Kerincitime.co.id, Berita Kerinci -Intimidasi dan kejanggalan hukum dalam penanganan kasus bisa menjadi masalah serius yang mempengaruhi keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Hal inilah yang dihadapi oleh Robiyatul Addawiyah Hasibuan warga Desa Lindung Jaya Kayu Aro Kabupaten Kerinci.
Ada beberapa Aspek Intimidasi dalam Kasus Hukum:
1. Tekanan terhadap saksi atau terdakwa: Intimidasi bisa terjadi terhadap saksi, terdakwa, atau bahkan penegak hukum sendiri, yang bisa mempengaruhi proses hukum.
2. Pengaruh kekuasaan: Dalam beberapa kasus, kekuasaan atau posisi seseorang bisa digunakan untuk mempengaruhi proses hukum.
3. Dampak psikologis: Intimidasi bisa memiliki dampak psikologis yang signifikan terhadap individu yang terlibat.
Kejanggalan Hukum
1. Proses yang tidak transparan: Kurangnya transparansi dalam proses hukum bisa menimbulkan kecurigaan dan tuduhan kejanggalan.
2. Penanganan yang tidak adil: Perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif dalam penanganan kasus bisa dianggap sebagai kejanggalan.
3. Konflik kepentingan: Adanya konflik kepentingan bagi penegak hukum atau pihak lain bisa menimbulkan kejanggalan.
Dampak
– Kerusakan kepercayaan: Intimidasi dan kejanggalan hukum bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
– Keadilan yang tidak terwujud: Bisa mengakibatkan keadilan tidak terwujud bagi pihak yang terlibat.
Epi Syofyan, SH, MM Kuasa Hukum Robiyatul Addawiyah Hasibuan (pemohon) mengaku bahwa kasus yang dialami oleh Rabiyatul dinilai janggal, intervendi dan intimidasi.
1. Bahwa Termohon III dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, telah tidak menunjukan kepatuhan terhadap hukum dengan tidak
mempertimbangkan dan memperhatikan serta tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bukti-bukti dan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon.
2. Bahwa tindakan Termohon III yang menjadikan Pemohon menjadi
Tersangka yang mendahului dari pengambilan keterangan dari pemohon
demi hukum adalah suatu tindakan yang tidak sah secara hukum.
3. Bahwa dengan ditetapkannya seseorang menjadi Tersangka in casu
Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu Pemohon telah dirampas.
4. Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka tanpa terlebih dahulu meminta keterangan lebih lanjut dari pemohon, dimana pemohon ditetapkan tersangka pada tanggal tanggal 04
Agustus 2025 berdasakan surat ketetapan Tersangka nomor
S.Tap/180/VII/Res.1.11/2025/reskrim.
5. Disni sudah sangat jelas penetapan Tersangka pemohon tidak lah tepat yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang berbunyi“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya ”. Dengan demikian makna dari penyidikan harus terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Berikutnya bahwa Pasal 1 angka 2
KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan prinsip due process of law serta pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum yang adil. Pasal 1 angka 2 KUHAP dapat
diinterpretasikan dan diberi makna bahwa seseorang dapat ditetapkan
terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan.
Menurut Pemohon, penyidikan bukan merupakan proses pidana yang
mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan
setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.
6. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Penetapan Status Tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon III dimaksud adalah tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula proses penyidikan terhadap Pemohon serta tindakan-tindakan lainnya dalam penyidikan setelah adanya penetapan status Tersangka terhadap diri Pemohon.
7. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Penentapan Tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon III dimaksud adala tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula proses penyidikan terhadap Pemohon serta tindakan-tindakan lainnya dalam penyidikan setelah adanya penetapan Tersangka
terhadap diri Pemohon.
8. Bahwa berdasarkan pendapat Eddy OS Hiariej selaku Guru Besar Hukum Pidana Indonesia dalam bukunya yang berjudul Teori Dan Hukum Pembuktian, untuk menetapkan seseorang sebagai Tersangka, Termohon III haruslah melakukannya berdasarkan “bukti permulaan”. Eddy OS Hiariej
kemudian menjelaskan bahwa alat bukti yang dimaksud disini adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, apakah itu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa ataukah petunjuk. Eddy OS Hiariej berpendapat bahwa kata-kata ‘bukti permulaan’ dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah Physical Evidence atau Real Avidence. Fakta yang dilaukan oleh
Termohon III kepada pemohon adalah penetapan Tersangka Pemohon
didahului sebelum adanya keterangan yang diminta/diberikan dari pemohon
kepada Termohon III.
9. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas kiranya sudah cukup alasan
Pemohon Untuk mengajukan Permohonan agar kiranya dapat
menyatakan bahwa Penetapan Tersangka, oleh Termohon III kepada
Pemohon adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN dan juga mengangkangi apa yang termuat dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 21/ PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 130/PUU-XIII/2015 serta Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun
2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.(Red)