Kepemimpinan dan Nilai Leluhur Kerinci
Kepemimpinan dan Nilai Leluhur Kerinci
Alam beraja, negeri bebatin, rantau bejenang, luhak berpenghulu, rumah bertangganai.
Oleh : Agung Iranda
Pilkada telah usai dengan berakhirnya Rapat Pleno KPU, tentunya beberapa kandididat yang menang disibukkan mencari para pejabat-pejabat daerah, baik pada eselon satu, dua sampai eselon tiga. Beberapa kandidat yang kalah justru sibuk melaporkan berbagai kecurangan pelanggaran yang menimpali proses Pilkada kepada Panwaslu dan MK sebagai juru kunci konstitusi kita.
Masyarakat termasuk saya tentunya justru tidak terlalu mempedulikan siapa yang memimpin, yang selalu menjadi tuntunan kami adalah bagaimana kepemimpinan yang akan diemban. Karena harus diakui secara jujur bahwa kepemimpinan kita selama ini masih amburadul, dengan tetek bengeknya yang tidak terus dengan baik
Dalam tulisan sederhana ini, penulis hendak menawarkan bentuk nilai leluhur adat, terutama menyangkut seluk beluk kepemimpinan. Kita cendrung amnesia dengan nilai leluhur, padahal mengembalikan masa lalu adalah mengembalikan originalitas identitas lokal, etnis termasuk identitas kebangsaan.
Seperti kata W.S Rendra dalam pidato Haunaris Causa (doktor) di Universitas Gadjah Mada beberapa tahun yang lalu, Adat adalah kekuatan pilar yang harus selalu kita dengungkan, sejarah membuktikan peran adat dan nilai yang terkandung didalamnya, adalah kekuatan yang sangat kuat menopang kedaulatan Rakyat.
Kita boleh lihat bahwa masyarakat adat, seperti Bugis Toraja, Minang, Bali dan tentunya Kerinci adalah daerah yang sangat sulit ditaklukkan dibandingkan kerajaan kala itu. Mereka tidak terkalahkan oleh imperial dan kolonial manapun, termasuk Belanda, Belanda hanya mampu menginjakkan kaki di tanah adat sekitar tahun 1900an, sangat singkat dan begitu sulit untuk menembusnya apalagi mempertahankannya.
Kerinci takluk dibawah kekejaman Belanda tahun 1903, setelah Depati Parbo diasingkan ke Ternate, dan usainya perang Pulau Tengah selama enam bulan lamanya. Itu artinya Belanda hanya mampu berkuasa di Kerinci sekitar tiga puluh tahun. Tidak sedramatisir yang menyebutkan kita dijajah tiga setengah abad.
Pasca reformasi 1998 kita berharap banyak, wajah kepemimpinan publik kita kian cerah, syahwat keserakahannya semakin menipis, bernyali dan “simbal ekornya,gemuk badannya, gedang lehernya serta langsing kokoknya”.
Konsep kepemimpinan ideal yang tertancap secara utuh dalam sakralitas kebudayaan “Kerinci” dengan sifatnya yang terutup dan terkunci, sebagaimana namanya, Kerinci yang berasal dari kata “kunci”, alasannya karena daerah ini dihimpit oleh bukit barisan, rawa dan Gunung yang menjulang tinggi sebagai roof of Pulau Sumatera, Gunung Kerinci. Atau dalam perspektif lain, Kerinci berasal dari kata “Kurinci”, yang diberi oleh para Koying dimasa dahulu kala, Kurinci sendiri bermakna pegunungan. Dalam etimologi tersebut, artinya Kerinci adalah daerah pegunungan.
Sebagaimana curhatan C.W Watson seorang Peneliti dari University of kent, menyebutkan “Kerinci adalah geokultural yang luar biasa, namun jarang digubris”.
Analogi kepemimpinan yang penulis sebutkan diatas, berupa; Simbal ekor (kepedulian, empati dan mengayomi masyarakat), gemuk badannya (Orang yang matang ekonomi dan pengetahuan), Gedang leher (Rela berkorban), Langsing kokok (Berbicara lantang akan kebenaran). Sebagai kriteria yang patut dimiliki oleh pemimpin yang lahir di Kerinci, minimal pada tataran pemimpin adat.
Bila nilai leluhur ini yang kita pakai, maka kewajiban kita kemudian mengintegrasi dengan dinamika kepemimpinan publik yang pada konteks “kekiniaan” harus diulas bersamaan dengan sistem demokrasi, yang oleh Bonin (2014) disebut alam yang penuh keterbukaan, dengan sistem negara, mekanisme kontrol masyarakat.
Interaksi masyarakat terhadap pemimpin bisa berada dalam satu payung keterbukaan sekaligus dominasi dan pengkhianatan pada sudut lain. Kita sadar betul, bahwa demokrasi adalah legitimasi terhadap “hak untuk dipilih dan memilih”. Tentu keabsahannya, tetap harus kita perdebatkan.
Kendati spirit pemimpin ideal itu ada, jalan menujunya terasa suram, angka korupsi yang kian menebal dari tahun ke tahun, dalam catatan Kompas setahun yang lalu, dekade ini 330 pemimpin daerah tersandung kasus korupsi, 49 anggota dewan pusat, skala itupun belum termasuk menteri, anggota dewan daerah, dan pemimpin lainnya diberbagai lini dan sektor.
Jika kita mengimani angka sebagai objektifitas, maka kita semakin berani ber-hipotesa bahwa pemimpin yang hari-harinya berhadapan dengan hajat hidup kita, terbenam dalam lumpur kegagalan dan kepalsuan.
Untuk sampai menuju kepemimpinan ideal, Pembicaraan kepemimpinan baik di publik atau pada level apa saja, akan berkutat pada dua hal, yaitu terkait profesionalitas dan relasi. Pertama, Bila berbicara profesionalitas, maka kandungannya berupa karakter, disiplin, kinerja. Inipun masih sangat dangkal.
Bauman (2013) menyebutkan Kepemimpinan harus digali lebih jauh keakar yang selama ini jarang sekali muncul kepermukaan.
Dalam pencarian Bauman, Ia menemukan istilah integritas, komitmen serta nilai-nilai dalam konteks kehidupan kita, baik yang tumbuh dan bermekar dalam histori yang panjang ataupun yang berinovasi dengan putaran waktu.
Penemuan hulu yang “dalam” tersebut, penulis bandingkan dengan konsep kepemimpinan Kerinci yang dilukis sangat indah dalam untaian “titin tapasa dititei, baju dijahet dipake, jalan tebente ditempouh, ksak disapleh, bungkou ditarah”.
Dalam bahasa Indonesia yang resmi adalah titian yang terpasang dititih, baju yang dijahit dipakai, jalan yang terbentang dilalui, kesat diamplas, bungkul dirata. Makna ini seperti memaksa pemimpin untuk berkomitmen dalam menyelesaikan persoalan masyarakat, serta dalam waktu yang bersamaan, harus sigap menyelaraskan kebijakan dengan spirit mengayomi.
Maka peran pemimpin semakin jelas yaitu memotivasi dan menginspirasi para bawahan. Yang dihadapan publik terdengar klise.
Kedua, Ketika berbicara mengenai relasi, terutama terhadap interaksi pemimpin dan bawahan. ada tiga prinsip dasar yang disebutkan oleh Sarros & Coper (2006), yaitu Universalisme, transformasi, dan kebajikan. Universalisme menunjukkan sikap memahami serta mengapresisasi pluralitas dan keragaman bawahan dan masyarakat.
Transfromasi, berupa Laku pemimpin yang menyalakan inspirasi kepada bawahan, dengan tujuan agar pemikiran dan sepek terjangnya berlaku secara immortal, dengan visi misi yang berjenjang naik bertangga turun.
Sedangkan dimensi ketiga adalah Kebajikan, yaitu makna terdalam dari kepedulian pemimpin terhadap bawahannya, Dia tidak kaku dalam bekapan formalitas semata, esensi yang ingin dituju dari kebajikan pemimpin tersebut adalah kesejahteraan dan kualitas hidup pengikut atau masyarakat sebagai konstituen sekaligus cerminan dari dirinya.
Konsep ini sebetulnya seirama dengan spirit nilai luhur adat Kerinci, “ Sedancing bah besi seciok bah ayam, hutang emas samo dibayar, hutang malu samo dijunjung, tuah sepakat, celoko bersilang”.makana dari seloko adat ini, bahwa kesapatakan dan kebijakan tidak mungkin hadir dalam ruang hampa, ia tumbuh dalam persaudaraan, kekeluargaan, dan kesatuan pemimpin dan masyarakat. Itu sesungguhnya esensi nilai luhur kita.
Agung Iranda
Mantan Ketua umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Kerinci (IPMK) Yogyakarta 2012/2013.
Mahasiswa Magister Psikologi Ugm