Jambiopini

Paradigma Hutan Lestari, Rakyat Sejahtera, Perlu Dievaluasi

PARADIGMA PEMBANGUNAN KEHUTANAN
(PARADIGMA HUTAN LESTARI, RAKYAT SEJAHTERA, PERLU DIEVALUASI)

By Syamsul Bahri, SE
(Conservationist dan pengamat lingkungan di Jambi)
Syamsul Bahri
Syamsul Bahri, SE
(Conservationist dan pengamat lingkungan di Jambi)

Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia UU no. 6 tahun 2014.

Dan Desa oleh Masyarakat kota besar, yang sibuk dengan aktivitas sehari hari, yang mencerminkan kondisi sesungguhnya adalah manusia “kaya uang dan miskin waktu” serta cenderung mengalami tingkat kejenuhan yg sangat berat diakibatkan kondisi dan situasi di tempat bekerja di kota besar, yg cenderung dalam kondisi 5 Polusi (5P) yaitu polusi udara, suara, air, mata dan tanah, yang mendiskripkan desa sebuah kawasan yang sering dipersepsikan sebagai tempat yang nyaman dan indah.

Meskipun kadang kadang persepsi tersebut tidak selalu benar, bahkan menyimpan sebuah potret buram kemiskinan. Citra tersebut itulah yang hendak dihapus dan dientaskan. Dan upaya tersebut telah lama dilakukan melalui berbagai pendekatan, maka mulai tahun 2015 ini pemerintah secara bertahap menjalankan amanat yang tertera pada undang-undang tentang desa.

Begitu juga pembangunan bidang Kehutanan, seyogyannya bersentuhan dengan masyarakat Desa yang berada dipinggir dan sekitar, serta didalam kawasan hutan, melalui pembangunan Kehutanan dengan Paradigma “HUTAN LESTARI RAKYAT SEJAHTERA”, sudah berlangsung lama, bahkan semenjak UU No 41 Tahun 1999, diundangkan, begitu juga di era pemerintahan reformasi, yang telah mengalokasi pembangunan di Desa, melalui alokasi belanja pemerintah pusat yang direalokasikan langsung ke desa dimulai tahun 2015.

“Hutan Lestari Rakyat Sejahtera”, paradigma ini secara jelas dan kasat mata terlihat belum bisa mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat desa yang berada dipinggir dan sekitar hutan, bahkan masyarakat termarginal dan terpaksa menggarap lahan dalam hutan yang dikuasai oleh Negara, walaupun sesungguhnya sangat disadari oleh masyarakat desa sekitar hutan, bahwa itu merupakan pelanggan hukum, yang menimbulkan konflik kepemilikan hutan diberbagai wilayah, baik konflik dengan dengan masyarakat secara murni, maupun konflik hutan dengan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU), Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kondisi tersebut diatas, terlepas dari adanya dukungan alokasi dana desa Dalam Anggaran dan Belanja Negara setiap tahun yang masuk ke Desa, kondisi desa sekitar dan dalam kawasan, tetap dengan kondisinya.

Baca juga:  Zarman Pembina ABK Desak APH dan Bea Cukai Tindak Tegas Rokok Illegal

Undang Undang No. 41 Tahun 1999, menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. Dengan demikian hutan hendaknya diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga dan dipertahankan kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, tentunya peran serta aktif masyarakat menjadi sebuah keharusan.

Jika kita fahami konsep pembangunan itu bagaimana mensejahterakan masyarakakat dalam upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, serta mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, baik sebagai subjek dan objek dari tujuan pembangunan dan secara operasionalnya terkoneksi dengan UU No 41 tahun 1999, yang memadukan penyangga kehidupan dengan kemakmuran rakyat.

Karena itu paradigma lama HUTAN LESTARI, RAKYAT SEJAHTERA” tidak sanggup lagi menjawab dinamika sosial-ekonomi. Paradigma pembangunan kehutanan sudah harus mengutamakan perubahan dan keadilan social, serta tetap tidak mengabaikan kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dan ekologi serta lingkungan.
Maka paradigma pembangunan Hutan Lestari rakyat sejahtera, hendaknya menjadi kajian dan telaahan, dengan melihat fakta dan realita yang ada pada masyarakat desa pinggir dan dalam, serta sekitar kawasan, terutama di kawasan Pelestarian alam seperti Taman Nasional dll.

Jika kita fahami, bahwa semua persoalan gangguan baik perambahan, perladangan, pemukiman, perburuan dll dalam kawasan hutan tersebut semuanya disebabkan ketidak berdayaan dan ketidak mampuan masyarakat untuk memperahankan nilai –nilai yang ada, sehinga mereka secara sendiri sendiri atau diperalat melaukan interaksi negative denga kawasan hutan, dalam artian semua gangguan tersebut berasal dari luar kawasan hutan itu sendiri.
Dengan memperhatian kondisi tersebut diatas, mungkin sudah saatnya Pembangunan Bidang kehutanan merubah Paradigama untuk mewujudkan hutan lestari, dengan Paradigma baru yaitu RAKYAT SEJAHTERA, HUTAN LESTARI.

Tentuanya kegiatan penguatan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi bagian yang sangat prioritas, agar interaksi negative dapat ditekankan, dengan memperkuat peran serta dan partisipasi dan secara bertahap Paradigma RAKYAT SEJAHTERA, HUTAN LESTARI akan terwujud.

Baca juga:  Zarman Pembina ABK Desak APH dan Bea Cukai Tindak Tegas Rokok Illegal

Sangat disadari bahwa dalam kawasan Konservasi terdapat banyak nilai nilai yang tidak terukur secara ekonomi, bahkan tidak terhingga, yang harus dipertahankan dan dilestarikan sebagai penyangga kehidupan, namun upaya untuk mewujudkan 3 Pilar Konservasii yaitu Perlindungan, Pelestarian dan pemanfaatan yang berkesinambungan tidak akan terwujud apabila paradigama HUTAN LESTARI, RAKYAT SEJAHTERA, tidak dievaluasi dan dikaji ulang.

Pembangunan kehutanan harus berkeadilan dan berkelanjutan yakni meletakkan masyarakat sebagai subyek dalam kegiatan pengelolaan hutan secara aktif dan intrasistem. Orientasi pembangunan kehutanan tidak lagi dititikberatkan pada penerimaan yang sebesar-besarnya bagi Negara (ekonomis). Melainkan sebagai sumber pendapatan masyarakat melalui perannya, baik secara individu maupun kelompok.

Perhutanan Sosial yang saat ini menjadi trendy di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang merupakan sebuah bentuk pernyataan yang tersembunyi, bahwa paradigma Hutan Lestari, Rakyat sejahtera, tidak berhasil, sehingga Perhutanan Sosial menjadi bagian dari pengelolaan hutan dan Kehutanan saat ini.

Tentunya dengan merubah paradigma tersebut yang selama ini secara oprasional keberhasilan pembangunan kehutanan itu tidak dilihat dari banyaknya yang ditindak melalui TIPIHUT, justru sebaliknya semakin sedikitnya masyarakat yang melakukan TIPIHUT, karena tindakan Hukum TIPIHUT merupakan alternative terakhir dan terpaksa, sehingga upaya pencegahan lebih dimaksimalkan, sehingga SDM yang ada lebih bisa diberdayakan di kegiatan lainnya yang berorientasi pada pencegahan, atau akan sedikit terdengar bahwa Polhut berhasil menangkap pemburu Harimau dengan barang bukti dua ekor harimau dan 4 tersangka, artinya upaya pencegahan dan upaya pemberdayaan dan penguatan masyarakat dalam memahami fungsi hutan berjalan baik, karena tingkat ketergantungan masyarakat pinggir hutan semakin sedikit, timbulnya tingkat partisipasi akan meningkat.

Karena dibanyak informasi, bahwa ada analisa keberhasilan terbalik yang sering dilakukan dan di gaungkan, Keberhasilan pembangunan Kehutanan itu tidak dilihat dari banyaknya terjadi Tindakan Pidan Bidang Kehutanan (TIPIHUT), justru ini membuktikan ketidak berhasilan pembangunan Kehutanan, alangkah baiknya keberhasilan tersebut terjadinya penurunan TIPIHUT secara bertahap, tentunya Tingkat kesadaran Hukum dan kesadaran masyarakat dengan kekuatan kelayakan ekonomi, pendidikan, sandang dan pangan yang baik, akan menghasilkan Hutan Lestari.

Baca juga:  Zarman Pembina ABK Desak APH dan Bea Cukai Tindak Tegas Rokok Illegal

Karena itu pembangunan dimulai dari desa dan pemberdayaan masyarakat desa pinggir dan sekitar Hutan hendaknya menjadi prioritas dan dilakukan secara sinergis dan terintegrasi lintas Kementerian dan Lembaga dengan Pemerintah Kabupaten/Kota/ Propinsi.

Karena setiap kebijakan Pemerintah yang menyangkut harga, membawa implementasi negative langsung ke masyarakat pedesaan atau pingir dan sekitar hutan, akibat pengaruh mahalnya biaya transporasi dan sulitnya akses ke wilayah tersebut.

Disadari bahwa untuk melaksanakan pengelolaan hutan dengan paradigma yang baru menuntut kesungguhan dan komitmen dari semua pihak, tidak terkecuali masyarakat lokal sebagai aktor utamanya. Tantangan bagi kita ialah mempersiapkan penguatan kelembagaan lokal dan kemampuan sumberdaya manusia di tingkat desa.

Hal tersebut sangat penting dalam rangka masyarakat lokal mampu menerima kewenangan dan mempertanggung jawabkan kesempatan pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Dengan demikian pengelolaan hutan tidak lagi terperangkap dalam “jebakan ekologi”, sebaliknya pengelolaan dan pemanfaatan hutan dituntut mampu menjawab ketimpangan agraria, lingkungan, ekologis, kemiskinan, pemerataan pembangunan dan kemandirian ekonomi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button