opini

PILKADA PROVINSI JAMBI DEMOKRASI BERDIMENSI KOSMOKRASI ????

PILKADA PROVINSI JAMBI DEMOKRASI BERDIMENSI KOSMOKRASI ????

(Manusia dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan yang saling ketergantungan)

By Syamsul Bahri, SE dan Suprapto Secang

(Conservationis di Jambi)

Suasana perpolitikan di Indonesia pasca Pemilihan Presiden tahun 2014 sebagai sebuah konsekuensi untuk berakhirnya pertarungan politik keberpihakan dalam perjalanan negara untuk 1 (satu) periode kepemimpinan, namun kondisi itu belum berakhir sampai saat ini, tapi salah satu produk yang sebelumnya menjadi perdebatan yang sengit bahkan memunculkan kelompok dalam legeslatif yaitu KIH, Demokrat dan KMP, yaitu disyahkannya Perpu No 1 tahun 2014, menjadi Undang-Undang No 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubenrnur, Bupati dan Walikota, namun kondisi yang seharusnya normal tersebut justru sebaliknya, pertarungan tersebut masih terus berjalan, bahkan pemecahan partai politik terutama dalam KMP terus berjalan, dan pertarungan KPK Vs Polri, Kisruh Calon Kapolri yang masih terus bergulir yang menimbulkan dampak-dampak politik yang semakin panas, keamanan yang ketidak nyamanan, dan akan mempenguruhi roda perekonomian akan membuat melemahnya Nilai tukar rupiah di pasar semakin dalam mencapai lebih Rp. 13.000/US$, dan kondisi harus segera diatasi.

Momentum UU No 1 tahun 2015, yaitu dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahap I bulan Desember tahun 2015, termasuk Pilkada di Propinsi Jambi, sehingga memanasnya suhu politik bukan hanya di pusat pemerintahan dimana berada Lembaga Kepresidenen dan Legeslatif, namun sudah memasuki wiayah-wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota yang melakukan persiapan Pemilihan Kepala Daerah, dengan kondisi Parpol yang masih dalam proses penyatuan seperti Golkar dan PPP, sehingga beberapa Bakal Calon Gubernur/Bupati dan wali kota melakukan loby-loby politik, bukan hanya untuk mencukupi persyaratan mendaftar dari Balon menjadi Calon, justru lebih jauh lagi berusaha untuk mengusai partai mayority, sungguh kekuasaan yang menjadi tujuan semata-mata.

Di Propinsi Jambi dilaksanakan serentak bersamaan dengan Pilgub dengan Wilayah Pemilihan Bupati/Wako yaitu Bungo, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batanghari dan Sungaipenuh, yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 2015 dan direkirakan pada tanggal 9 Desember 2015.

Beberapa pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh politik memunculkan beberapa bentuk koalisi, baik untuk keperluan pasangan Gubernur/Bupati/Walikota yang dilihat berdasarkan kekuatan di DPRD masing-masing, balon melakukan lobby atau sebaliknya meloby untuk mendapat dukungan dalam Pilkada nantinya, bahkan melakukan Seleksi secara terbuka untuk menilai keseriusan Balon yang diukur dengan indikator terutama elektabilitas balon, dan Partai membuat persyaratan yang untuk orang awam pasti mampu, begitu juga dengan masyarakat yang berbasiskan keterkaitan secara genetik dan non genetik yang memiliki kekuatan suara yang potensial juga melakukan penawaran dan kesepakatan jika tokoh mereka terpilih, baik untuk Gubernur/Bupati/Walikota atau Pendamping/wakil.

Jika kita cermati data penentu dalam melahirkan Balon menjadi Calon dalam Pilkada Gubernur di Propinsi jambi, yaitu perbanding kursi di Legeslatif adalah tiga besar pemenangan Pileg di Propinsi jambi tahun 2014, dengan perhitungan kursi adalah Partai Demokrat 18,2%; Partai Golkar 14,5% dan PDIP 12,7%, sedangan 9 partai lainnya berada di bawah 11%. Tarik ulur kepentingan antara Balon dan Parpol pasti sangat kuat dan dominan, mudah mudahan tarik ulur tersebut mencerminkan kepentingan rakyat.

Fakta, informasi dan realitas diatas kelihatannya semuanya berorientasi pada kekuasaan dengan mengatas namakan kepentingan rakyat, dengan tanpa melihat platform yang selama ini menjadi pemisah antara nasionalis dan agamais. Ini sebuah indikasi bahwa bahwa demokrasi politik di Indonesia berorientasi pada “anthroposentris”, memiliki kecenderung pada kekuasaan mengatasnamakan rakyat, dengan dukungan dari rakyat.

Walaupun atas nama rakyat, sesuai pengertian demokrasi, namun dari banyak pengalaman yang telah ada, selama ini rakyat hanya diatas namakan, dan fakta yang terjadi adalah bahwa kemiskinan dan rakyat miskin semakin susah dientaskan, semakin lapar, semakin muncul bermacam penyakit di masyarakat, semakin banyak musibah dan bencana alam, semakin jauh jarak kaya dan miskin, semakin banyak orang kaya baru, semakin terkurasnya sumberdaya alam yang menjadi ancaman kemiskinan yang berkepanjangan, semakin banyak kekayaan dijadikan dasar kekuasaan baik kekuasaan dalam demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik, semakin langkanya idealisme, semakin marjinalnya ketokohan, dan semakin kuasanya uang.

Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, bahwa kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pilkada tahun 2015 ini, yang selanjutnnya memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon Gubernur/Bupati/Walikota atau wakil yang akan duduk di eksekutif, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupalam indikasi dan ancaman “plutokrasi”, yang mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.

Demokrasi yang berdimensi manusia “anthroposentris” hanya melihat dari aspek manusia sebagai centralistic; padahal demokrasi adalah suara rakyat dan rakyat adalah menjadi bagian dari lingkungan sebagai tempat hidup yang tidak dapat dipisahkan sebagai sumber ekonomi yang berdimensi uang dan non uang yang tak ternilai. Dalam kaitannya dengan alam yang kita pijak ini, demokrasi yang semacam itu hanya melihat sumberdaya alam dari nilai uang dan keuntungan semata-mata. Dan fakta mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia selama ini masih sangat sedikit yang berfikir bahwa rakyat dan lingkungan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dengan berbagi manfaat yang didapat dari alam

Sedangkan demokrasi yang berdimensi kosmokrasi merupakan sebuah pemahaman demokrasi yang lebih ‘mendalam’, seperti yang telah dikemukan oleh John Keane pada saat Konferensi untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali, yaitu demokrasi yang melebihi isu demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat terutama oleh banyak politikus. Demokrasi yang berdimensi demikian berusaha mengakomodasi aspek rakyat dan aspek ekologi menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Pimpinan politik/Balon yang mengaku sebagai penganut demokrasi dengan dimensi kosmokrasi akan melahirkan pemimpin politik yang tidak sekedar berlegitimasi demokrasi alias optimal didukung publik, tetapi juga berlegitimasi kosmos yang didukung dan direstui oleh rakyat dan alam. Dan tentunya perlakuan terhadap alam menjadi bagian dari visi dan misi dalam usaha untuk pelestarian, penyelamatan dan pemanfaatan berkesinambungan yang empatik dan rasional.

Hal tersebut dikarenakan demokrasi kosmokrasi akan memunculkan kesadaran akan arti penting lingkungan hidup dan eksistensi makhluk selain manusia baik secara mikro maupun makro. Ini tentunya dibutuhkan juga aksi-aksi nyata dalam rangka mencegah kerusakan-kerusakan (alam) yang fatal. Kita bisa melihat bahwa isu perubahan iklim sudah merupakan isu aktual yang menjadi perhatian internasional, tidak sekedar banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah, bahkan gagal panen, dan banyak produk pertanian yang merupakan produk import.

Mungkinkah muncul Balon dalam demokrasi berdimensi kosmokrafi di Indonesia? Politisi dan kekuasaan yang pro-lingkungan hidup? Kita harus yakin, harus ada! Namun, kalau kita lihat perkembangan pasca pemilu eksekutif tahun 2015, sangat sedikit Balon yang menuju kekuasaan yang menganut demokrasi berdimensi kosmokrasi. Ini ironis sekali, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negara yang mengalami laju deforestasi sangat besar, kebakaran hutan dimana-mana, dan sebuah negara yang rawan bencana lingkungan, serta begitu banyak kasus kemiskinan dan kelaparan yang belum menemukan solusi yang tepat

Di sinilah kosmokrasi pro rakyat dan pro lingkungan dibutuhkan di Indenesia untuk mengentaskan berbagai masalah ekonomi, kemiskinan, kelaparan, pendidikan, ketersedian pangan, mengatasi bencana alam, mengembalikan demokrasi pangan dan lain sebagainya. Jadi yang saat ini kita butuhkan adalah bukan hanya melihat kekuasaan yang memiliki kecenderungan sebagai sebuah koalisi yang survival dan tidak permanent, bukan hanya dengan melihat koalisi yang terbentuk secara platform, ideologi, dan sejarah partai. Juga bukan koalisi yang didasarkan karena kekuasaan dan ingin menguasai, yang berorientasi pada kekuasan sang manusia yang digambarkan dalam ketokohan yang ditokohkan. Namun sejauh pengamatan penulis, saat ini kita belum menemukan politisi yang sepenuhnya berorientasi kosmos (baca: manusia dan lingkungannya).

 

Demokrasi secara hakiki bukan hanya urusan bersifat kalkulatori tentang angka dan penghitung suara, serta kekuasaan. Demokrasi adalah sarana emansipasi kemanusiaan (baca: manusia dan lingkungan) untuk lepas dari jerat kesewenangan penguasa.

 

Dan dengan pengamatan dalam proses Pelaksanaan Pilkada, rakyat dan lingkungan sangat kurang diperahtikan, pada hal demokrasi itu adalah suatu proses untuk mewjudkan kesejahteraan manusia secara hakiki yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dengan pemahaman faktor ekologi sebagai dasar persyaratan untuk perwujudan kesejahteraan yang berkesinambungan.

 

Apa yang diuraikan di atas, sesuai statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga saat ini demokrasi berdimensi kosmokrasi menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button