opini

Mengapa Mereka (Jurnalis) Dipukul?

Oleh: Nurul Fahmy

PERISTIWA pemukulan terhadap dua jurnalis di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, Sabtu sore 29 Mei 2021 oleh sekelompok orang, yang diduga sindikat pelangsir minyak ilegal, patut dikecam. Ini tindakan bar-bar. Tidak menghargai kemanusiaan.

Sebenarnya, siapapun yang melakukan kekerasan terhadap orang lain, layak dikecam. Apakah orang yang dipukul tersebut sedang menjalankan tugas atau tidak, profesinya dilindungi undang-undang atau tidak, tetap tidak boleh dilakukan kekerasan terhadap manusia lainnya.

Konsekuensi hukumnya jelas. Deliknya adalah delik umum/biasa. Aparat sudah wajib menciduk para pelaku untuk diproses secara hukum, terlepas dari konteks orang itu wartawan yang sedang bekerja atau bukan.

Dalam konteks peliputan media, kerja wartawan seperti membongkar sindikat pelangsir BBM ini termasuk salah satu kerja yang berisiko. Wartawan di lapangan berhadapan dengan operator, orang-orang lapangan, yang sedang bekerja. Orang-orang kasar. Wartawan sejak awal sudah harus menggunakan instingnya. Sudah harus mengindetifikasi siapa orang-orang ini.

Wartawan juga sudah harus paham, kapan harus angkat kamera foto atau video, dan kapan harus menyembunyikan atau merekam secara diam-diam aktivitas terlarang, bahkan menyimpan rapat identitasnya.

Dalam liputan sejenis investigasi, wartawan dibolehkan melanggar kode etik, seperti menyembunyikan identitasnya dalam situasi yang bisa saja membahayakan keselamatan jiwanya. Tak perlu petantang-petenteng atau show up dalam situasi ini. Pengalaman sejawat kita Irma Tambunan dari Kompas layak dijadikan pembelajaran bagaimana berhadap-hadapan dengan manusia-manusia jenis ini.

Bayangkan, dalam liputan terbuka seperti aksi demonstrasi saja wartawan rentan terluka, dipukul atau dianiaya. Apalagi dalam liputan eksklusif, berhadap-hadapan langsung dengan objek berita yang sedang “berkasus”.

Untuk itu, wartawan harus punya kesadaran dan kehati-hatian yang tinggi. Jika tidak memungkinkan, wartawan boleh mengutip sumber-sumber anonim, yang keterangannya dapat dipertanggungjawabkan. Kalau perlu, meski kode etik melarangnya–bayarlah orang atau nara sumber kunci untuk mendapatkan informasi investigatif berbahaya seperti ini.

Sebaliknya, apabila ada nara sumber yang terancam keselamatannya jika identitasnya disebut/ditulis dalam berita, media atau wartawan punya Hak Tolak untuk tidak menyebutkan nama nara sumber. Sehingga lazim kita temui sumber anonim dalam sebuah berita, yang biasa ditulis, “sumber yang tidak mau disebutkan namanya”.

Wartawan juga wajib menyimpan rapat identitas nara sumbernya, meski langit runtuh sekalipun. Satu-satunya yang boleh memerintahkan membuka identitas nara sumber tersebut adalah pengadilan, para hakim, setelah melalui proses persidangan. Tapi penggunaan nara sumber anonim jelas tidak berlaku untuk semua peristiwa.

Patut disadari, kebebasan pers (dalam meliput), kadang tidak sejalan dengan jaminan keamanan di lapangan. Seringkali kita dengar wartawan jadi korban pemukulan, kekerasan, bahkan oleh aparat sekalipun saat tengah sama-sama bertugas di lapangan. Insiden ini, bukan sekali dua kali terjadi, tapi seringkali. Ingat bagaimana kantor Al Jazeera dan AP dirudal Israel dalam penyerangan 11 hari lalu di Jalur Gaza? Harus disadari, semua orang berpotensi mendapatkan kekerasan.

Jika di media wartawan bebas berbicara (menulis), di lapangan masih banyak orang yang mengandalkan kepal tangannya untuk menyelesaikan persoalan. Dan mereka inilah manusia manusia bar-bar. Meliput atau berhadapan dengan manusia bar-bar begini, tentu saja tidak bisa disamakan dengan peliputan lain. Investigasi atau liputan mendalam (indepth report) bukan macam kerja wartawan di istana, atau kerja wartawan desk politik, yang lebih banyak bermain wacana dan lempar pernyataan.

Jika di istana atau desk politik, nara sumbernya orang yang paham hukum (meski belum tentu menjalankannya), berbeda dengan di lapangan. Di lapangan wartawan berhadapan dengan manusia dengan ragam latar belakangnya. Banyak juga yang tak paham, tak peduli atau tak mau tahu dengan hukum.

Jika para penjahat paham hukum dan mentaatinya, tak mungkin terjadi baku tembak saat penggerebekan pelaku kriminal. Dan tentu saja tak akan terjadi tindak kriminal atau pelanggaran hukum lainnya. Ketika penjahat terdesak dan mengacungkan senjata, polisi tentu saja tak bisa hanya sekedar berkata, “kami polisi, jangan tembak, kami bekerja dilindung undang-undang“. Maka itulah gunanya polisi dibekali senjata.

Dan wartawan, sebelum kena gebuk di jalanan, ada baiknya selalu mawas diri dan selalu luruskan niat. Sebab undang-undang saja, kita tahu, tidak cukup memberikan jaminan.

Advokasi terbaik ada pada diri masing-masing. Baik saat meliput di lapangan, ataupun saat menuliskannya. Belajar terus dari pengalaman. Keep Spirit!!!

Penulis: Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Jambi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button