KerinciopiniPendidikan

“Jeritan Tak Bertuan, Misteri Terlalu Dini”

Naskah Kampungan

Tadi malam, sepertinya jiwa tersayat ketika singgah dan ngobrol bersama orang-orang tua duduk diberanda kayu usang. Mereka berkata tersanjung keluh, namun terkesan putus asa. Sebab tak dapat melakukan apapun diantara keadaan yang tak menentu, terjadi saat ini.

Mereka bicara tentang tanggung jawab, serta beban semakin terang dan berat didepan mata. Sementara seluruh sisi kehidupan bak hampir terhenti bagai tiada kendali.

Ketika berbincang, ada yang terdiam dan termenung dengan tatapan kosong, menghiaskan tekanan kondisi tak lagi dimengerti.

Mereka bukan pejabat, mereka bukan konglomerat, mereka bukan pengusaha nan hebat, mereka bukan mafia berdasi, mereka bukan koruptor, mereka bukan anjing penjilat, mereka bukan politikus ulung dengan segudang upeti.

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu dianggap rendahan dan suruhan, tetapi berhati mulia. Sebab hidup mereka selalu sederhana dan mampu bertahan walau tanpa gelimang harta.

Mereka adalah kuli, saat ini ketakutan akan adanya nafas terhenti tanpa ada yang peduli, sebab dirumah bakal tak ada gula, teh ataupun kopi.

Mereka adalah pekerja yang membanting tulang diterik matahari, sambil merawat sawah demi mendapatkan upah, tapi detik ini tiada lagi.

Mereka adalah buruh harian yang tak henti mengasah gergaji, cangkul dan parang. Bahkan selama ini tak mampu menyimpan uang, karena gaji hanya cukup untuk makan. Namun keadaan mereka hari ini teramat memprihatinkan, seakan tiada apapun dipercaya menjadi harapan.

Mereka adalah pemburu rezeki halal, tak mengenal siang atau malam, sekedar memenuhi sesuap nasi. Hidup mereka diantara genangan lumpur seraya berharap keberuntungan, jika ada ikan dibalik rerumputan untuk dijual. Semuanya tak dapat dilakukan lagi, karena taat atas aturan agar tetap dirumah dan berdiam diri.

Hujan dan petir bukan halangan mereka untuk berbakti disepanjang hari, walau tanpa alas kaki. Itu dilakukan demi untuk membeli sang anak sebuah peci mengaji, buku sekolah, pensil dan tas berwarna pelangi, serta mukena untuk isteri. Sekarang hanya bisa bersabar tanpa pasti.

Mereka bukan pemimpi yang berkeinginan hidup diluar bumi atau berwisata diplanet mars, jupiter bahkan pluto, teramat jauh sekali.

Mereka adalah orang-orang nan tak ada lagi bekal membeli walau hanya sebutir telur untuk disaji saat ini, sebagai pengganti gulai nan biasanya sedap dan bergizi.

Mereka mulai meminjam sedikit uang kesana kemari, tak tahu kapan akan diganti, untuk mempertahankan kelangsungan hidup bak berada ditengah azab dan tragedi.

Mereka tak berani untuk bicara pakaian yang elok, kue yang lezat, seharusnya dipersiapkan untuk lebaran yang tak lama lagi hadir sebagai kegembiraan sejati.

Ini kenyataan nan terjadi dipelataran kampung nan beberapa bulan dulu masih makmur dan berseri. Seketika bak misteri alam mengubah dalam sekejap, umpama sejumlah orang hidup dibui tak berkunci tanpa harus dan tak perlu menyalahkan siapapun.

Wahai kawan, coba perhatikan dibaik lorong rumahmu, pasti disana ada kaum muda dan keluarga yang seolah hidup dihutan belantara, namun gersang serasa dineraka. Saat ini, bukan hanya kaum tua nan renta tak berdaya.

Ulurkan tangan, jika saja masih mampu memberikan sepercik ketenangan dan secuil tambahan pengganjal perut mereka. Sesungguhnya Tuhan Maha Segalanya.

Catatan : Herman Qncai
Karya tulus ini, dimaksudkan sebagai inspirasi positif, tanpa sedikitpun tujuan hal yang buruk terhadap siapapun. Semoga kita dapat berbenah diri dan bermanfaat bagi semua orang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button