opini

KAJIAN FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

KAJIAN FAKTOR PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Oleh Syamsul Bahri, SE dan Saryono, SP

(Conservationist di TN Berbak)

Dipahami bahwa bencana kebakaran hutan dan lahan yang disertai secara langsung dengan bencana asap yang melanda Proinsi Jambi dan Sumatera tahun 2015 merupakan suatu pembelajaran bagi kita semua yang mendatangkan kerugian secara ekonomi dan non ekonomi, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Dinas Kehutanan Prop Jambi Irmansyah Rachman “…..luas areal hutan alam dan lahan yang terbakar di Jambi tahun lalu mencapai 19.528 hektare (ha). Kebakaran areal penggunaan lain atau lahan telantar sekitar 12.307 ha (63 %) dan kebakaran kawasan hutan sekitar 7.221 ha (37 %). Kemudian kebakaran lahan gambut sekitar 13.450 ha dan kebakaran lahan pertanian (6.069 ha). Sedangkan kerugian materi akibat kebakaran hutan dan lahan di Jambi tahun lalu mencapai Rp 716 miliar.” HYPERLINK “http://www.beritasatu.com/nasional/354151-titik-api-kembali-muncul-di-jambi.html” http://www.beritasatu.com/nasional/354151-titik-api-kembali-muncul-di-jambi.html.

Bencana kebakaran hutan dan asap tersebut berdampak luas terhadap kesehatan, lingkungan dan ekonomi masyarakat, baik di Indonesia maupundi negara tetangga, Malaysia dan Singapura, dan diharapkan bencana serupa kita harapkan jangan terulang lagi tahun ini dan di masa mendatang.

Kerugian yang cukup pantastik, serta pengalaman pahit tahun 2015 tersebut membuat Pemerintah Prop Jambi melakukan upaya pencegahan dan pengendalia Kebakaran Hutan dan lahan tahun 2016, Karena itu upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Jambi harus dilakukan lebih serius, terorganisir, terintegrasi dengan melibatkan semua pihak, baik Pemerintah, TNI/Polri, Pengusaha bidang Kehutanan dan Perkebunan, Petani, Masyarakat, Alim Ulama, Masyarakat Peduli Api, Manggala Agni dll.

Upaya-upaya tersebut sudah dan akan terus dilakukan mulai dari Pemerintah Provinsi, kabupaten/Kota sudah melakukan persiapan melalui rapat Koordinasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan lahan yang telah menghasilkan Kesepakatan Bersama jajaran Forkompida, Perusahaan Perkebunan dan kehutanan serta masyarakat di masing-masing Kabupaten/Kota terutama Kabupaten Tanjung Jabung Timur, tanjung Jabung Barat, Muara Jambi dll.

Dan memang didasarkan pada data Kebakaran lahan dan hutan di Propinsi Jambi sesuai data hot spot dari bulan awal Juli 2015 s.d akhir Oktober 2015, melalui pemantauan satelit TERRA / AQUA Sumber :http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/main, satelit TERRA / AQUA (NASA), dengan jumlah titik api sebanyak ± 2618 Hot Spot yang menyebar di 11 Wilayah Kabuaten Kota dalam Propinsi Jambi.

Dari sebanyak ± 2618 Hot Spot tersebut, Kabupaten yang hot spot tertinggi adalah adalah (1) Kabupaten Muara Jambi (45,95%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (20,24%), Sarolangun (9,13%) dan Kabupaten Tebo (7,8%), sementara Kabupaten/Kota lainnya berada di bawah 7,8% bahkan ada yang 0,0% seperti Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh ( HYPERLINK “http://jejakdanpendapatsyamsulbahri.blog.com/2015/11/22/catatan-kecil-kebakaran-lahan-dan-hutan-propinsi-jambi/” http://jejakdanpendapatsyamsulbahri.blog.com/2015/11/22/catatan-kecil-kebakaran-lahan-dan-hutan-propinsi-jambi/).

 

Sehingga upaya pencegahan dini dan meminimalkan kerugian akibat dampak dan kerugian bencana tersebut harus dilakukan melalui perencanaan yang matang dangan melibatkan para pihak agar upaya pencegahan dan pengendalan lebih optimal dan berhasil serta berdaya guna dengan baik.

Jika kita cermati bahwa gejala El-Nino akan berakhir pada bulan april 2016, sebuah fakta dimana Provinsi Riau sampai saat ini masih mengalami kebakaran hutan dan lahan, walaupun di banyak daerah sedang mengalami musim hujan yang cukup tinggi, dan diperkirakan berakhirnya musim ekstrim El-Nino akan disambut oleh musim La-Nina, menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan Indonesia berpotensi mengalami fenomena cuaca La Nina menjelang Juli s.d September 2016 setelah El Nino dalam kondisi netral pada April ( HYPERLINK “http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160123013122-199-106142/bmkg-indonesia-berpotensi-la-nina-pertengahan-tahun/” http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160123013122-199-106142/bmkg-indonesia-berpotensi-la-nina-pertengahan-tahun/), yang akan yang membawa pengaruh curah hujan yang cukup tinggi, dan tentunya akan meminimlakan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Proinsi Jambi.

Melihat kondisi tersebut, kesiapan pencegahan dan pengendalain tersebut alangkah baiknya kesiapan Pemerintah Daerah bersama dengan para pihak dalam rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan lahan di Provinsi Jambi disamping upaya-upaya pencegahan dan pengendalian, diharapkan dapat diarahkan untuk mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengeolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkesinambungan.

Pengelolaan hutan gambut yang teraktual dan menjadi trendy selama ini di lapangan, banyaknya lahan gambut yang tercabiknya dan terbagi dalam kanalisasi (masih terus berlangsung) yang belum memenuhi aspek tehnis yang benar disamping bertujuan fungsi ekonomi juga fungsi mencegah kebakaran hutan dan lahan, akan menimbulkan dampak lingkungan antara lain, laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi, kering tidak balik, dan bahan organik terlarutkan (DOC). Ditambah lagi, bahaya kebakaran, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan muka air laut, kelangkaan air bersih musim kemarau, polusi air, dan berdampak bagi masyarakat lokal setelah ada perubahan lingkungan.

Sesungguhnya Sistem kanalisasi bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah serta mengatur tata air untuk menghindari lahan/tanah gambut tidak tergenang atau kering serta tidak memiliki kemampuan dalam mengikat/menyimpan air pada saat musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau.

Tentunya fungsi lahan gambut bersifat irreversible sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengendali hydro-orologi dalam tatanan ekosistem gambut dan dari data yang ada dan hasil penelitian bahwa system kanalisasi merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan gambut, bahkan membuat lahan gambut memiliki potensi tinggi untuk terjadinya kabakaran hutan.

Disamping System kanalisasi terindikasi dari adanya pembukaan lahan dengan cara bakar yang cenderung dilakukan oleh petani dan perkebunan serta HTI, yang hanya berpikir dari aspek keuntungan ekonomi semata-mata, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja telah menimbulkan kerugian yang besar terhadap ekonomi maupun lingkungan. Dari sisi tanah, sifat fisik gambut akan rusak, dari sisi udara terjadi pencemaran udara.

Serta merubah anggapan masyarakat dan pejabat di daerah masih menganggap kebakaran hutan, termasuk kebakaran hutan rawa gambut, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam, yang merupakan proses alami belaka. Faktanya saat ini, upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut, hanya terbatas pada upaya pemadaman yang bersifat Insidentil. Bahkan menurut Saharjo (1999) Secara historis Kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia dari pada faktor alam yaitu mengatakan 99,9 persen kebakaran hutan/lahan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya.

Sehingga Kebakaran hutan dan lahan itu bukanlah “hanya” sebuah proses secara alami semata-mata dan tidak bisa dianggap sebagai bencana biasa, namun kebakaran hutan dan lahan saat ini, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor manusianya dan merupakan bencana yang bersifat “luar biasa” dan harus ada political will, tidak hanya untuk memadamkan, namun lebih komprehensif untuk mengkaji sebab atau faktor utama pembangunan yang cenderung menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, terutama di wilayah Prioritas.

Sedangkan di pulau Sumatera, dari sekitar 4.6 juta hektar luas hutan rawa gambut, 7,4%-nya (341 000 ha) terletak di propinsi Jambi, sedangkan sekitar ± 26%-nya (1.2 juta ha) tersebar di propinsi Sumatera Selatan dan menyebar di Propinsi Riau sekitars ± 46%. Daerah hutan rawa gambut terpenting di kedua propinsi tersebut berada di dalam dan sekitar wilayah Berbak dan Sembilang. Berbak-Sembilang yang terletak di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah penting dan unik di Sumatera karena mempunyai hutan rawa gambut yang luas dan merupakan kawasan konservasi lahan basah terluas di Asia Tenggara, dan kawasan tersebut untuk Propinsi Jambi terdapat di Landscape Berbak terutama terdapat di Tanjung Jabung Timur, Muara Jambi, seperti Hutan Lindung Gambut, Tahura, Taman Nasional Berbak, yang diteruskan ke Taman Nasional Sembilang, dan di Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Hutan rawa gambut sebagai ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran Serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan dan pemahaman dalam managemen air di kawasan gambut. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran.

Dari beberapa ulasan tersebut diatas, faktor penyebab sering terjadinya kabakaran hutan di wilayah Jambi, antara lain disebabkan adanya faktor manusia seperti system kanalisasi, illegal activity, dalam bentuk illegal loging, perambahan, pembakaran secara sengaja atau tidak sengaja, dan faktor alam yang justru dipicu oleh faktor yang telah diciptakan oleh faktor manusia, seperti iklim el-nino dll.

Tingkat Pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar kawasan/desa penyangga di rawa/hutan gambut yang relatif rendah, akan menimbulkan interaksi negatif dan ancaman bagi kelestarian kawasan/lahan gambut; Keterbatasan lahan budidaya bagi masyarakat sekitar kawasan/lahan gambut; Perlunya penguatan kesadaran dan pemahaman masyarakat dan Perusahaan tentang keberlangsungan dan keutuhan lahan gambut, tidak hanya berpikir dari aspek ekonomi saja; Masyarakat dan Perusahaan perkebunan, menghentikan menggunakan cara tebang dan bakar untuk mengkonversi lahan menjadi perkebunan dan HTI; Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan lebih arief dalam memberikan kebijakan pemanfaatan lahan gambut untuk dieksploitasi sumberdaya hutan secara cepat, tanpa mempedulikan kehidupan masyarakat setempat dan lingkungan, sehingga diperlukan PERDA yang aplikatif tentang pengaturan pemanfaatan lahan gambut/kawasan gambut yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, ekologi, Hydro-orologi dan konservasi biodiversity, termamsuk tentang system kanalisasi pada kawasan/lahan gambut yang lebih berorientasi tehnik yang baik untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan melarang pembakaran dalam melakukan pembukaan lahan; Melakukan sosialisasi dan penyuluhan serta melakukan Law enforcement cepat dan tepat terhadap tindakan baik perusahaan/pribadi/masyarakat yang melakukan pembukaan lahan dengan sistem pembakaran.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button