HOT NEWSKerinci

Inilah Sejarah Kerinci Purba dan Sisa Peradaban Atlantis

Sejarah Kerinci Purba dan Sisa Peradaban Atlantis – Kata Kerinci pertama kali dikenal pada awal tahun Masehi. Kata “Kerinci” diinterpretasikan pada banyak teori, baik yang dihasilkan melalui penelitian hingga cerita yang berkembang di masyarakat yang tidak memiliki argumen yang jelas. Teori-toeri berikut menjelaskan arti kata Kerinci:

Keadaan wilayah Kerinci yang dibatasi oleh Bukit Barisan, hutan yang lebat, medan yang berat dan binatang buas, membuat anggapan orang terhadap Kerinci sebagai daerah yang tertutup, sehingga Kerinci dikiaskan dari arti kata ‘Kunci.’

Bila ditinjau dari segi bahasa, Kerinci berasal dari kata “kerin” dan “ci”. Bahasa Austronesia yang masuk ke India (Sanskerta) kata “krin/kerin” atau “khin” berarti hulu, sedang kata “ci” atau “cai” berarti sungai, sehingga Krinci atau Kerinci mengandung arti hulu sungai, bila dilihat dari letak Kerinci yang berada di daerah pegunungan dan merupakan hulu-hulu sungai yang mencakup Sungai Batang Merangin, Sungai Batang Asai, dan lainnya.

 

Mc Kinnon (1992) menyebutkan bahwa kata Kerinci diduga berasal dari kata “Kurinci” (bahasa Tamil) yang berati sebuah daerah pegunungan, dengan alasan orang India dari suku bangsa Tamil (Hindu) pada awal abad pertama Masehi telah berhubungan dengan penduduk yang berdiam di pedalaman dan disepanjang Pantai Barat dan Timur Sumatra yang saat itu tidak jauh dari Kerinci. Dalam perniagaan, bangsa Tamil memanggil orang-orang dari dataran tinggi pegunungan dengan sapaan Kurinci.

 

Kondisi alam Kerinci menyebabkan daerah ini dikelompokkan menjadi Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi. Kerinci Rendah berada pada bagian timur pegunungan Bukit Barisan (sekarang Kabupaten Merangin), sedangkan Kerinci Tinggi yang sekarang Kabupaten Kerinci merupakan daerah-daerah yang berada pada bagian barat pegunungan Bukit Barisan

 

Orang Kerinci yang menghuni Kabupaten Kerinci sekarang adalah keturunan suku bangsa Melayu Tua yang menetap sejak zaman Neolitikum (8.000-7.000 tahun silam) atau mungkin jauh sebelumnya. Kerinci pernah di bawah kekuasaan Kerajaan Dharmasraya dan Pagaruyung (Sumatera Barat), juga di bawah Kerajaan Inderapura (pantai barat, kini Pesisir Selatan, Sumatera Barat), dan Kesultanan Jambi. Namun kekuasaan terhadap Kerinci lebih kepada perlindungan dengan membayar upeti.

 

Kerinci memiliki kebudayaan, termasuk bahasa dan aksara Kerinci.Uli Kozok, ahli aksara kuno Sumatera asal Jerman, pernah menemukan di Kerinci naskah Melayu tertua abad ke-14 yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya, zaman Adityawarman.

 

Kerinci adalah Sisa Peradaban Atlantis

 

Prof. Arysio Nunes Dos Santos menerbitkan buku yang menggemparkan : “Atlantis The Lost Continents Finally Found”. Dimana ditemukannya ? Secara tegas dinyatakannya bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah di Indonesia.

 

Peradaban tersebut hal tersebut diamini oleh Profesor Stephen Oppenheimer menulis buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara, Menurut dia, satu-satunya dongeng yang menyebar luas di dunia secara merata adalah kisah banjir Nabi Nuh dengan segala versinya. Umat Islam, Kristen dan Yahudi tentu mendapatkan kisah banjir Nuh dari kitab suci masing-masing.Namun, bagaimana dengan masyarakat pra Islam, Kristen dan Yahudi? Misalnya saja bangsa Sumeria,Babilonia, India, Yunani. Mereka pun ternyata punya kisah banjir bandang yang menenggelamkan seluruh daratan.

 

Buku Eden in The East setebal 814 halaman ini, separuhnya dihabiskan Oppenheimer untuk membedah dongeng-dongeng ini. Oppenheimer mencatat ada sekitar 500 kisah soal banjir di seluruh dunia. Dari Indiasampai Amerika, dari Australia sampai Eropa.Tokoh utamanya pun berubah-ubah. Agama samawi menyebutnya Nuh, atau Noah. Bangsa Mesopotamia menyebut sang jagoan adalah Utanapishtim, di Babilonia kuno disebut Athrasis, orang India kuno menyebutnya Manu.

 

Nama boleh beda, namun inti ceritanya sama. Ada banjir besar yang menenggelamkan daratan, sang tokoh utama menyelamatkan diri dengan perahu, atau kapal besar. Dia pun tidak lupa membawa hewan-hewan. Kapalnya nanti mendarat di gunung dan sang tokoh utama bersama keluarga atau pengikutnya melanjutkan kehidupan mereka yang baru.

Baca juga:  Puluhan Ribu Warga Memadati Kampanye Akbar AZ-FER di Lapangan Merdeka

 

Oppenheimer pun mengungkapkan, kisah-kisah banjir lebih banyak lagi terdapat di Asia Tenggara. Variasinya sangat bermacam-macam pada berbagai suku pedalaman di Indonesia, Malaysia, Filipina dan pulau-pulau di Polinesia.

 

Tingkat keberagaman cerita banjir di kawasan ini pun membuat Oppenheimer berteori, kalau bangsa yang terpaksa berimigrasi akibat banjir besar, tinggal di Indonesia dan sekitarnya. Semua kisah banjir ini menurut Oppenheimer adalah bukti kalau banjir besar di penghujung Zaman Es ini adalah benar adanya.

 

Suku Kerinci Pada saat terjadinya bencana yang menenggelamkan Atlantis berhasil selamat dikarenakan mereka berada di daratan tinggi yaitu puncak gunung kerinci sehingga terhindar dari bencana tersebut.

Suku Kerinci Adalah Ras Tertua, lebih tua dari Suku Inka

 

Peneliti antropologi urban dari Universitas Diponegoro Radjimo menyatakan suku Kerinci yang mendiami dataran tinggi bukit barisan di sekitar Gunung Kerinci ternyata lebih tua dari suku Inka, Indian di Amerika.

 

“Dari sebuah kesimpulan riset Dr Bennet Bronson peneliti dari AS bersama Tim Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta pada 1973, yang saya baca malah berpendapat bahwa suku Kerinci bahkan jauh lebih tua dari suku Inka (Indian) di Amerika,” katanya, di Jambi, Sabtu (21/5).

 

Hal itu berarti suku Kerinci tidak hanya lebih tua dari proto-melayu. Suku Indian Inka sendiri adalah suku yang salah satu ramalan purbanya tentang kiamat 2012 jadi inspirasi film Hollywood yang menghebohkan pada 2009 lalu. Suku India Inka diyakini sebagai suku purba yang telah memiliki peradaban tinggi.

 

Radjimo mengungkapkan, salah satu pembuktian yang dikemukakan tim Bennet Bronson

itu adalah tentang manusia Kecik Wok Gedang Wok. Ia merupakan suku pertama yang telah mendiami dataran tinggi Kerinci lebih dari 10.000 tahun lalu itu. Suku itu belum mempunyai nama panggilan secara individu sampai masuknya suku Proto-Melayu.

 

“Sedangkan suku Indian Inka di Amerika yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu suku dan ras tertua di dunia diketahui pada zaman yang sama sudah memiliki nama, seperti Big Buffalo (Kerbau Besar), Little Fire (Api Kecil) dan lainnya,” terang Radjimo.

 

Maka saat itulah pula terjadi perpindahan etnis ini dari satu tempat ke tempat lain pada Alam Melayu seperti perpindahan Proto Malaiers (Melayu Tua) ke Alam Kerinci.

 

Menurut Kern, alam Kerinci saat itu telah didiami oleh manusia, dan mereka penduduk pribumi inilah yang disebut sebagai Kecik Wok Gedang Wok.

 

Namun, saat itu jumlah Proto-Melayu yang lebih dominan dari Kecik Wok Gedang Wok menyebabkan kaum pribumi tersebut secara perlahan menjadi lenyap dalam percampuran darah antara pendatang dan pribumi.Kelompok inilah yang selanjutnya berkembang dan menjadi nenek moyang orang Kerinci modern hingga generasi saat ini.Hal lain yang sering dijadikan sampel penelitian oleh pada peneliti tersebut adalah keragaman bahasa dan dialek di Kerinci. Dengan bahasa yang sangat beragam, sekitar 135 buah dialek, yang dipakai hanya di sepanjang lembah, memperumit penelitian etnografi.

 

Beberapa penelitian menyebutkan bahawa orang Kerinci termasuk kelompok suku bangsa asli yang mula-mula ada di Sumatra.Kelompok suku bangsa ini kemudian dikenal dengan Kecik Wok Gedang Wok yang diduga telah berada di wilayah Alam Kerinci semenjak 10.000 tahun silam (Whitten, 1987).

 

Uli Kozok, seorang ahli filologi dari Hawaii University Amerika Serikat, dalam risetnya menyimpulkan naskah melayu tertua di dunia ada di Kerinci. “Dalam kesimpulan riset dari riset yang dilakukannya di tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Belanda, filolog Dr Uli Kozok menyimpulkan bahwa naskah Melayu tertua ada di Kerinci, tepatnya di Desa Tanjung Tanah,” kata Nukman SS di Jambi (30/4).

Baca juga:  Rizal Djalil Nyatakan Dukung Monadi - Murison

 

Naskah tersebut, kata dia, menurut riset Uli Kozok ternyata jauh lebih tua 200 tahun dibanding dengan naskah surat raja Ternate yang sebelumnya dinyatakan sebagai naskah melayu tertua di dunia. Naskah kitab undang-undang Tanjung Tanah diperkirakan dikeluarkan pada abad 14.

 

Menurut Nukman, kesimpulan Uli Kozok tersebut juga didasari atas uji radio karbon yang dilakukan pihaknya di Wellington, Selandia Baru atas sampel bahan kertas Daluang (samakan kulit kayu) yang digunakan untuk penulisan naskah itu.

“Uli Kozok dari hasil uji radio karbon yang sangat akurat prediksinya itu menegaskan kalau Daluang yang digunakan untuk media penulisan naskah tersebut bisa dipastikan ditebang pada rentang waktu antara abad 12 hingga 13,” katanya.

 

Dari usia itulah, menurut dia dapat diprediksikan penulisan naskah itu pun berkisar tidak jauh dari abad itu, maksimal pada abad ke 14 naskah itu telah dibuat.Sesuai catatan sejarah pula, kata dia kalau pada masa itu Kerajaan Melayu yang beribukota di Darmasyaraya (sebuah kabupaten pemekaran Sumbar, tetangga dekat kabupaten Kerinci) diperintah oleh Raja Adityawarman, itu sedang pada masa puncak kejayaannya.

 

Prediksi umur naskah Kitab Undang-undang Tanjung Tanah itu pun juga berdasarkan pada analisa jenis aksara yang digunakan.Meskipun diketahui Kerinci sudah dari masa sebelumnya telah memiliki aksara sendiri, yakni aksara Incoung, namun empunya yang menuliskan kitab tersebut menggunakan aksara pasca-Pallawa, bukan aksara Pallawa dan bukan pula aksara Jawa kuno.

 

“Karena itu, Uli Kozok menyimpulkan naskah tersebut pasti dikeluarkan oleh pihak kerajaan yakni raja Adityawarman, yang tengah gencarnya membangun imej pemerintahannya sendiri mengingat pada masa itu adalah era mulai melemahnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha besar di pulau Jawa,” katanya.

 

Aksara Incoung, kata dia meskipun telah menjadi aksara asli yang sudah digunakan secara umum oleh masyarakat Kerinci masa itu, namun bagi pihak kerajaan aksara itu dianggap aksaranya kaum Sudra atau rakyat jelata.Orang luar Kerinci menyebut aksara itu sebagai Surat Ulu, yang artinya aksara dari pedalaman sebagaimana posisi Kerinci sendiri yang memang berada di pedalaman Bukit Barisan.

 

“Oleh karena itu, menurut Uli Kozok penggunaan aksara itu tidak terlepas dari politik Adityawarman sendiri yang sangat terobsesi untuk membangun kerajaannya sendiri yang mandiri hingga mampu melepaskan diri dari pengaruh kerajaan besar di Jawa, maka dia menggunakan aksara sendiri yang berakar dari aksara Pallawa dan Jawa, daerah yang sebelumnya menjadi tempat tinggalnya dan menimba ilmu,” kata Nukman.

Peneliti kebudayaan Kerinci Iskandar Zakaria mengungkapkan, keberadaan suku Kerinci provinsi Jambi yang menghuni dataran tinggi puncak Andalas pebukitan barisan jauh lebih tua dari Proto-Melayu yang dianggap sebagai suku Melayu tertua.kata peneliti kebudayaan Kerinci kelahiran Sumbar, Iskandar Zakaria, di Kerinci.

ia mengatakan, dari bukti temuan artefak purbakala yang berhasil ditemukan dan selama 40 tahun sesungguhnya suku Kerinci itu jauh lebih tua dari Proto-Melayu itu sendiri.

 

Tidak hanya pihaknya berkeyakan tentang apa yang tercantum dalam salah satu Sko (benda pusaka) berupa tambo adat dan silsilah suku Kerinci yang dirisetnya.

Ketika pada ribuan tahun sebelum Masehi kedatangan gelombang pertama para imigran suku Proto-Melayu dari Yunan China Selatan atau Hindia belakang ke puncak andalas.

 

Saat itu rombongan para pedatang sudah menemukan adanya manusia di daerah tersebut, tepat di sekitar gunung berapi yang diyakini itu adalah gunung Kerinci.

Tidak hanya itu, manusia purba di Kerinci itupun dikatakan memiliki pengetahuan dan peradaban lebih tinggi dari mereka, suku setempat tersebut sudah mengenal api dan mampu mengolah memanfaatkan besi atau logam.

Baca juga:  Dugaan ASN Terlibat Kampanye AL-AZHAR di Sungai Penuh

 

”Dikisahkan, konon saat itu orang pertama atau penduduk pribumi itu menggunakan kayu Siegie (Pinus Merkusi, Strain Kerinci) yang memang mengandung getah minyak yang bisa terbakar sebagai obor. Begitu juga mata tombak yang dari batu dan logam. Karena itu mereka bisa membangun artefak batu menjadi sarana berbagai keperluan, seperti untuk altar persembahan, untuk peristirahatan dan lainnya,” papar Iskandar.

 

Salah satu bentuk artefak peninggalan zaman Megalitikum tersebut adalah batu-batu berupa dudukan kursi, bangku, batu pintu atau menyerupai gapura, Tungku atau altar dan sarkofagus yang kesemuanya diperkirakan hanya melalui proses pemahatan sangat sederhana dan kasar.

 

Batu-batu tersebut ditemukan banyak tersebar di daerah berbukit-bukit atau dataran tinggi di berbagai kecamatan dalam kabupaten Kerinci maupun kota Sungaipenuh seperti di kecamatan Gunung Raya, Keliling Danau, Batang Merangin, Sitinjau Laut, Danau Kerinci, Kumun-Debai.

 

Kondisi demikian meliputi desa-desa seperti di Muak, Benik, Jujun, Pulau Sangkar di Gunung Raya, Hiang Tinggi, di dan di Kumun.

Dalam perjalanan perkembangan peradaban berikutnya lebih muda dapat ditemukan pula batu-batu Seilindrik dan batu bergambar, juga menhir-menhir dan goa-goa.

 

Semua itu diyakini dari perkakas yang digunakan sudah semakin maju berupa kapak, pahat, baji dan beliung dari besi.

Bahkan, tambahnya, dengan benda-benda purbakala itu sebagian masyarakat adat di Kerinci berani beranggapan kalau sesungguhnya mereka dulunya adalah salah satu dari keturunan sepasang umat nabi Nuh AS yang diturunkan dari kapalnya di dataran tinggi Kerinci ketika air laut telah mulai surut, agar untuk membangun peradaban di kawasan tersebut.

 

Terungkapkannya fakta adanya temuan gigi dan fosil dalam ukuran raksasa diduga milik manusia atau makluk purba “Homo Kerinciensis” yang ditemukan warga di desa Kumun Hilir kecamatan Kumun-Debai tiga kilometer dari pusat kota Sungaipenuh belakangan ini semakin memperkuat asumsi dugaan dan perkiraan itu.

 

”Kalau temuan fosil dan gigi tersebut berhasil disimpulkan laboratorium kepurbakalaan Jakarta, maka sudah dapat dipastikan itu adalah salah satu bukti dan fakta kuat bagi mata rantai peradaban tua suku Kerinci yang diyakini jauh lebih tua dari Proto Melayu,” terangnya.

 

Ia memperkirakan terjadi pada rentang waktu beberapa abad sebelum Masehi, sedangkan suku purba Kerinci sudah mendiami daratan tersebut ribuan tahun sebelumnya.

 

”Saya sudah menelaah tentang hal ini selama hampir 40 tahun, belasan buku telah saya susun sebagai gambaran kesimpulan sementara saya, tapi hingga kini saya akui masih belum mampu membuat kesimpulan akhir, karena berbagai keterbatasan perangkat riset yang saya lakukan,” tandasnya.

 

Situs Kerinci Pantas Jadi Warisan Dunia

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kerinci merupakan kawasan yang telah memiliki kekuasaan politik tersendiri. Sebelum Belanda masuk Kerinci mencatat tiga fase sejarahnya yaitu: Periode Kerajaan Manjuto atau Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum, Periode Depati dan Periode Depati IV Alam Kerinci. Kerajaan Manjuto meru[akan sebuah kerajaan yang berada di antara Kerajaaan Minangkabau dan Kerajaan Jambi, beribukotakan di Pulau Sangkar. Berikutnya, pada dua periode Depati, Pulau Sangkar dan Kayu Aro memainkan peran sentral sebagai salah satu dari empat pusat kekuasaan di Kerinci

 

Tetapi semenjak Belanda mulai menduduki Kerinci pada 1914, peran sentral kayu aro secara politik pemerintahan mulai mengalami penyusutan. Ketika Belanda menetapkan Kerinci sebagai sebuah afdelling dalam kekuasaaan Karesidenan Jambi (1904) maupun di bawah Karesidenan Sumatera Barat (1921) dan ketika Kerinci menjadi sebuah kabupaten sendiri dalam wilayah Propinsi Jambi (pada 1958), Pulau Sangkar hanyalah sebuah ibukota kemendapoan (sebuah unit pemerintahan setingkat di bawah kecamatan dan setingkat di atas desa).

Sumber : http://goencakep.blogspot.com/2012/06/sejarah-kerinci-purba-dan-sisa.html

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button