opini

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Sebatas Retorika

Penyelamatan Ekosistem Sumetera Sebatas Retorika

(Tersesat di jalan yang benar)

Oleh

Syamsul Bahri, SE dan Agce Zulfikar Umasugy, A.Md (Conservationist di Jambi)

Ekosistem Pulau Sumatera semakin kritis, hal ini dapat kita lihat dari beberapa hasil analisa dan pengamatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi kondisi hutan yang masih tersisa di Pulau Sumatera, bila tidak ada tindakan tepat, maka dalam kurun waktu 25 tahun mendatang bakal habis atau punah, karena data menunjukan sepanjang kurun waktu 25 tahun sebelumnya, Pulau Sumatera kehilangan hutan lebih dari 9 juta hektare.

Pada 2015 tinggal 11 juta hektare atau sekitar 44 persen, dan diperkirakan sekitar 25 tahun yang Jika kondisi ini masih berlanjut dan tidak ada upaya nyata, maka 25 bahkan kurang dari 25 tahun ke depan hutan di Pulau Sumatera sudah habis,” kata Anggota Dewan Pengawas Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Sukri Sa’ad, Jumat, 21 Juli 2017 (https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/22/058893475/komunitas-warsi-25-tahun-lagi-hutan-di-sumatera-bisa-punah

Sesungguhnya Sepuluh gubernur dan pemerintah propinsi se-Sumatera telah membuat Komitmen disampaikan dalam forum internasional Kongres Konservasi Dunia (World Conservation Congress) IUCN di Barcelona, Spanyol yang berlangsung dari 6 -17 Oktober 2008, tentang komitmen Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera dan didukung oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehutanan, bahkan kembali Gubenrnur tersebut menegaskan komitmen bersama menyelamatkan pulau tersebut dengan menandatangani Peta Jalan (Road Map) Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera. di Hotel Borobudur Jakarta (Jumat, 26/06) yang disaksikan langsung oleh Meneg LH Rachmat Witoelar, Menteri Kehutanan MS Kaban, Menteri PU Djoko Kirmanto dan Mendagri yang diwakili Dirjen Bangda serta anggota Watimpres Prof Dr Emil Salim.

Fakta hari ini, ekosistem pulau sumatera semakin kritis, sebagaimana disampaikan oleh KKI Warsi tersebut diatas, hutan pulau sumatera pada tahun 2015 hanya tersisa kurang lebih 11 juta Ha, sedangkan perusakan hutan untuk kepentingan ekonomi yang berlabel HTI, Perkebunan, HPH, pertambangan dll begitu juga dengan kegiatan logging baik legal maupun illegal yang melupakan kepentingan lingkungan dan ekosistem terus dan terus berlangsung dan sulit untuk dihentikan, bahkan kebakaran hutan terutama di lahan gambut terus dan terus berlangsung yang sangat sulit untuk diantisipasi.

Bahkan dibebepa tempat munculnya gugatan yang terorganisir mengugugat beberapa kawasan konservasi untuk di konversi menjadi kawasan perkebunan juga terus berlangsung, seperti di Propinsi Jambi terutama di Taman Nasional Berbak dan Sembilang, seluas 11 ribu ha mengatas namakan masyarakat, bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi hutan rawa gambut terpenting di di Asia Tenggara masih terus berlangsung.

Kawasan Taman Nasional Berbak dan Sembilang yang terletak di Propinsi Jambi (Kabupaten tanjung Jabung Timur dan Muara Jambi) dan Propinsi Sumatera Selatan (Kabupaten Musi Banyu Asin), disamping sebagai kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional juga merupakan kawasan Hutan Rawa Gambut/hutan mangrove terpenting di Asia Tenggara yang memiliki nilai-nilai penting dan menjadi pusat perhatian Pengabd Lingkungan Internasional, yang saat ini mengalami tekanan semakin tinggi dari berbaga ancaman dari upaya pelestariannnya.

Sungguh Ironis Upaya Penyelematan ekoistem Pulau Sumatera yang telah dideklarasikan tersebut hanya sebatas retorika, namun kenyataan upaya penyelamatan ekosistem pulau Sumatera terkesan tertidur dengan ketidak nyamanan dan ketidak jelasan tindakannya.

Pihak Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota sebenarnya bahkan Pemerintah Pusat sudah memahami ancaman kerusakan ekosistem tersebut, namun terkesan belum melakukan tindakan maksimal dalam upaya pelestarian tersebut, hal ini terlihat hampir semua wilayah hutan tersisa sudah mengalami kerusakan yang sangat memprihatinkan untuk diolah menjadi kebun sawit, dan peruntukan lainnnya, yang tersisa bahkan terancam adalah kawasan konservasi dalam bentuk taman nasional, itupun juga terancam baik terancam karena adanya gugatan untuk di rubah fungsi menjadi APL oleh yang mengatas namakan masyarakat, atau ancaman bersigat Illegal logging, ancaman kebakaran hutan yang berasal dari pembakaran diluar kawasan hutan terutama di lahan gambut, dan bentuk ancaman lainnnya seperti perambahan, perburuan satwa dll.

Diharapkan Pemerintah baik Propinsi maupun Pemerintah Pusat, hendaknya diharapkan kearifan dalam menyikpapi kondisi yang terjadi dan diperlukan tindakan tegas dan upaya yang konsisten dalam melakukan pemulihan ekosistem Pulau Sumatera, terutama di kawasan hutan sebagai basis terakhir yaitu taman nasional, termasuk kearifan dan ketegasan yang mengatasnamakan kelompok masyarakat untuk mengugguat kawasan konservasi menjadi kawasan areal pengunaan lainnya (APL).

Harus diakui bahwa Keunikan ekosistem pulau ini sebenarnya telah diakui secara nasional, dan bahkan internasional. Ada sebelas taman nasional terdapat di Pulau Sumatera, membujur dari Aceh sampai ke Lampung. Tiga taman nasional, yakni Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat dan Bukit Barisan Selatan telah ditetapkan sebagai World Heritage. Sebagai World Heritage, maka sesungguhnya taman-taman nasional tersebut sudah menjadi milik international, dan menjadi tanggung jawab global untuk menyelamatkannya.

Bahkan Taman Nasional Berbak dan Sembilang yang merupakan satu dari lima kawasan Ramsar Site di Indonesia meliputi tipe ekosistem hutan rawa gambut yang tidak terganggu hutan rawa air tawar, juga sangat terancam.

Degradasi hutan juga disebabkan oleh perusahaan-perusahaan yang berkepentingan. Perusahaan konsesi hutan yang berjaya sampai akhir dekade 90-an bahkan sampai sekarang masih meninggalkan sisa kerusakan hutan yang parah.

Belum lagi kalau kita mendaftar kasus degradasi hutan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Ekspansi kelapa sawit juga menjadikan masalah kian tak mudah dipecahkan. Dalam periode 1995-2004 saja, laju pembukaan lahan sawit di Indonesia mencapai 362.000 ha per tahun, apa lagi sampai dekade terakhir tahun 2016 yang hampir semuanya berada di Sumatera dan Kalimantan.

Retorika Penyelematan Ekosistem Sumatera tersebut diatas, terkesan hanya retorika atau komitmen Politik, sesungguhnya komitmen politik saja tidak cukup untuk menyelamatkan ekosistem Sumatera. Apalagi jika komitmen ini dibuat hanya sebagai jalan mendatangkan hibah internasional.

Bantuan internasional bukan sesuatu yang dilarang, namun sesuatu yang tak salah dan sangat diharapkan. Tapi, kita harus mampu menunjukkan usaha keras di atas kaki sendiri untuk menyelamatkan halaman sendiri.

Semestinya, komitmen yang telah dibangun harus diimplementasikan secara mandiri tanpa uluran tangan terlebih dahulu. Pemerintah harus beusaha menerapkan sistem perencaaan wilayah yang mengacu pada kesatuan wilayah ekologis.

Memang diakui bahwa pengelolaan konservasi di Indonesia lebih bersifat sosial daripada teknis, fokus konservasi harus diselaraskan dengan fokus pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat. Kesejahteraan sosial harus menjadi prioritas. Pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu kunci. Aparatur pemerintah sampai ke level bawah, karenanya, harus mampu menjadi agen-agen pemberdayaan masyarakat. Komitmen yang baik harus diikuti usaha yang keras agar tercapai.

Namun justru jangan sampai pengembangan komitmen yang berbasis ekonomi tersebut, justru mengabaikan komitmen konservasii dan lingkungan yang jika diabaikan akan menghilangkan komitmen pembangunan ekonomi itu sendiri, sehingga pembangunan ekonomi harus memperhatikan aspek konservasi dan ekosistem sebagai penunjang keberlangsungan pengembangan ekonomi sesungguhnya, mari kita hindari “tersesat di jalan yang benar”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button