Kerincitime.co.id, Berita Kerinci – Di balik gemuruh air banjir yang merendam Desa Koto Dian, Pula Tengah, sebuah drama kemanusiaan tersaji. Ini bukan hanya cerita tentang bagaimana alam menguji ketahanan warganya, melainkan juga tentang bagaimana kekuasaan dan arogansi bisa mengaburkan nilai kemanusiaan.
Ibu HL, seorang warga lanjut usia (nenek) dari larik RT Batu Hampar, menjadi simbol ketidakadilan di tengah bencana.
Meskipun bencana alam tidak memandang status sosial, nyatanya ketika bantuan berupa Beras dan Mie Instan tiba dari Provinsi Jambi, disalurkan oleh Pihak Desa Koto Dian, tak semua warga mendapat perlakuan yang sama.
Dalam laporannya ke Ombudsman, Ibu HL menjelaskan, dengan bukti kepemilikan Kartu Keluarga dan data pendataan yang sah, seharusnya mendapat bagian bantuan tanpa masalah.
Namun, apa yang terjadi?
Di tengah keramaian, oknum Kepala Desa terlibat dalam sebuah adegan yang memilukan. Sebuah adegan tarik menarik dengannya, membuat martabatnya merasa terjatuh.
“Saat saya mengambil bantuan itu, dengan membawa bukti KK dan data pembagian, oknum Kepala desa itu tiba-tiba bilang di depan orang banyak, kenapa ambil bantuan. Dan sempat ribut-ribut dan tarik menarik bantuan dengan saya. Saya malu sekali,”jelas Ibu HL, yang rumahnya juga ikut terendam banjir.
Sungguh ironis, di saat warga membutuhkan kehadiran sosok pemimpin yang mengayomi, yang ada justru arogansi dan kekerasan verbal.
Kepala Desa, yang seharusnya menjadi simbol kepemimpinan dan perlindungan, malah menjadi sumber ketidakadilan.
“Jabatan Kades hanya amanah warga, tidak semestinya berprilaku kasar kepada warga seperti itu,” keluh Ibu HL.
Lebih menyakitkan, Ibu HL bukan satu-satunya korban. Ada cerita-cerita tak terdengar lainnya, tentang bagaimana bantuan sosial selama ini hanya mengalir ke orang-orang dekat oknum Kades.
Namun, Ibu HL memilih untuk bersikap ikhlas, percaya bahwa kehidupan tidak selalu bergantung pada bantuan desa.
Kini, dengan keberanian yang lahir dari kekecewaan, Ibu HL berdiri teguh. Dia bukan hanya berjuang untuk dirinya, tapi juga untuk kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warga Desa Koto Dian dan Kabupaten Kerinci.
Laporannya ke ombudsman bukan hanya seruan untuk keadilan, tapi juga harapan agar kearogansian tidak lagi menaungi bumi Kerinci yang telah lama dikenal dengan keramahannya.
Dalam heningnya malam, setelah air surut dan bantuan dibagikan, tersisa pertanyaan besar: Akankah oknum Kades mengakui kesalahannya dan meminta maaf?
Atau, akankah ini menjadi babak baru dalam narasi kepemimpinan yang hanya berlaku bagi segelintir orang?
Kisah ini belum usai, dan mata Desa Koto Dian tetap terjaga, menantikan keadilan yang sebenarnya.(Red)