentangan antispasi kebakaran hutan dan lahan (11) Mengevaluasi program sawitnisasi dan HTI di lahan/hutan gambut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button