Menimbang ‘Surau’ di Kerinci
Kerincitime.co.id – Cerpen legendaris Ali Akbar Navis, “Robohnya Surau Kami”, berkisah tentang bunuh diri Kakek Garin (sang penjaga surau) dengan pisau yang diasahnya sendiri. Ia memilih mati setelah mendengarkan Ajo Sidi berdongeng tentang Haji Saleh yang dihalau ke neraka. Disebabkan ketika hidup di dunia Haji Saleh kerjanya hanya taat sembahyang dan sibuk memuji Tuhan saja. Sedangkan terhadap kehidupan anak-istri, saudara dan kaumnya sendiri, Haji Saleh sama sekali tidak peduli.
Sosok Haji Saleh, yang egois dan ingin masuk surga sendiri dalam dongeng Ajo Sidi, ini dirasakan Kakek Garin sebagai sindiran untuk dirinya. Karena sedari muda dia telah menyerahkan hidupnya lahir dan batin kepada Allah Swt. dengan mengurus surau. Bahkan Kakek Garin sampai tidak memikirkan hidupnya sendiri: tidak berkeluarga, tidak pula mencari kekayaan dan membikin rumah.“Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk,”lirih Kakek Garin sebelum bunuh diri.
Apa benar Kakek Garin sejenis “manusia terkutuk,” sehingga wajar bila kerobohan surau diberi tepuk tangan? Sebuah jawaban berbisik: “Benar, tapi tanpa maksud merobohkan surau.” Sayangnya Kakek Garin dan surau bernafas dengan ‘nyawa’ yang sama. Ibarat banyak yang bisa tertawa jika kini dibuka “Penerimaan Calon Garin Surau,” namun di selanya tetap ada yang bernostalgia surau kembali. Sekalipun harapnya itu sekadar sebagai wisata budaya di pinggir sorak-sorai sekolah sepak bola, atau gebyar audisi jadi artis/ idola.
***
Asalnya surau terdapat di banyak daerah di pulau Sumatera dan sekitarnya.Tetapi riwayatnya tertancap di Sumatera Barat (Sumbar). Surau pertama di-Islam-kan menjelang akhir abad ke-17 di Ulakan (Pariaman) oleh Syekh Burhanuddin (1646-1692), murid ulama Aceh Syekh Abdurrauf Singkil (1615-1693). Surau Ulakan, sebagai pusat tarekat Syaththariyah, ini setidaknya menjadi salah satu pelopor utama perkembangan Islam di Sumbar. Beriring muncul surau-surau lain sebagai pusat tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah hingga Sammaniyah.
Singkatnya, pengajian di surau kental nuansa tasawuf. Tasawuf dan tarekat adalah ciri khas surau. Dan, pada masa ketenarannya,‘penjaga’ surau jelas bukan “garin”. Tetapi mereka akrab disapa “syekh” atau “tuanku”. Syekh merupakan pemegang otoritas pengajian, penentu pandangan keagamaan sekaligus pemimpin spiritual. Gelar syekh setara dengan doktor atau profesor di masa kini.
Sementara itu, kehadiran Islam di Kerinci memiliki sumber dan jalur yang beragam. Cenderung mendekati keberagaman tradisi, dialek bahasa, dan sejarah tiap daerahnya. Walau begitu, bisa dibilang ‘surau’ sebagai salah satu yang berperan penting dalam perkembangan Islam di Kerinci. Baik dari sisi riwayatnya di Sumbar, dan (terutama) dalam arti ciri khasnya (tarekat dan tasawuf). Sekalipun pendapat yang menyatakan, baru di akhir abad ke-19 seluruh Kerinci menjadi muslim, ini benar.
Sebagai indikasi mungkin bisa terlihat dari istilah “surau tinggi” yang tidak asing bagi sebagian masyarakat Kerinci. Dikenal pula cerita tentang Depati Parbo yang pernah belajar di surau. Mungkin termasuk istilah “urang siak” dalam sejarah Islam di Kerinci. Sebab, terlepas dari asal-usul kata “urang siak” yang terkait dengan “Negeri Siak” atau “Siak Seri Inderapura” (yang bermula dari pendirian perkampungan oleh keluarga Syiah yang datang pada 969 M), saya cenderung setuju kepada pendapat yang menduga bahwa belakangan istilah tersebut juga ‘terserap’ oleh surau, sehingga “urang siak” turut dipakai sebagai panggilan bagi sebagian murid surau.
Selain itu, sebagian masyarakat Kerinci juga mengenal Ratib Seman (Samman), yakni sebentuk zikir tarekat Sammaniyah.Tarekat ini didirikan Syekh Muhammad bin Abd al-Karim as-Samman (1718-1775) di Madinah, dan muridnya yang paling ternama, Syekh Abdussamad al-Palimbani (1737-1832/9), dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkannya di Indonesia, terutama di tanah kelahirannya Palembang (Sumsel). Dan ratib samman juga disebut berkembang menjadi Tari Saman dan Tari Seudati di Aceh. Karena di Aceh kala itu, tarekat yang dibawa oleh murid Syekh Abdussamad, atau oleh Syekh Abdussamad sendiri yang konon pernah singgah di sana, pun lumayan diterima luas.
Serta masih banyak contoh lainnya, seperti keberadaan tarekat Naqsyabandiyah di Kerinci hingga saat ini yang tak perlu diragukan, dll. Singkatnya, memang pernah ada suatu fase subur tarekat dan tasawuf pada masa awal perkembangan Islam di Kerinci. Dari yang bercorak al-Ghazali sampai pandangan Ibnu Arabi juga diduga terdeteksi. Kemudian, setelah mengalami sebuah fase redup dan tersingkir ke ‘pinggir’, tampaknya tarekat dan tasawuf di Kerinci kembali ‘menggeliat’ sekitar era 1980, serta sekian tahun belakangan ini. Walau sebenarnya sebagian masyarakat Kerinci agak menghindar darinya. Contohnya, terdapat beberapa desa di Kerinci bagian tengah yang masyarakatnya cenderung ‘curiga’ terhadap kata tasawuf dan tarekat, meskipun mereka memiliki banyak bangunan tempat ibadah yang mereka sebut surau.
Dan, tentang sikap ‘curiga’ sebagian masyarakat Kerinci kepada kata tasawuf dan tarekat, walau mungkin sebagian tradisi dan corak keberagamaan mereka berkata sebaliknya, salah satu dugaannya terkait dengan pergolakan pada masa-masa kerobohan ‘surau’ yang utamanya disebabkan internal ‘surau’ itu sendiri. Mungkin, masa pergolakan itu berkisar antara setelah Perang Padri sampai kira-kira era 1960. Yang sebagiannya semasa dengan gelora pembaruan Islam di Sumbar pada awal abad ke-20.
***
Cerpen Robohnya Surau Kami pertama terbit tahun 1955. Pada 2001, diadakan “Seminar dan Lokakarya Kembali ke Surau”di Padang. Dan, tesis Azyumardi Azra tentang “Surau” dibukukan pada 2003, beriring kajian-kajian lain bertema serupa. Dari kesemua itu terasa adanya rindu yang tertahan, di bawah sejumlah simpulan bahwa mengaji di surau sudah sulit dihidupkan.
Dalam pada itu, sebagian orang bilang: “Sesungguhnya Kakek Garin tidak pernah bunuh diri.” Buktinya, kata mereka, Kakek Garin pernah muncul ke tengah masyarakat dengan nama samaran Bang Jack lewat sinetron Para Pencari Tuhan. Dan, AA. Navis yang berupaya memotret kondisi di zamannya juga mengakui: “Dalam tjerpen ‘Robohnya Surau Kami’ memang kematian si garin tidak kena psikologisnja. Itu saja sengadja. Sebagai sugesti bagi orang-orang seperti itu, lebih baik ia memilih mati. Pekerdjaannja mengasah pisau jang ada guna dan fungsinja. Meski ketjil, (tapi) bukan suatu pekerdjaan. Melainkan suatu hobby, pengisi waktu lapang. Sebab kehidupan pokok baginja hanjalah keselamatan dirinja sendiri di achirat. Disebalik itu, saja dengan tjerita itu ingin memantjing kemarahan para ulama di daerahku.”
Mirisnya, di zaman sekarang, pertanyaan “hobi kamu apa?” malah ramai beredar, bahkan tidak sedikit yang berjuang keras agar bisa bekerja sesuai hobi. Di sisi lain, semangat tolong-menolong (berbuat kebaikan), seperti Kakek Garin membantu warga mengasah pisau, semakin memudar. Karena doktrinnya, setiap gerak atau perbuatan harus bernilai “kerja”, alias harus ada “harga” (teristimewa uang) yang didapat. Sehingga, salah satu imbasnya adalah jangankan untuk keluarga serta masyarakat sekitar, tapi bagi keselamatan diri sendiri di akhirat pun sudah banyak yang abai.
Oleh sebab itu, pendapat seputar Kakek Garin tetap terbelah. Walau tidak bunuh diri, Kakek Garin bisa disepakati sudah meninggal dimakan usia. Namun, siapakah Bang Jack? Sebagian mengungkap bahwa Bang Jack adalah samaran Ajo Sidi. Tapi sebagian lain menolak sambil berargumen: “Bang Jack masih tetap ‘keturunan’ Kakek Garin, karena Ajo Sidi di saat tuanya justru membanggakan diri sebagai Haji Saleh.” Apa pun, tampaknya Kakek Garin memang tidak kalah ganteng dibanding para bintang India dan Korea.
***
Dari segi bahasa surau berarti “tempat penyembahan.” Makna bebasnya “ruang sakral” atau “ruang spiritual”. Konon, semakin materialistik dan kompetitif suatu masyarakat, atau semakin kaya, berteknologi dan praktis kehidupannya, maka semakin terengah-engah pula mereka mencari ‘ruang spiritual’ untuk ‘bernafas’.
‘Surau’ yang dulu roboh, dengan berbagai wujudnya, sudah dan akan terus berkecambah sendiri. Meski tidak jarang di antara para pencari ‘ruang spiritual’ itu salah mengambil jalan, salah langkah, keliru membaca atau mengabaikan penunjuk arah, malas melanjutkan perjalanan, berbelok masuk jurang untuk menghindari tanjakan, bahkan tersesat karena terpukau fatamorgana di seberang jalan.
Seperti ada yang terjatuh di lembah tarekat yang tidak mu’tabarah, paham tasawuf yang menyimpang dari akidah, ibadah mahdhah menyalahi syariat, juga yang keliru niatnya dalam mujahadah. Ada yang terseret aliran sesat, terpeleset ke arus pemurtadan, serta yang berenang riang dalam banjir bandang materialistik dan sekuler. Ada pula yang tenggelam di kubangan barang-barang mistis maupun aksesori ilmu psikologi. Hingga yang terperosok ke jurang narkoba, miras, judi, pornografi, prostitusi (terutama pelanggannya), korupsi, kriminal, dll. Tentu saja (terutama), yang terhanyut di jalur-jalur yang didoktrinkan keren dan terhormat, yakni kekayaan, popularitas, jabatan, pangkat, titel, karir, dsb.
Yang disadari atau (biasanya) tidak, yang diakui maupun kadang dibantah membabi buta, kesemua ‘sesembahan’ itu telah dan terus menambah hidup menjadi pengap dan gelap. Lebih-lebih ketika “mau insyaf susah, desa sudah menjadi kota” (meminjam kalimat Iwan Fals dalam lagu Menunggu Ditimbang Malah Muntah). Dan saya termasuk di antara yang tertatih lemas itu, astaghfirullah…