opini

Demokrasi di Pasar Gelap

(Calon Tunggal pada Pemilu-KADA serentak ancaman demokrasi)

Oleh Syamsul Bahri, SE

Pemilu Kepala daerah atau Pemilu-KADA serentak merupakan proses penentuan dan pemilihan secara demokratis untuk menentukan Kepala Daerah yang lebih baik baik untuk Gubernur, Bupati maupun Walikota, melalui ketentuan yang telah diatur dalam UU tentang Pilkda serentah beserta perangkat. Namun Pemilu-KADA serentak tahun 2020 memunculkan sesuatu yang menjadi trendy baik melalui Media Televisi, media social dan media cetak, yaitu Pemilu-KADA dengan calon tunggal atau Pemilu-KADA melawan kotak kosong.

Pemilu-KADA dengan Pasangan calon Tunggal yang akan melawan kotak Kosong menjadi isu yang sangat hangat sedang dibahas dan dibicarakan diberbaai media, berdasarkan pemantauan penulis dan dari beberapa reference  sampai hari ini terpantau 28 Calon Kepala Daerah maju sebagai calon tunggal unuk tahun 2020 dibanding tahun Pemilu-KADA sebelumnya merupakan grafik yang naik secara significant, karena pasangan calon tunggal pada Pemilu-KADA tahun 2015 sebanyak 3 pasang, tahun 2017 naik menjadi sebanyak 9 pasang, tahun 2018 turun menjadi 16 pasang, dan sampai tahun 2020 diperkirkan 28 pasang. Ada sesuatu yang sangat menarik semakin maraknya Pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong yang muncul setiap Pemilu-KADA.

Demokrasi yang diartikan sebagai “kekuasaan rakyat”, jika Pasangan Tunggal melawan kotok kosong, maka kekuasaan rakyat akan berubah menjadi “kekuasaan elit”. Karena calon Kepala Daerah akan bertarung dengan Kotak Kosong, tentunya memiliki konsekwensi yang sangat istimewa jika bertarung denegan kotak kosong, antara lain memberikan indikasi sebagai berikut (1) Pemilu-KADA sudah dianggap tidak demokratis; (2) beraninya dengan kotak kosong; (3) terkesan tidak ada diberikan peluang untuk calon lainnya; (4) Sudah kebelet ingin jadi Kepala Daerah dengan mudah; (5) Ingin jadi Kepala Daerah dengan tanpa saingan; (6) cenderung menggunakan semua infrastruktur baik yang ada di daerah, termasuk infrastruktur politik dari daerah sampai ke pusat; (7) kurang percaya diri bersaing secara fair competitive dengan calon lain; (8) proses kaderisasi melalui Parpol di daerah sebuah kegagalan;(9) adanya dukungan infrastruktur Politik dalam bentuk UU Pemilu-KADA; (10) sudah kehilangan rasa malu jika terpilih, hanya nafsu menjadi pemimpin;(11) Proses mencari partai pengusung berdasarkan jumlah kursi di DPRD lebih dilihat bermain di pasar Gelap yang sering disebut “Invisible Hand”; (12) Menghambat dan membunuh hak demokrasi seseorang untuk mencalon sebagai Calon Pasangan Pemilu; (13) Menghambat dan mematikan hak demokrasi pemilih yang memilih hak untuk memilih calon diluar pasangan tunggal dan kotak kosong; (14) Indikasi merugikan keugangan negara semakin kental, yang cenderung bermain di wilayah KKN;(15) terciptanya Pemerintah Daerah yang memiliki indicator bermain di wilayah KKN; (16) menggagal calon lain lebih berkompeten secara track record.

Berbagai indicator terhadap pelaksanaan Pemilu-KADA dengan Pasangan tunggal melawan kotak kosong yang begitu menghebohkan, dari pengamatan penulis lebih disebabkan oleh UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilu-KADA (1) terlalu tingginya persyaratan untuk mendapatkan kursi Partai sebagai pengusung atau pendukung di DPRD atau gabungan partai bisa mengusung pasangan calon jika memiliki minimal 20 persen kursi DPRD sebagaimana dimaksud pasal 40, terkait dengan Parlemen Treshold dan pasal 41 UU yang sama terlalu tingginya persyaratan copy KTP terkait dengan calon Perorangan, yang memiliki kesan dihambat dan diganggu dengan system yang ada dan (2) MK melalui Putusan No. 33/PUU- XIII/2015 telah memberikan landasan legal formal bagi politik dinasti di Indonesia dengan alasan untuk mencegah terjadinya diskriminasi dalam Pemilu-KADA. Putusan MK ini bisa dimaknai bahwa MK telah melegalkan keluarga petahana dalam Pemilu-KADA sehingga memperkuat praktik Dinasti Politik.

Baca juga:  Tercium Praktik Permainan Penjulan LPG 3 Kg di Bumi Sakti Alam Kerinci

Dari kedua butir penyebab tersebut, menurut Saan Mustafa Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem Republika.Co.id (28/07/2020) dalam judul Ada Pasar Gelap dalam Penentuan Calon Kepala Daerah, menjelaskan Adanya pasar gelap inilah, kata Saan, yang membuat seseorang yang mempunyai kompetensi akan terganjal maju sebagai calon. Ditambah kondisi multipartai dan biaya politik yang tinggi, menyebabkan hal tersebut sering terjadi.

Terjadinya “pasar  gelap Pemilu-KADA” (invisible Hand), dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan, dan dukungan tidak diatur dalam undang-undang sehingga muncul pasar gelap untuk mendapatkan dukungan karena kerumitan untuk mendatangi partai-partai, yang melahirkan transaksi untuk mendapatkan dukungan Politik berdasarkan jumlah kursi di DPRD.

Pasar Gelap tersebut bukan hanya saat mencari dukungan di DPP, bahkan dimulai di tingkat daerah, baik melalui Partai Politik (infra struktur Politik) dan melalui Infrastruktur di daerah, termasuk Birokrat, Kontraktor, bahkan pengusaha/Sponsor

Menurut suara.com, (kamis 17/08/2020), jika dilihat berdasarkan status hubungan kekerabatan, ditemukan 52 orang bakal calon Dinasti Politik yang berstatus hubungan keluarga, dengan rincian sebanyak 23 orang sebagai anak, sebanyak 16 orang sebagai istri, 9 orang berstatus sebagai adik serta sisanya 4 orang berstatus sebagai kerabat dekat lainnya, dengan status sebagai pasangan Dinasti Politik, bahkan 6 orang dari 23 bakal calon yang berstatus sebagai anak ialah berusia di bawah 30 tahun atau merepresentasikan kelompok milenial dan 16 orang yang berstatus istri merupakan istri dari bupati yang akan habis masa jabatannya, sungguh hebat dan fantastis sekali.

Begitu juga menurut Kerincitime.co.id 2 minggu yang lalu dengan judul Kenapa Dinasti Politik Ditolak Oleh Masyarakat, menyampaikan Menyikapi kondisi tersebut penulis mencoba mencari dan memberikan analisa, apa yang menjadi latar belakang adanya penolakan masyarakat terhadap munculnya pasangan Dinasti Politik tersebut, antara lain

(1). The injustice of democracy, adalah secara etika tidak baik karena dapat menyebabkan ketidak adilan dalam distribusi kekuasaan politik, bahkan akan mencederai semangat dari demokrasi, dimana kekuasaan politik harus didistribusikan secara merata kepada masyarakat. Kontestasi politik yang  langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil (luber dan jurdil) yang bertujuan sesuai tujuan dan arah demokrasi, menjadi impian masyarakat Indonesia dalam Pemilu-KADA, justru cenderung dipengaruhi oleh sistem kepentingan keluarga, mulai dari proses pencalonan hingga kemenangan tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara asal keluarga yang berkuasa.

Ini bukanlah yang pertama kali dalam praktik dinasti politik, sudah menerapkan dinasti politik yang mengancam demokrasi. Disadarioleh kita semua, setiap orang memiliki kesempatan yang sama  untuk ikut serta dalam kontestasi politik, begitupula untuk mengakses jabatan publik baik sebagai Gubernur, Bupati maupun Walikota. Namun demokrasi melalui Pemilu-KADA serentak yang seharusnya memberikan kesempatan lebih luas bagi banyak orang, justru sebaliknya menumbuh suburkan dinasti politik didaerah;

(2). The contrary to political democracy adalah oligarki kekuasaan atau Dinasti Politik saja sangat bertentangan dengan demokrasi, sebab cenderung menimbulkan  budaya KKN semakin menggurita. Oleh sebab itu perlu adanya sistem demokrasi yang membangun kekuatan mengontrol kekuasaan agar tidak terjadi abuse of power;

Baca juga:  WIM Berbagi Paket Takjil di Jembatan Kerinduan

(3). The Economically detrimental, adalah ditinjau dari secara aspek ekonomi sangat merugikan masyarakat, kemiskinan yang semakin dalam, tentunya terakumalasi menjadi Human Developmen Indek, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan rendahnya tingkat mutu Pendidikan diwilayah tersebut, pembangunan infrastruktur yang tidak maksimal, korupsi meraja lela,  Siapa yang diuntungkan? Tentu pihak-pihak yang berkepentingan dengan para calon terkait dinasti politik yang mendapatkan keuntungan jika menang dalam Pemilu-KADA. Namun bagi rakyat, tak ada korelasi positif antara dinasti politik dengan kesejahteraan rakyat;

(4). The preparation early process adalah secara politik cenderung sudah dipersiapkan lebih awal, baik dukungan infrasruktur politik, dan infrastuktur birokrasi, pengusaha, financial, sponsorship dll yang lebih mumpuni dibanding calon non dinasti politik;

(5). The Tend to Corruption, koncoisme and Nepotism, Dinasti Politik cenderung money Politik atau politik uang, terkait dengan Pemilu-KADA sepanjang musim Politik, politik uang memang sudah menjadi suatu kegiatan yang sangat sulit untuk dihindari dan ditolak, money politik memberi kesan “ada tapi tiada” yang cenderung memainkan invisible hand;

(6). The blurring of supervision and control, adalah akan terjadi pengaburan fungsi atau bahkan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan, dimana checks and balances yang buruk akan mengarah ke praktik KKN;

(7). The good access to power and budget, adalah politik dinasti mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangi pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompok;

(8). The Political parties tend to support political dynasties adalah Partai Politik  cenderung mendukung calon dari Dinasti Politik dan menghambat peluang untuk calon non dinasti Politik (mudah2an tidak terjadi) himbaun Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dini Suryani, mendorong partai politik (parpol) agar tidak mengusung figur dari dinasti politik sebagai calon kepala daerah di Pemilu-KADA 2020. Ini sebagai upaya menghentikan praktik politik dinasti di Indonesia, Di sisi lain, kita pesimistis parpol akan setuju dengan usulan ini karena lebih tertarik mencalonkan orang yang erat dengan politik kekerabatan atau politik dinasti. (parpol diminta tak calonkan figure dinasti politik diPemilu-KADA, Republika.Co.id, 07/07/2020);

(9). The programs are not important but personal is more important, kita menyadari bahwa Pemilu-KADAkita menganut sistem pemilu yang sangat fokus pada personal dibandingkan program kerja yang berbasis Visi dan Misi. Apalagi saat ini, Indonesia tidak memiliki regulasi yang kuat untuk mencegah praktik politik dinasti di daerah; Nicollo Machiavelli dalam salah satu magnum opus-nya Il Principe (Sang Pangeran) berujar, kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah. Jika filsuf era Renaisans itu masih hidup kini, barangkali ia akan tertawa melihat cara pemimpin mempertahankan kekuasaannya. Petuah Machiavelli rupanya masih abadi hingga sekarang. Ia dilanggengkan lewat dinasti politik, nepotisme jabatan, tukar guling, dan bagi-bagi kue kepada para rente.

Begitu juga kita cermati suara independent.id (26/06/2020) dalam berita yang berjudul politik kekerabatan merupakan pelemahan demokrasi (gerakan anti politik dinasti), menyatakan bahwa jika Politik dinasti ini berlanjut, akan muncul konsekwensi logis dari gejala (1) Hilangnya peluang dan kesempatan tokoh terbaik yang merupakan kader handal dan berkualitas; (2) Perputaran kepemimpinan dan kekuasaan berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga munculnya potensi terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan; (3) Proses pelaksanaan pembangunan dan cita cita demokrasi sangat sulit terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance); (4) Fungsi control dan balance dari lembaga legeslatif terhadap kekuasaan akan melemah, akan menyebabkan pelaksanaan pembangunan mealui proyek baik APBD maupun APBN dan sumber dana lain, cenderung ber KKN; (5) Ke tidak demokrasi akan berlanjut dan berlanjut dengan pola Politik Dinasti; (6) Tujuan demokrasi yang sesunggunya akan sangat sulit tercapai, bahkan akan terciptanya kemiskinan yang merata dll.

Baca juga:  Tercium Praktik Permainan Penjulan LPG 3 Kg di Bumi Sakti Alam Kerinci

Pengamat politik dari Universitsa Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai majunya para bakal calon kepala daerah yang memliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan para pejabat negeri sebagai ‘aji mumpung’. Mereka dianggap akan mendapat banyak bantuan mengingat status mereka tersebut. Ujang berpendapat bahwa fenomena ini berpotensi merusak proses demokrasi di Indonesia.

Karena tidak memberi ruang dan kesempatan anak-anak bangsa yang lain untuk menjadi wali kota, bupati, gubernur. Karena pejabat bupatinya nanti yang terpilih sudah dikondisikan. Dari anaknya presiden, anaknya menteri, anaknya pejabat lain, ini yang jadi masalah,” tutur Ujang, Senin (03/08) siang.

Seterusnya dijelaskan bahwa partai politik dewasa ini cenderung memilih bakal calon dari dinasti politik untuk disodorkan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dibandingkan dari kadernya sendiri. Hal ini dikarenakan mereka yang memilki hubungan dengan pejabat negeri dianggap memiliki kekuatan politik lebih.

Kecenderungan Pasangan tunggal melawan kotak kosong pada Pemilu-KADA tahun 2020, cukup beralasan sebagaimana telah diuraikan, jika muncul dalam proses tambahan waktu pendafatran calon pasangan yang akan ikut berkompetisi, ada indikasi pasangan tersebut calon boneka, karena pasangan tunggal merasa ancaman kotak kosong dan Gerakan kotak kosong sangat significant, bahkan mengajak berkoalisi para bakal calon gagal untuk bekerja sama, cukup berindikasi, mudah-mudahan tidak terjadi.

Kondisi saat ini dimana daerah yang memiliki bahkan pasangan tungal apalagi pasangan tungal berasal dari dinasti politik, yang akan bertarung melawan kotok kosong, masyarakat memahami menggagalkan Pemilu-KADA sesuatu yang tidak meungkin oleh masyarakat, maka masyarakat mebentuk aliensi mendukung kotak kosong sebagai pemenang, dan Gerakan tersebut cukup TSM, karena beberapa Bakal Calon Kepala Daerah terhenti gerakannya karena pemborongan partai politik.

Sesungguhnya, marilah kita mengevaluasi sistim Pilkada serentak melalu UU No 10 tahun 2016, agar bobot demokrasi lebih bail lebih demokratis, lebih hemat dan jauh dan dihindari dari permainan mahar politik, biaya politik, dalam kategori Money Politik yang sesungguh menjadi kewenangan penegak Hukum, terutama KPK, serta pembangunan lebih bermanfaat secara maksimal tidak sebagaimana terjadi saat ini.

Apa yang dilakukan bung Rizal Ramli dkk melalui pengacaranya Rafly Harun yang mengugugat Presiden Treshold 20%, seyogyannya terkait Pilkada juga hendaknya ditinjau ulang, agar bobot demokras lebih baik dan pembangunan juga akan lebih baik, sehingga fisik pembangunan juga akan lebih bertahan lama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button