Jembatan Beatrix Sarolangun objek wisata sejarah
Kerincitme.co.id, Jakarta – Kabupaten Sarolangun dalam konstelasi perjuangan memiliki andil yang cukup besar dalam perjuangan melawan Kolonial Belanda dan Jepang,kisah heroik perjuangan rakyat Sarolangun hingga saat ini masih terpatri di kalangan masyarakat ,berbagai peninggalan Kolonial Belanda hingga saat ini masih tersisa di Sarolangun – diantara nya adalah Sebuah jembatan unik, dengan khas eropa masih terlihat berdiri kokok di tengah kota sarolangun, meski tidak jadi penghubung utama lagi, karena telah ada jembatan baru, namun sebuah jebatan yang saat ini dikenal dengan nama “beatrix” malah jadi pilihan wisata kota yang cukup berkesan di sore hari. Yang jadi pertayaan dari mana asal penamaan jembatan tersebut.
Puluhan tahun Jembatan ini mengalami kerusakaan yang cukup serius dan tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, terakhir pada era pemerintahan bupati Drs.H.M.Madel,MM jembatan ini dilakukan perbaikkan/rehabilitasi total,bahagian jembatan yang terputus akibat dihantam Banjir Sungai Batang Temebesi di bangun kembali dengan tetap mempertahankan konstruksi gaya eropah(Belanda)
Pada era Pemerintahan Bupati Drs. H. Hasan Basri Agus, MM, Jembatan Beatrix terus ditata dan dipercantik, disepanjang alur sungai yang oleh masyarakat di sebut ‘Ancol” nya Sarolangun dilakukan pembangunan turap permanen penahan tebing, dan pada senja hingga malam hari di kawasan ini dijadikan kawasan wisata kuliner, sedangkan kawasan Jembatan Beatrix dijadikan sebagai kawasan rekreasi pemancingan ikan alami. konon, jembatan yang saat ini dikenal dengan sebutan jembatan Beatrix tersebut, dibangun sekitar tahun 1923 oleh pemerintah kolonial Belanda yang kala itu berkuasa, dengan melalui kerja paksa dengan mengerahkan ratusan orng rakyat Sarolangun jembatan yang menghubungkan dua desa yang bersebarangan Desa Sri Pelayang dengan Kelurahan Pasar Sarolangun, dengan panjang sekitar 250 meter. Jembatan dengan konstruksi beton yang ditopang tiga tiang penyangga, dengan empat ruas jembatan menyatu, tidak terlalu banyak didukung dengan literatur sejarah, namun masalah penamaan, para sejawaran sarolangun berkesimpulan penamaan “Beatrix” berkemungkinan diambil dari nama salah satu ratu belanda yang lahir tahun 1938.
Jembatan Beatrix diambil dari nama putri Ratu Belanda Wilhelmina yang baru lahir ,pembangunan Jembatan tersebut bertepat dengan kelahiran putrid Beatrik yang saat ini menjadi Ratu Belanda ,nama ini sekaligus menjadi kenangan atas kelahiran penerus tahta kerajaan Belanda ,Beatrik lahir tahun 1938, saat jembatan hampir rampung dikerjakan oleh masyarakat Sarolangun melalui sistim kerja paksa.Catatan menunjukkan Jembatan Beatrix di resmikan pada tahun 1939, pada prasasti peresmian jembatan tahun 1939, terdapat tugu batu sejenis marmer yang bertuliskan “Beatrix Brug” pangkal jembatan dari arah pasar bawah Sarolangun\
Sejak sekitar awal tahun 1980 an Jembatan sempat mengalami kerusakan dan tidak terawat, namun bergulirnya pemekaran Kabupaten Sarolangun jembatan bersejarah ini kembali diperbaiki dan dipercantik dengan cat berwarna kuning gading menjadi objek wisata sejarah dan salah stu tempat tongkorngan warga kota melepas penat melihat arus sungai yang tenang atau sambil memancing di Sungai Tembesi yang mengalir dibawahnya.Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sarolangun, mengakui jika jembatan ini, saat ini sudah terinvetarisir sebagai salah satu objek wisata sejarah di kota sarolangun. “Buka itu saja, kita juga telah beberapa kali menganggarkan dana untuk perbaikan dan perawatan jembatan sehingga tetap terlihat cantik.
Kabupaten Sarolangun tidak hanya dikenal kaya dengan potensi sumber daya alam dan mineral saja. Daerah ini juga kaya dengan potensi pariwisata seni dan kebudayaan, Kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Sarko merupakan satu satunya Kabupaten baru yang tumbuh dan berkembang pesat melampaui pertumbuhan kabupaten pemekaran yang ada di Propinsi Jambi. Kabupaten Sarolangun memiliki potensi wisata arung jeram di Batang Asai, Goa stalagit-stalagnit di bukit bulan, hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas yang dihuni masyarakat asli suku kubu yang hidup bagaikan di dunia masa lampau. (Budhi/ton)