Tidak dapat dipungkiri, jam terbang dan dalil yang digunakan oleh ahli di sidang MK menjadi rujukan. Apakah dalil ini kemudian menjadi pertimbangan oleh MK atau kemudian ditolak.
Didalam persidangan perselisihan Pilpres 2019, argumentasi dan dalil yang digunakan Dr. Heru Widodo dari Law Firm Heru Widodo (HWL) yang dihadirkan oleh Tim hukum Jokowi-Makruf menarik untuk dipelajari.
Untuk membaca permohonan yang didalamnya kemudian dikategorikan seperti TSM, pelanggaran kuantitafif dan dapat dikualifikasi maka tidak dapat dilepaskan dari UU No 7 Tahun 2017.
Istilah TSM adalah cara yang digunakan oleh apparatus negara didalam melaksanakan pemilu dengan cara “terstruktur – sistematis – massif”. Sebuah prinsip didalam melihat adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan pemilu.
Istilah TSM tidak dapat dilepaskan dari kepiawaian HWL dalam berbagai pilkada. Dengan pisau analisis TSM menyebabkan berbagai pilkada kemudian harus dilakukan PSU (Pemungutan Suara ulang).
Sehingga tidak salah kemudian dihadirkan HWL didalam persidangan pilpres di MK, tidak dapat dilepaskan dari praktek yang dikuasai dan dalil-dalil hukum yang digunakan oleh HWL didalam memotret pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Untuk memudahkan memahami alur pemikiran HWL maka tidak salah kemudian keterangan yang telah diberikan di MK menjadi penilaian dan cara pandang. Keterangan yang telah diberikan dapat dilihat didalam berbagai putusan di MK.
Pertama. Untuk menentukan kategori signifikan terjadinya TSM dapat dilihat didalam regulasi yang diatur didalam UU No. 7 Tahun 2017. UU dengan tegas mengatur tentang pelanggaran yang bersifat kuantitatif.
Kedua. Untuk menentukan unsur terjadinya pelanggaran yang kuantitatif dapat dilihat apabila terjadinya pelanggaran menyebabkan ditempat pemohon menjadi kalah, hasilnya mampu mengubah hasil perolehan suara atau kondisi penegakkan hukum yang tidak bekerja.
Ketiga. Tidak dapat dipungkiri, cara membaca pandangan MK mengenai kategori TSM tidak dapat dilepaskan dari berbagai pilkada yang telah berlangsung.
Meminjam istilah HWL, cara membaca konstitusi dan cara pandang MK dapat dilihat berbagai pilkada. Terutama yang menjadi optic HWL sejak 2014.
Keempat. Dari hasil analisisnya, maka terhadap pelanggaran terhadap berkaitan pilkada tetap harus merujuk kepada berbagai pelanggaran disetiap instansi kewenangannya.
Terhadap pelanggaran yang menjadi ruang lingkup PTUN maka tetap menjadi ranah PTUN. Begitu juga terhadap pelanggaran yang dapat diproses melalui Bawaslu tetap menjadi domain Bawaslu.
MK tidak dapat mengambil alih terhadap pelanggaran yang menjadi ranah PTUN atau Bawaslu.
Kelima. Sedangkan berkaitan dengan istilah diskualifikasi yang didalilkan oleh pemohon maka harus memenuni unsur seperti dapat dibuktikan terjadinya pelanggaran yang kemudian menyebabkan pemohon kalah, dilakukan oleh termohon, adanya perubahan konfigurasi perolehan suara dan kondisi penegakkan hukum yang tidak mampu bekerja.
Argumentasi yang disampaikan oleh Dr. Heru Widodo menjadi pertimbangan MK. Didalam putusannya, MK menolak permohonan dari pemohon terhadap TSM.
MK mendasarkan UU No. 7 Tahun 2017 kemudian melihat apakah terhadap upaya pelanggaran yang dilakukan telah menempuh mekanisme setiap tahap dan tingkatan.
Para pemohon harus membuktikan tahap yang dilalui namun kemudian penyelenggara tidak menjalankan tugasnya.
Namun apabila terhadap adanya upaya pelanggaran namun kemudian tidak ditempuh berdasarkan upaya keberatan setiap tingkatan, maka terhadap permohonan harusnya dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Dengan melihat argumentasi dan dalil yang disampaikan oleh Dr. Heru Widodo di persidangan pilpres 2019, dan membaca putusan MK mengenai pilpres 2019, maka berbagai pemikiran dari Dr. Heru Widodo dapat dijadikan rujukan untuk melihat dua tema hukum yang berkaitan dengan pilkada. Terutama mengenai TSM dan diskualifikasi.
Putusan MK dapat menjadi rujukan (yurisprudensi). Sehingga dengan putusan MK para pihak dapat belajar bagaimana pandangan MK didalam dua tema hukum tersebut.
(Direktur Media Publikasi dan Opini Tim Pemenangan Al Haris-Sani)