(Menjadi bagian penting catatan bagi Pemerintah Provinsi Jambi)
Oleh Syamsul Bahri, SE dan Syaiful Bahri, SH
Bencana Kebakaran hutan dan lahan, yang menghasilkan bencana asap yang semakin sangat mengganggu, muncul kembali di Indonesia sebagai negara tropis bersama dengan negara lainnya, yang memiliki dimensi kerugian yang cukup luas, bukan hanya ekonomi, kesehatan, bahkan menyangkut kemungkinan produksi tanaman yang menghasilkan buah, karena terganggunya proses penyerbukan yang membutuhkan proses fasilitasi melalui kupu-kupu atau sejenisnya.
Jika kita perhatikan Titik Api atau Hot Spot secara Nasional di 32 Provinsi di Indonesia, dimana sampai tanggal 4 Oktober 2019, terdata sejumlah 21.703 HS yang tercatat secara nasional dan jika dirinci peringat tertinggi terbanyak Hot Spot mulai Januari 2019 sampai tanggal 4 Oktober 2019, dengan perincian (1) Kalimantan tengah sebanyak 6.222 HS (28,67%), (2) Kalimantan Barat 4.051 HS (18,67%), (3) Jambi 3.52 HS (14,06%) dan (4) Riau 2.250 HS (10,37), sedangkan Provinsi lainnya berada dibawah 10%
Dan jika kita cermati untuk Provinsi diwilayah Sumatera Hot Spot mulai Januari 2019 sampai tanggal 4 Oktober 2019 sebanyak 7.627 HS atau (35,14%) secara Nasional, dan jika Titik Api atau Hot Spot tersebut jika kita amati di Pulau Sumatera yang terjadi penyebaran Hot Spot di 9 wilayah Provinsi, jika di rangking dari jumlah Hot Spot tertinggi yaitu dengan rincian adalah (1) Provinsi Jambi sebanyak 3.052 HS atau 40%, (2) Provinsi Riau sebanyak 2.250 HS (29,5%), (3) Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 1.968 HS (25,8%).
Data ini cukup mengagetkan dan mencemaskan, bahwa memang secara bentang alam, kawasan gambut di Pulau Sumatera seluas 35% dari 20,6 juta Ha, Kalimantan 32%, Sulawesi 3% dan Papua 30% yang mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan.
Sedangkan di pulau Sumatera, dari sekitar 4.6 juta hektar luas hutan rawa gambut, 7,4%-nya (341 000 ha) terletak di provinsi Jambi, sedangkan sekitar ± 26%-(1.2 juta ha) tersebar di provinsi Sumatera Selatan dan menyebar di Provinsi Riau sekitar ± 46%. Daerah hutan rawa gambut terpenting di kedua provinsi tersebut berada di dalam dan sekitar wilayah Berbak dan Sembilang.
Berbak-Sembilang yang terletak di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah penting dan unik di Sumatera karena mempunyai hutan rawa gambut yang luas dan merupakan kawasan konservasi lahan basah terluas di Asia Tenggara, dan kawasan tersebut untuk Propinsi Jambi terdapat di LandscapeBerbak terutama terdapat di Tanjung Jabung Timur, Muara Jambi, seperti Hutan Lindung Gambut, Tahura, Taman Nasional Berbak, yang diteruskan ke Taman Nasional Sembilang, dan di Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Namun data keluasan gambut tersebut tidak relevan dengan jumlah hot spot yang dimonitor semenjak Januari 2019 sampai tanggal 4 Oktober 2019, dimana untuk Pulau Sumatera Hot Spot di Provinsi Jambi mencapai 3.052 HS atau 40%, (2) Provinsi Riau sebanyak 2.250 HS (29,5%), (3) Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 1.968 HS (25,8%).
Dari data tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa kontribusi bencana asap di pulau Sumatera mungkin Provinsi Jambi terbanyak, Kerusakan ekosistem gambut yang cukup parah, kesalahan pengelolaan kawasan gambut dan pengelolaan serta pemanfaatan  yang belum memperhatikan aspek pelestarian gambut yang cukup luas, tingkat kepedulian dan kesadaran yang relatif masih rendah
Kondisi kerusakan ekosistem gambut sebagai salah satu pemicu bencana asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan gambut disamping faktor manusia dan iklim yang ekstrim, tidak bisa hanya reaktif dalam bentuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan saja, yang cenderung bergerak secara insidentil, serta upaya penegakan hukum, dimana kejadian bencana kebakaran itu sudah terjadi.
Namun hendaknya catatan merah bagi Pemerintah Provinsi Jambi baik yang sedang berkuasa maupun pemerintah hasil Pilkada serentak tahun 2020, bahwa bencana asap ini hendaknya menjadi catatan penting, bukan hanya bagaimana memadamkan kebakaran hutan dan lahan, namun yang lebih penting bagaimana (1) melakukan Pemulihan Ekosistem Gambut yang meliputi Rewetting (pembasahan), Revegetasi (penanaman kembali) dan Revitalisasi ekonomi(Perbaikan ekonomi) secara terstruktur, systematis dan masive(TSM) bersama dengan masyarakat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Pemerintah Pusat, dan masing-masing diharapkan menganggarkan baik melalui dana Desa, APBD masing-masing Pemerintah, dan APBN melalui Satker yang memang menjadi bagian dari tanggung jawab secara fungsional dan struktural; (2) Melakukan penegakan hukum yang benar tanpa pandang bulu, melibatkan masyarakat dalam pencegahan dan pemadaman dengan mengoptimalkan fungsi dan peran Masyarakat Peduli Api (MPA) yang ada di masing-masing desa, membuat PERDES tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan lahan, menjalin kerjasama kemitraan dengan perusahaan baik untuk emberdayaan maupun untuk pengendalian kebakaran hutan lahan.
Kondisi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di provinsi Jambi menjadi catatan merah bagi Provinsi Jambi, jika bencana asap ini tidak dikelola dengan baik untuk menghentikannya, dimungkin beberapa puluh tahun kedepan beberapa wilayah di pataituut terutama di kawasan gambut akan tenglam menjadi danau atau laut.
Sehingga kepedulian dan keseriusan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan serta Desa untuk melakukan upaya pencegahan dan upaya meminimalisir bencana asap ini, baik pemerintah yang sedang berkuasa, maupun menjadi bagian utama Visi dan Misi Bakal Calon Bupati dan Gubernur yang akan berkompetisi pada Pilkada tahun 2020.
Serta harapan penulis, bagi pemilih hendaknya Visi dan Program mengatasi bencana asap terutama untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur, tanjung jabung Barat, Muara Jambi, Kota Jambi hendaknya menjadi bagian penting untuk menjadi tuntutan, karena bencana asap ini sudah sangat merugikan masyarakat, bukan hanya yang berada di sekitar kawasan gambut, malah sampai ke negara seberang, baik secara ekonomi, kesehatan, transportasi, bahkan kegiatan perkebunan dan pertanian, karena terganggunya proses penyerbukan yang mengandalkan kupu-kupu.