KEBAKARAN HUTAN DI PROP JAMBI DAN SOLUSINYA
Oleh Syamsul bahri, SE dan Saryono, SP
(Conservationist di Jambi)
Kunjungan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Jambi tanggal 10 Februari 2015, dalam rangka Rapat Koordinasi kesiapan pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi di Ruang Rapat Kantor Gubernur Jambi, karena Wilayah Propinsi Jambi merupakan wilayah yang rawan kebakaran hutan bersama dengan 4 Propinsi lainnya, yaitu Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dan rapat itu diikuti oleh Bupati/Wali kota, Dinas/Lembaga terkait serta unsur DPRD Prop Jambi, Polda Jambi, Kejaksaan Tinggi Jambi.
Kunjungan Menteri Siti Nurbaya Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Jambi, diawali dengan mengunjungi Daops Manggala Agni Kota Jambi di Pal 10 arah Palembang, menteri menegaskan dengan pernyataan beliau “Saya instruksikan kpd jajaran Polhut, PPNS, kalau lihat ada pembakaran di lokasi, langsung ditangkap saja” pernyataan ini sebuah ketegasan yang disampaikan pada saat apel siaga pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan HYPERLINK “https://www.facebook.com/hashtag/karhutla?source=feed_text&story_id=784914914928518” , untuk disikapi sebagai bentuk melakukan tindakan hukum berdasarkan hukum, bukan melakukan tindakan hukum justru melawan hukum.
Bahwa diakui Propinsi Riau, Sumatea Selatan, Jambi dan Kalimanta Barat dan Kalimantan Tengah merupakan Propinsi yang paling tinggi memberi kontribusi asap yang mengganggu lingkungan dan dapat merugikan yang cukup besar terhadap ekonomi dan nama baik negara di dunia Internasional.
Dengan memandingan luasnya Wilayah daratan Indonesia mulai dari pergunungan, perbukitan, dataran dan pantai, 5 Wilayah Propinsi tersebut ternyata memiliki tingkat karawanan kebakaran hutan dan lahan yang cukup tinggi di Indonesia. Dan jika perhatikan bentang alam dari ke 4 Propinsi tersebut, adalah kelima propinsi tersebut yang memiliki lahan/kawasan gambut yang terluas di Indonesia, disamping lahan/kawasan lainnya.
Faktor pengunaan dan pemanfaatan lahan di lahan gambut dan keluasan lahan gambut menjadi bagian dari fektor yang mendukung potensi kabakaran lahan dan hutan di Indonesia, terutama di wilayah Prioritas.
Anggapan dari masyarakat dan pejabat di di daerah masih menganggap kebakaran hutan, termasuk kebakaran hutan rawa gambut, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam, yang merupakan proses alami belaka. Faktanya saat ini, upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut, hanya terbatas pada upaya pemadaman yang bersifat Insidentil. Bahkan menurut Saharjo (1999) Secara historis Kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada faktor alam yaitu mengatakan 99,9 persen kebakaran hutan/lahan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya.
Sehingga Kebakaran hutan dan lahan itu bukanlah “hanya” sebuah proses secara alami semata-mata dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang bencana biasa, namun kebakaran hutan dan lahan saat ini, lebih banyak dipenagruhi oleh faktor manusianya dan merupakan bencana yang bersifat “luar biasa” dan harus ada political will, tidak hanya untuk memadamkan, namun lebih komprehensif untuk mengkaji sebab atau faktor utama pembangunan yang cenderung menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, terutama di wilayah Prioritas.
Jika kita perhatikan, Hot Spot di Indonesia terutama di Wilayah dengan tingkat keterancaman kebakaran hutan yang cukup tinggi, semenjak tahun 2011 hot spot sebanyak (13.256), tahun 2012 hot spot sebanyak (18.469), tahun 2013 hot spot sebanyak (9.035) dan tahun 2014 hot spot sebanyak (15.629), dengan rincian Propinsi Jambi memberikan kontribusi hot spot berkisar dari 3%-5%, untuk Propinsi Sumatera Selatan rata-rata 35%-36%, Propinsi Riau rata-rata 24%-47% dan Kalimantan Barat 13-35%. Dari data tersebut dapat terlihat periodenisasi Hot Spot untuk Propinsi Jambi merupakan hot spot yang terendah dari 4 Propinsi tersebut, yaitu berkisar 3%-5% (Sumber Humas Kementerian LH-K, olah data).
Dan jika kita perhatikan bahwa landscape/bentang alam 5 Propinsi tersebut, adalah Propinsi yang memiliki lahan /kawasan gambut terluas di Indonesia, yaitu mencapai 20,6 juta ha atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera ± 35%, Kalimantan ± 32%, Sulawesi ± 3%, dan Papua ± 30%. Lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang didominasi oleh tanah gambut. Lahan ini mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan.
Sedangkan di pulau Sumatera, dari sekitar 4.6 juta hektar luas hutan rawa gambut, 7,4%-nya (341 000 ha) terletak di propinsi Jambi, sedangkan sekitar ± 26%-nya (1.2 juta ha) tersebar di propinsi Sumatera Selatan dan menyebar di Propinsi Riau sekitars ± 46%. Daerah hutan rawa gambut terpenting di kedua propinsi tersebut berada di dalam dan sekitar wilayah Berbak dan Sembilang. Berbak-Sembilang yang terletak di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah penting dan unik di Sumatera karena mempunyai hutan rawa gambut yang luas dan merupakan kawasan konservasi lahan basah terluas di Asia Tenggara, dan kawasan tersebut untuk Propinsi Jambi terdapat di Landscape Berbak terutama terdapat di Tanjung Jabung Timur, Muara Jambi, seperti Hutan Lindung Gambut, Tahura, Taman Nasional Berbak, yang diteruskan ke Taman Nasional Sembilang, dan di Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Hutan rawa gambut sebagai ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran Serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran.
Persoalan Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, bukan hanya dilihat bagaimana memadamkan kebakaran, melainkan mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengeolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkesinambungan.
Pola pemanfaatan lahan baik yang diproses perizinan untuk perkebunan besar maupun untuk perladangan/pertanian masyarakat, diharapkan mengacu pada ketentuan yang berlaku, bahwa lahan gambut dengan ketebalan > 3 meter meruapakan kawasan lindung dan kawasan konservasi, sehingga pemanfaatannya haruslah dengan memperhatikan aspek proteksi dan pemanfaatan yang lestari.
Sehingga jika kita cermati berdasarkan Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN bahwa lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter termasuk kawasan dilindungi, dan/atau merupakan kawasan konservasi yang dilindungi oleh UU No 5 tahun 1990, UU No 41 tahun 1999, UU No 18 tahun 2013.
Ketentuan tersebut mengimplikasikan kawasan “landscape berbak” tidak layak untuk kegiatan pertanian dan perkebunan dan wilayah itu harus di konservasikan, dan jika digunakanan untuk kepentingan non konservasi akan membawa akibat terhadap lingkungan lokal, regional bahkan global yang memiliki dimensi ekonomi cukup besar, sehingga Gambut yang paling potensial untuk pertanian adalah gambut dangkal (0,5-1 m) sampai dengan (1-2m)
Dengan melihat kondisi yang terjadi saat ini, kecenderungan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam UU 32/1990 tersebut, justru terjadi pelanggaran baik kawasan tersebut untuk Perkebunan Kelapa sawit, HTI, Perkebunan Rakyat. Dalam proses pemanfaatan itu cendeung menggunakan pola land clearing dengan membakar, dan sistim kanalisasi sampai batas kawasan konservasi. Sesungguhnya pola seperti ini akan memperkuat potensi kebakaran yang sudah ada akan lebih mempercepat ancaman bahay kabakaran di wilayah tersebut.
Untuk menghentikan dan meminimalkan kebakaran hutan, tidak hanya terfokus pada pemadaman kebakaran yang bersifat Insidentil, namun kebijakan untuk mencegah dan menghentikan secara sistimatis ancamanan kebakaran tersebut itu lebih utama melalui kebijakan yang tegas harus diambil sebagai bentuk political will pemerintah adalah (1) Moratorium pemberian izin baik untuk perkebunan maupun untuk HTI kawasan gambut dengan ketebalan lebih 3 m sebagai kawasan lindung, dan merupakan sesuatu yang paling arief dan bijaksana dan harus dilakukan; (2) Pemerintah daerah membuat perda tentang larangan pembukaan lahan dengan membakar lahan/hutan; (3) Penegakan hukum terhadap baik perusahaan, maupun masyarakat yang melakukan land clearing dengan pola pembakaran; dan (5) yang tidak kalah pentingnya adalah merestorasi kawasan gambut yang telah rusak; (6) Mempertegas dan memperkuat batas kawasan baik hutan lindung maupun kawasan konservasi yang telah disepakati antara Pemerintah Kabuaten dengan Pengelola kawasan; (7) Pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berada disekitar kawasan tersebut, dan terpantau minimnya sentuhan pembangunan fisik dan pembangunan ekonomi pada masyarakat di sekitar kawasan hutan gambut; (8) Memperkuat potensi-potensi yang bisa memberikan nilai ekonomi langsung atau tidak langsung kepada masyarakat dengan tetap berpedoman pada pemanfaatan yang lestari (9) Menghentikan dan mengembalikan Sistim Kanalisasi yang terjadi dalam pemanfaatan lahan gambut diluar/dalam kawasan lindung dan Konservasi menjadi persoalan yang sangat krusial, inilah penyebab utama mudah terbakarnya lahan gambut. Bisa anda bayangkan suatu luasan lahan gambut yang mirip spons yang mudah terbakar tetapi karena jenuh dengan air sehingga sangat sulit terbakar.
Sedikit mengutip komentar Asmadi Saad Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi menyebutkan “bahwa segenap pihak perlu memperhatikan upaya penyelamatan gambut. Karena banjir tahunan dan kabut asap yang setiap tahun kita alami adalah dampak dari pengelolaan gambut yang salah, sehingga Pemerintah harus tegas untuk menindak setiap perusahaan dan petani yang menyalahi aturan dalam pengelolaan gambut. Mayarakat juga harus mendukung upaya penyelamatan gambut ini. Karena ini menjadi tanggung jawab kita semua” (Berita 3 Jambi, tanggal Rabu, 21 Mei 2014 13:30 WIB)
Hal yang tak kalah pentingnya adalah mempekuat kebutuhan operasional pengelola kawasan dalam mencegah/menghentikan Illegal loging, perburua satwa, menghentikan dan mencegah perambahan kawasan hutan fungsi lindung dan fungsi konservasi, serta memperkuat operasional Tim Manggala Agni yang berada di Daerah Operasional masing-masing.
Sesungguhnya kebutuhan operasional tersebut yang dituangkan dalam DIPA masing masing SATKER sangat dibutuhkan, karena kondisi dan permasalahan lapangan baik perambahan, Illegal loging, Kebakaran hutan, pakan satwa, perburuan dll, sesuatu yang tidak bisa diprediksi berdasarkan ketentuan jadwal anggaran, seperti tahun 2015, sampai saat ini anggaran belum bisa digunakan, namun masalah di lapangan justru tidak menunggu kapan bisanya anggaran bisa digunakan.
Dengan memperhatikan peluang dan manfaat, serta resiko dalam pengelolaan lahan/kawasan gambut, dikaji dari perspektif undang-undang serta ketentuan yang berlaku, diharapkan Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Propinsi saat ini dan yang akan datang, betul-betul lebih arif dalam membuat kebijakan pengelolaan lahan gambut yang ada serta upaya mendukung pengelolaan gambut berdimensi kawasan lindung seperti Berbak Landscape dan Taman Nasional Berbak, serta upaya perbaikan ekosistem gambut secara keseluruhan terutama pada lahan yang termasuk kriteria kritis dan sangat kritis. Untuk itu diperlukan konsep yang tepat dalam upaya penyelamatan lahan gambut sekaligus memberikan peningkatan perekonomian masyarakat, terutama lahan gambut dengan ketebalan dibawah 3 m.
Jika pengelolaan lahan gambut tersebut dikelola dengan baik dengan memperhatikan aspek kehati-hatian dan aspek konservasi, maka lahan/kawasan gambut tersebut akan terkelola dengan baik dan benar, dan lahan gambut tersebut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan keuntungan ekologi berdimensi ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman hayati. Jika sebaliknya pengelolaan lahan gambut tersebut tidak memperhatikan aspek-aspek tersebut tidak menjamin keuntungan ekonomi berkelanjutan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat.
Jika kita cermati dampak negatif dari Kebakaran hutan, dari Aspek ekologi adalah lain (1) terganggunya 5 proses ekologi hutan yaitu : suksesi alami, produksi bahan organik dan proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hidrologi, dan pembentukan tanah; (b) Rusaknya atau hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur iklim dan penyerap karbon; (c) Rusaknya atau hilangnya fungsi hutan sebagai penahan erosi dan banjir; (d) Hilangnya sumber daya genetik, plasma nutfah dan keanekaragaman flora dan fauna (bahkan pada kasus kebakaran lahan gambut, kehilangan sumber daya genetik termasuk sumber daya yang ada dalam tanah.
Sedangkan dari aspek ekonomi antara lain (a) hilangnya hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (terganggunya bisnis di sektor kehutanan dan perkebunan); (b) rusaknya bisnis penerbangan (aviation) akibat adanya kabut asap yang berdampak pada bisnis sektor transportasi dan pariwisata; (c) Penyerapan dana untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta meningkatnya biaya untuk rehabilitasi hutan yang telah terdeforestasi; (c) Anggaran sektor kesehatan akibat munculnya berbagai penyakit saluran pernafasan ( HYPERLINK “mailto:syamsulbahri1605@gmail.com” syamsulbahri1605@gmail.com)