EFEKTIVITAS MORATORIUM PEMBALAKAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT PERSPEKTIF PROVINSI JAMBI
By Syamsul Bahri, SE dan Mahpudin, SH Conservationist Jambi
Tuhan pasti “akan marah” melihat proses pembodahan di tengah masyarakat berlangsung dg baik, namun tuhan “akan lebih murka” melihat kaum intelektual membiarkan proses pembodohan berlansung tanpa usaha untuk memperbaikinya. By Syamsul Bahri.
Moratorium Hutan didefenisikan adalah sebuah program menghentikan sementara (jangka waktu/jeda tebang) terhadap pembalakan dan atau pembukaan kawasan hutan untuk kepentingan “hanya financial benefit” oleh masyarakat dan Perusahaan yang ditetapkan oleh ororitas dalam hal ini melalui Instruksi Presiden (Inpres)
Bahwa Moratorium Hutan merupakan bentuk implementasi kerja sama Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia, berdasarkan Surat Pernyataan Kehendak (LoI) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 26 Mei 2010 dengan demikian Presiden Indonesia menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/2011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut tertanggal 20 Mei 2011, Inpres tersebut, yang mendorong moratorium selama dua tahun atas izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH)/ Hutan Tanaman Industri, Izin Perkebunan baru menimbulkan wacana publik secara luas dan memiliki implikasi terhadap sejumlah kebijakan penting.
Inpres No 10 tahun 2011 tentang penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut serta perbaikan tata kelola sektor Kehutanan (Moratorium I), tersebut dilanjutkan dengan Moratorium II, dengan jedah 2 tahun, moratorium diperpanjang melalui Inpres No 6/2013 di mana inpres difokuskan untuk memberi waktu bagi hutan untuk bernafas dan menahan konversi hutan sehingga bisa efektif menurunkan emisi gas rumah kaca.
Inpres No 10 tahun 2011 dan No 6 Tahun 2013 merupakan Kebijakan Pemerintah yang dikenal dengan istilah Moratorium Hutan atau jeda tebang yang diharapkan dapat menjadi proses untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi emisi dari deforestasi yang merupakan tindak lanjut dari Indonesia mendukung kesepakatan global dengan menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada 2020 dimana 14%-nya diharapkan datang dari sektor kehutanan yang dikelola secara lestari.
Inpres No 06 tahun 2013 tersebut akan berakhir pada tanggal 13 Mei 2015, tentunya kita akan melihat efektifkan Moratorium I dan II tersebut untuk wilayah Propinsi Jambi, atau kemungkinan Moratorium jilid III akan dilanjutkan atau tidak, karena desakan pemodal baik asing maupun dalam negeri yang begitu kuat dalam menekan Pemerintah, semoga jeda tersebut lebih berpikir lebih arief dalam menentukan arah investasi di sekitir Kehutanan, Perkebunan, yang lebih menonjolkan kebutuhan dan mengkonversi hutan dan lahan gambut.
Inpres baik No 10 tahun 2011, maupun No 06 tahun 2013 adalah perintah presiden kepada kementerian dan lembaga pemerintahan lain yang terkait seperti kepada tiga menteri (Kehutanan, Dalam Negeri dan Lingkungan Hidup) dan kepala lima lembaga (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk mengelola REDD+), serta para gubernur dan bupati/Walikota.
Inpres ini menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga selama dua tahun sejak dikeluarkannya Inpres tersebut.
Berfungsi sebagai dokumen nonlegislatif, Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan.
Propinsi Jambi sebagai salah satu satu surga penyimpanan karbon Indonesia terutama di Pulau Sumatera kini semakin menyusut seiring dengan hancurnya lahan gambut di Propinsi Jambi akibat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI, hilangnya cadangan karbon, membuat lahan gambut Indonesia kini menjadi salah satu sumber utama emisi karbon dunia.
jika kita cermati dan pedomani Hot Spot di Indonesia terutama di Wilayah dengan tingkat keterancaman kebakaran hutan yang cukup tinggi, semenjak tahun 2011 hot spot sebanyak (13.256), tahun 2012 hot spot sebanyak (18.469), tahun 2013 hot spot sebanyak (9.035) dan tahun 2014 hot spot sebanyak (15.629), dengan rincian Propinsi Jambi memberikan kontribusi hot spot berkisar dari 3%-5%, untuk Propinsi Sumatera Selatan rata-rata 35%-36%, Propinsi Riau rata-rata 24%-47% dan Kalimantan Barat 13-35%.
Dari data tersebut dapat terlihat periodenisasi Hot Spot untuk Propinsi Jambi merupakan hot spot yang terendah dari 4 Propinsi tersebut, yaitu berkisar 3%-5% (Sumber Humas Kementerian LH-K, olah data). Memang disadari bahwa landscape/bentang alam 5 Propinsi tersebut, adalah Propinsi yang memiliki lahan /kawasan gambut terluas di Indonesia, yaitu mencapai 20,6 juta ha atau 10,8% dari luas daratan Indonesia.
Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera ± 35%, Kalimantan ± 32%, Sulawesi ± 3%, dan Papua ± 30%. Lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang didominasi oleh tanah gambut.
Lahan ini mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan.
Pulau Sumatera, dari sekitar 4.6 juta hektar luas hutan rawa gambut, 7,4%-nya (341 000 ha) terletak di propinsi Jambi, sedangkan sekitar ± 26%-nya (1.2 juta ha) tersebar di propinsi Sumatera Selatan dan menyebar di Propinsi Riau sekitars ± 46%.
Daerah hutan rawa gambut terpenting di kedua propinsi tersebut berada di dalam dan sekitar wilayah Berbak dan Sembilang.
Berbak-Sembilang yang terletak di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah penting dan unik di Sumatera karena mempunyai hutan rawa gambut yang luas dan merupakan kawasan konservasi lahan basah terluas di Asia Tenggara, dan kawasan tersebut untuk Propinsi Jambi terdapat di Landscape Berbak terutama terdapat di Tanjung Jabung Timur, Muara Jambi, seperti Hutan Lindung Gambut, Tahura, Taman Nasional Berbak, yang diteruskan ke Taman Nasional Sembilang, dan di Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Sebuah kajian terhadap lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan di lahan gambut seluas 10 juta hektar ditemukan bahwa sebagian besar lahan gambut ini sudah terdegradasi.
Kurang dari 4% yang masih tertutup hutan rawa gambut dan hanya sekitar 11% yang tertutup hutan yang relatif baik.
Sisanya adalah sumber titik api dan sudah diubah menjadi perkebunan, HTI, termasuk lahan gambut di Pulau Sumatera. ( HYPERLINK “http://www.mongabay.co.id/2013/09/30/lahan-gambut-indonesia-bom-waktu-emisi-karbon-dunia/” http://www.mongabay.co.id/2013/09/30/lahan-gambut-indonesia-bom-waktu-emisi-karbon-dunia/).
Langkah startegis untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan dampak lingkungan beserta dampak ekonomi lainya ditawarkan sudah diketahui dan sudah disebarkan secara luas.
Konversi lahan menjadi perkebunan harus dihentikan, namun hal ini bukan berarti industri kelapa sawit harus diakhiri melalui Moratorium kawasan hutan dan lahan gambut. Hal ini artinya konsesi yang sudah ada di lahan gambut harus dipindahkan ke lahan yang sudah terdegradasi di wilayah lainnya.
Jika kita simak salah satu kesimpulan seminar “Hasil Studi Evaluasi Dampak Kebakaran Lahan Gambut Provinsi Jambi” di Hotel Grand Abadi Kota Jambi, Kamis (12/3), yang memaparkan kajian hasil penelitian Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (FK IPB) dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) Jambi tentang dampak ekonomi kebakaran lahan gambut di Jambi Bahwa kerugian materi atau ekonomi akibat kebakaran lahan gambut di tiga kabupaten di Jambi tahun lalu mencapai Rp 44,7 triliun dengan luas areal kebakaran lahan gambut 631.627 ha.
Kerugian yang langsung dirasakan masyarakat akibat kebakaran lahan gambut terdiri dari kerusakan areal pertanian, kehilangan sumber daya air, kerusakan tanaman yang terbakar, kerugian biaya pengolahan lahan dan kerugian pemupukan kebun.
Kerugian lain kebakaran lahan gambut terhadap masyarakat luas, yakni kerusakan lingkungan, kesehatan, pencemaran udara, lumpuhnya transportasi akibat asap kebakaran dan sebagainya.
Terindikasi bahwa kerugian paling besar akibat kebakaran lahan gambut di Jambi tahun lalu terjadi Kabupaten Tanjungjabung Timur (Tanjabtim), dengan total nilai ekonomi dampak kebakaran lahan gambut di daerah itu mencapai Rp 17,69 triliun dengan total luas lahan yang terbakar seluas 217.345 ha.
Kemudian kerugian materi akibat kebakaran lahan gambut di Kabupaten Muarojambi mencapai Rp 15,33 triliun dengan luas lahan yang terbakar 207.977 ha.
Sedangkan kerugian ekonomi kebakaran lahan gambut di Kabupaten Tanjungjabung Barat (Tanjabbar) sekitar sebesar Rp 11,69 triliun dengan luas lahan terbakar 206.305 ha, yang tentunya akan menimbulkan kerusakan ekonomi.
Antisipasi kebakaran gambut harus ditekankan kepada seluruh perusahaan sawit dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang beroperasi di lahan gambut di ketiga kabupaten mengingat hasil studi ini menujukkan bahwa potensi kebakaran lahan gambut terbesar di ketiga kabupaten terdapat di areal perusahaan sawit dan HTI. Dengan data dan informasi tersebut, dikatakan bahwa Moratorium I dan II dengan Inpres No 10 tahun 2011 dan No 6 tahun 2013 tentang penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut serta perbaikan tata kelola sektor kehutanan, belum efektive untuk mencegah pembalakan yang merupakan tahapan awal dari sebuah proses pembangunan HTU dan Perkebunan.
Jika kita cermati, Kelembagaan yang merupakan eksekutor tehnis dan lapangan dalam moratorium tersebut adalah saat sekarang adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang harus menunda pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap,hutan produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru dan melakukan kajian untuk perbaikan tata kelola bidang Kehutanan.
Sedang Gubernur dan Bupati/Wako adalah Melakukan penundaan penerbitan/pemberian rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
Jika kita lihat belum efektivenya implementasi dari Moratorium I dan II untuk mencegah terjadi defrorestasi hutan dan lahan gambut, yang akan menimbulkan dampak yang lebih besar, baik menyangkut emisi karbon, ekosistem, lingkungan, kebakaran hutan dan lahan dan semua memiliki dimensi ekonomi baik kerugian masyarakat, maupun penyedotan APBN, maka Moratorium III harus dilanjutkan dengan mereview beberapa hal serta memperkuat penegakan hukum tanpa pilih kasih, tentunya ketentuan dan keputusan yang diterbitkan secara tehnis diharapkan selaras dengan tujuan moratorium.
Dan dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut yang menjadi faktor penyebab dari kebakaran hutan dan lahan serta membawa dampak lingkungan yang berdimensi ekonomi yang lebih besar dan bahkan membawa dampak negatif terhadap politik luar negeri, diharapkan diterbitkan PERDA berkaitan pengelolaan gambut yang berbasisikan pemanfaatan yang lestari, yang merujukan pada ketentuan yang lebih tinggi.
Sangat diharapkan Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seyogyannya berkomitmen lebih kuat lagi dalam rangka menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut melalui Moratorium III, tidak hanya mencegah pembalakan dan kebakaran hutan, justru mengkaji dan menganalisa penyebab kebakaran hutan dan pembalakan yang utama sesungguhnya dikeranakan keterbatasan ekonomi dan diperalat untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan masyarakat itu sendiri, sehingga masyarakat sekitar hutan dan lahan gambut, seyogyannya dapat tersentuh oleh pembangunan ekonomi dalam rangka memperkuat pendapatan dan ekonomi keluarga, disamping belum tepatnya pengelolaan lahan gambut secara tehnis.
Disamping pelaksanaan moratorium ini dilaksanakan tata kelola Kehutanan terutama menyangkut hutan dan kawasan hutan yang cenderung tumpang tindih penggunaan lainnya (nota bene nihil tegakan hutan) baik dalam kawasan hutan konservasi, HPH, Hutan Lindung terutama Desa dan pemukiman legal dalam kawasan, hendak menjadi bahan kajian bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena tumpang tindih pengunaan tersebut menjadu bom waktu, serta perbaikan HPH yang sudah tidak memiliki tegakan hutan yang telah ditinggalkan kearah yang lebih memiliki nilai kemanusian, tidak hanya berpihak kepada pengusaha besar saja. Beberapa catatan penting yang perlu adalah
(1) Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seyogyannya berkomitmen lebih kuat lagi dalam rangka menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut melalui Moratorium III,
(2) Moratorium juga diharapkan tidak hanya mencegah pembalakan dan kebakaran hutan, justru mengkaji dan menganalisa penyebab kebakaran hutan dan pembalakan;
(3) Pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat sekitar hutan menjadi salah satu upaya untuk meminimalkan/mencegah masyarakat akan dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan yang illegal;
(4) Menyempurnakan dan memperkuat tata kelola hutan, termasuk menyangkut hutan dan kawasan hutan yang cenderung tumpang tindih penggunaan lainnya (nota bene nihil tegakan hutan) baik dalam kawasan hutan konservasi, HPH, Hutan Lindung terutama Desa dan pemukiman legal dalam kawasan, hendak menjadi bahan kajian bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena tumpang tindih pengunaan tersebut menjadu bom waktu;
(5) Harapan inpres tersebut hendaknya memiliki konsekwensi hukum atau konsekwensi administratif di tingkat lapangan, seperti Gubernur/Bupati/Wali kota, serta menteri/lembaga baik tehnis maupun non tehnis lainnya, agar implementasi Moratorium ini dapat berjalan sesuai dengan harapan dan tujuan sesungguhnya.