Teater Payung Hitam ‘Kampanye Calon Presiden’
Kerincitime.co.id, Bandung – Teater Payung Hitam akan berkampanye keliling ke sejumlah daerah soal calon presiden lewat lakon baru berjudul Palsu. Lewat tokoh utama Semar berwujud unik, drama itu mengajak penonton untuk menimbang calon-calon presiden yang kini telah bermunculan.
Penulis naskah sekaligus sutradara Teater Payung Hitam, Rachman Sabur, mengatakan bahwa drama itu akan dipentaskan keliling ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Jakarta dan Yogyakarta. Waktunya dari September hingga menjelang Pemilihan Presiden 2014. “Kita coba mengkritisi bersama kondisi partai politik, juga menyindir dan mengkritik para calon presiden,” ujar Rachman.
Pementasan perdana telah berlangsung di Gedung Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Jumat malam, 23 Agustus 2013. Bekerja sama dengan kelompok Masyarakat Musyawar Mufakat, pementasan yang berlangsung selama kurang lebih satu jam itu sempat disaksikan calon presiden Wiranto di kursi paling depan.
Sempat ada bisik-bisik bahwa lakon itu pesanan dari partai politik tertentu, namun Rachman dengan tegas membantah. “Memang politis, tapi kami tidak berafiliasi ke partai politik manapun. Kami mau ada pemimpin yang eling (sadar),” ujarnya.
Drama berjudul Palsu diawali dengan kemunculan tiga sosok yang mengklaim diri sebagai Semar asli. “Aku Semar sejak zaman pra sejarah,” kata lelaki berjas abu. “Aku Semar sejak awal sejarah,” ujar lelaki berjas dokter. Lalu, pria satunya ikutan menyahut. “Aku Semar sepanjang sejarah,” ucap lelaki berjas merah.
Namun ketiga Semar itu hanya ingin berkuasa bersama para oknum hakim, jaksa, dan pengacara yang suka memperkosa Dewi Keadilan. Suara rakyat jelata diabaikan karena terdengar berisik seperti pukulan besi berulang kali ke teralis. Hingga akhirnya, ketiga Semar itu tersadar setelah minum jamu.
Setelah itu muncul sosok Semar lain berbentuk wayang golek raksasa. Kemunculannya merubuhkan tembok latar panggung yang tersusun dari tumpukan kardus. Adapun Semar asli, hadir tanpa kepala. Rachman menggarap lakon itu dengan beragam simbol untuk mengisahkan kondisi politik dan sosial Indonesia sekarang. (TEMPO.CO)