opini

Pemulihan Ekosistem Gambut Di Provinsi Jambi

Pemulihan Ekosistem Gambut Di Provinsi Jambi

Oleh

Syamsul Bahri, SE (Conservationist di Jambi) dan

Sismanto, SP (PEH TN Berbak dan Sembilang)

Provinsi Jambi merupakan salah satu diantara beberapa Provinsi yang memiliki hutan dan ekosistem gambut yang cukup luas di Indonesia yaitu seluas ±751.000 hektar merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah, pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.

Dari luasan ±751.000 hektar, sekitar 76% (±561.037 ha) lahan gambut yang sudah menjadi lahan budidaya, baik perkebunan, persawahan, HTI dan peruntukan lainnya, dan sesungguhnya hutan/lahan gambut dengan pH 3,5-4,0, yang mengindikasikan tanah sangat miskin hara, sebagai mana menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan ­bahan tanaman yang telah mati, yang sangat kurang layak untuk lahan dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.

Dalam sejarah Indonesia, kebakaran hutan terbesar pernah terjadi pada tahun 1997/1998 yang terjadi di pulau Sumatra dan Kalimantan, yang meliputi yaitu Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan.

Saat ini deteksi kawasan rawan kebakaran hutan tersebut mencatat ada delapan provinsi yang memiliki potensi terjadinya kebakaran hutan yaitu Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur

Kebakaran ini terjadi karena kekeringan dan gelombang panas yang melanda Indonesia (El-Nino). Besarnya kebakaran yang terjadi di tahun ini mengakibatkan lumpuhnya beberapa bandara, pelabuhan dan jalan raya di Sumatra dan Kalimantan, sehingga mengganggu roda perekonomian masyarakat. Kerugian diperkirakan tercatat sekitar USD 5 miliar.

Kebakaran tahun tersebut untuk Propinsi Jambi terutama di lahan gambut menyisakan sebuah danau yang berada di tengah taman nasional berbak, sampai saat ini sangat sulit mengalami pemulihan ekosistem, karena akibat kebakaran di lahan gambut pada kedalaman >8 meter, terjadi penurunan permukaan gambut/atau tanah yang menyisakan terjadinya ekosistem baru yang berbentuk danau.

Begitu juga dengan kebakaran besar tahun 2015, yang juga terjadi kecenderungan terbesar di wilayah yang sama, dan untuk Propinsi Jambi, jika kita analisa berdasarkan data hot Spot di Propinsi Jambi semenjak bulan Juni 2015 sampai oktober 2015, sebanyak 2016 hot spot melalui pemantauan satelit TERRA / AQUA, dan puncak hot spot terjadi di bulan Agustus sampai Oktober 2015, masing-masing September 2015 yaitu 43%, dan bulan agustus 2015 sebanyak 30%, serta oktober sebanyak 20%.

Dari data tersebut, jika kita lihat dari lokasi penyebaran hot spot menyebar di 11 Wilayah Kabuaten Kota dalam Propinsi Jambi, jika dirinci Kabupaten hot spot tertinggi adalah jika dirinci Kabupaten hot spot tertinggi adalah adalah (1) Kabupaten Muara Jambi (45,95%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (20,24%), Sarolangun (9,13%) dan Kabupaten Tebo (7,8%), sementara Kabupaten/Kota lainnya berada di bawah 7,8% bahkan ada yang 0,0% seperti Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh.

Dari data tersebut diatas, titik api yang terbanyak kebakaran hutan dan lahan  tahun 2015 yaitu di Kabupaten Muara Jambi dan Tanjung Jabung Timur mencapai lebih dari 50%, yang memiliki kecenderungan di lahan atau kawasan gambut yang sudah dikonversi menjadi lahan Pertanian, perkebunan dan Kehutanan, yang menjarah sampai masuk ke kawasan konservasi seperti kawasan lindung dan taman nasional, juga sampai saat ini menyisakan kawasan eks kebakaran cenderung membentuk ekosistem baru dalam bentuk genangan air atau danau, terutama pada kawasan gambut dengan kedalaman >5 m, bahkan kebakaran di Landscape Berbak, tercermin sebagai sebuah cincin api yang mengelilingi kawasan TN Berbak saat itu.

Kekhawatiran ancaman kebakaran yang akan datang dan munculnya ekosistem baru di kawasan dan hutan gambut terutama di land scape Berbak dan Sembilang, yaitu tenggalamnya beberapa bagian dari ekosistem tersebut yang berada di pantai timur pulau sumatera, menjadi perhatian bagi lembaga dunia yang sangat peduli dengan kawasan lahan gambut, yaitu The Convention on Wetlands, yang biasa disebut dengan RAMSAR CONVENTION (perjanjian antar pemerintah yang menyediakan kerangka kerja bagi aksi nasional dan kerjasama internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana).

Kekawatiran tersebut, karena Propinsi Jambi merupakan Ramsar Site tertua di Indoneia, yaitu penetapan pertama di Indonesia Ramsar Site (N ° 554) Taman Nasional Berbak, ditunjuk pada tahun 1991 di Provinsi Jambi, menyelenggarakan keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk banyak tanaman endemik, harimau sumatera dan tapir hidup di hutan rawa tropis dan hitam-air (gambut kaya) sungai dengan komunitas ikan yang kaya menyediakan mata pencaharian lokal. Pada bulan Maret 2017, Ramsar Administrasi Otoritas Indonesia (AA), yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) meminta Sekretariat Ramsar untuk melaksanakan Ramsar Advisory Mission (RAM) untuk memberikan saran kepada pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya ekosistem lahan gambut dan konservasi, termasuk cara pembasahan lahan gambut yang rusak, terutama di daerah rendah produktivitas, sebagai kontribusi untuk pembangunan hijau terhadap praktek-praktek penggunaan lahan berkelanjutan.

Tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebagai kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contribution-NDC) untuk melaksanakan Perjanjian Iklim Paris (diadopsi oleh UNFCCC pada tahun 2015) di tingkat nasional (http://www.ramsar.org/news/ramsar-advisory-mission-to-berbak-national-park-ramsar-site-indonesia) Jika kebakaran hutan dan lahan gambut ini tidak bisa diatasi dengan baik melalui tehnologi tepat guna dimungkinkan beberapa kampung di areal lahan gambut tersebut akan tenggalam, dan ini suatu peristiwa tragis, jika tidak di minimalis mulai saat ini.

Hutan rawa gambut sebagai ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara sangat bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran.

Kondisi Konsentrasi karbondioksida di atmosfer pada dekade ini terus meningkat dan peningkatan konsentrasi karbondioksida global tersebut telah menjadi salah satu isu global yang amat penting karena dengan meningkatknya suhu global akan menyebabkan kekeringan yang nantinya akan berdampak pada kelaparan akibat gagal panen beberapa tanaman pangan seperti padi, gandum dan jagung.

Pada tahun 2015, konsentrasi karbondioksida di atmosfer telah melebihi 400 ppm. Pemanasan global menjadi salah satu isu penting yang sampai sekarang masih belum bisa diatasi (Febri Doni adalah mahasiswa doktor dari Kerinci di bidang mikrobiologi dari Universiti Kebangsaan Malaysia) menjadi salah pembicara mengenai dampak pemanasan global terhadap dunia pertanian di acara 2nd Conference on Agriculture and Climate Change yang diadakan di Barcelona Spanyol 26-28 Maret 2017 yang diselenggarakan oleh Elsevier dan University of Barcelona, yang berbicara tentang berbicara mengenai peranan mikroba dalam meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap perubahan iklim. (http://www.kerincitoday.com/2017/03/peneliti-asal-kerinci-menjadi-pembicara.html)

Ekosistem Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5-4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan ­bahan tanaman yang telah mati.

Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.

Persoalan Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, bukan hanya dilihat bagaimana memadamkan kebakaran, melainkan mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengeolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkesinambungan.

Kerusakan kawasan/lahan gambut di Indonesia, terutama Provinsi Jambi sudah cukup memprihatinkan, bahkan tidak saja merugikan secara fisik lapangan, bahkan sudah merugikan secara ekonomi, lingkungan, kesehatan, integrasi bangsa dan kedaulatan bangsa di kencah Politik Internasional.

Dari berbagai sumber, akibat dari kebakaran lahan dan hutan gambut, menimbulkan kerugian yang sangat besar akibat kerusakan fungsi ekosistem gambut tersebut, sehingga pemerintah  harus  berkomitmen  untuk  melakukan  upaya-upaya  pemulihan fungsi ekosistem gambut sampai pada kondisi alaminya. Menjaga kubah gambut sebagai pengendali hidrologi pada satu kesatuan hidrologis gambut (KHG).

Dengan memperhatikan peluang dan manfaat, serta resiko dalam pengelolaan lahan/kawasan gambut, dikaji dari perspektif undang-undang serta ketentuan yang berlaku, diharapkan Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Propinsi, betul-betul lebih arif dalam membuat kebijakan pengelolaan lahan gambut yang ada serta upaya mendukung pengelolaan gambut berdimensi kawasan lindung seperti Berbak Landscape dan Taman Nasional Berbak, serta upaya pemulihan ekosistem gambut secara keseluruhan terutama pada lahan yang termasuk kriteria kritis dan sangat kritis. Untuk itu diperlukan konsep yang tepat dalam upaya penyelamatan lahan gambut sekaligus memberikan peningkatan perekonomian masyarakat, terutama lahan gambut dengan ketebalan dibawah 3 m.

Jika pengelolaan lahan gambut tersebut dikelola dengan baik dengan memperhatikan aspek kehati-hatian dan aspek konservasi, maka lahan/kawasan gambut tersebut akan terkelola dengan baik dan benar, dan lahan gambut tersebut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan keuntungan ekologi berdimensi ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman hayati. Jika sebaliknya pengelolaan lahan gambut tersebut tidak memperhatikan aspek-aspek tersebut tidak menjamin keuntungan ekonomi berkelanjutan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

Dari berbagai kondisi yang ada, pemulihan ekosistem gambut di Propinsi Jambi merupakan upaya startegis jangka panjang dalam meminimalkan dampak kebakaran hutan dan kebanjiran, serta penyelamatan ekosistem pantai timur di Propinsi Jambi, serta meminimalkan dampak ekonomi, serta dampak dampak yang dikonversikan secara ekonomi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button