Kemenag seolah-olah menjadi samsak atas segala permasalahan haji, mulai dari penginapan, transportasi, toilet, penelantaran, hingga sarapan pagi.
Kita ketahui bersama, persoalan haji ini melibatkan kerja sama antar dua negara, pelibatan berbagai lembaga, rupa-rupa agensi, dan cawe-cawe politik. Ini sangat kompleks. Menghantam Kementrian Agama sepihak tanpa tedeng aling-aling sungguh bukan tindakan bijak.
Apabila kita mau fair melihat posisi dan peran Kemenag perihal haji ini kita akan sadar bahwa prosesnya sangat kompleks. Karenanya, jika mengharapkan sempurna tanpa cacat sedikit pun itu sama artinya menegakkan benang basah.
Ada 220-an ribu jamaah haji (Dhuyuf al-Rahman) yang mesti diorganisir tahun ini, wajar bila ada kurang dan luput sana sini. Lalu kenapa kali ini suara-suara fitnah dan sejenisnya begitu menggebu-gebu dihunjamkan ke Kemenag, alih-alih turut membenahi bersama.
Kemenag memang berada di garda terdepan dalam hal ini, sebagai organisator sekaligus eksekutor, namun apa yang menjadi pedoman di lapangan tentu berangkat dari hasil rembuk dan kesepakatan berbagai elemen.
Teramat miris bila mereka yang terlibat dalam perumusan kesepakatan itu lalu tiba-tiba jadi paling vokal dan garang menguliti Kemenag hari ini. Jangan-jangan ini jadi ajang unjuk pamor untuk kepentingan politik. Bisa saja bukan?
Terdapat berbagai opini dan pendapat keliru yang berseliweran di media sosial tentang pelaksanaan haji tahun ini. Akibatnya, masyarakat Indonesia menerima banyak informasi dengan narasi yang tidak lengkap.
Namun, ada beberapa klaim yang dapat diperjelas. Pertama, klaim bahwa pelayanan haji tidak ramah terhadap lansia. Hal ini jelas klaim tak berdasar. Saat ini, semua petugas telah berusaha maksimal untuk melayani jamaah haji lansia dengan penuh perhatian dan tanggung jawab.
Kedua, keterlambatan dalam mengangkut jamaah di Muzdalifah. Penyebabnya adalah keberadaan jamaah pejalan kaki dari berbagai negara yang masuk ke jalan tol bus, sehingga menghambat pergerakan bus. Karenanya, tidak benar jika ada narasi yang mengatakan bahwa Kemenag sengaja menelantarkan jamaah.
Kemacetan dan keterlambatan bus terjadi karena jalan tol yang seharusnya digunakan oleh bus dijejali oleh jamaah pejalan kaki yang keluar dari alur pejalan kaki yang telah disediakan oleh pemerintah Saudi.
Pemerintah Indonesia telah melakukan protes dan mengambil langkah cepat dalam mengatasi kemacetan dengan memaksa bus-bus lain untuk mengangkut jamaah.
Tidak ada korban jiwa khusus dalam peristiwa ini di Muzdalifah. Jamaah yang meninggal di Mekkah rata-rata karena sebelumnya memiliki riwayat penyakit bawaan atau merupakan lansia.
Ketiga, jamaah mengalami kepanasan dan kehausan. Hal ini lantaran kondisi cuaca di Saudi yang ekstrim, mencapai 40-an derajat celcius. Namun, petugas haji telah merespons dengan segera membagikan air mineral dan kurma kepada jamaah.
Keempat, narasi yang menyebutkan bahwa jamaah mengalami kelaparan itu dapat diklarifikasi karena tidak semua jamaah membawa bekal yang disiapkan oleh maktab di Arafah ke Muzdalifah.
Selain itu, diakui memang layanan konsumsi tidak terdistribusi dengan baik dan lancar, pihak Kemenag pun sudah menyampaikan protes keras ke Perusahaan Mashareq, karena penyediaan layanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina) sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka.
Bahkan protes itu secara langsung diutarakan Gus Yaqut Cholil Qoumas, “Kalau ada masalah jangan lempar-lempar (tanggung jawab), gak ada solusi. Kita gak nuntut berlebihan dan agar porsi makan dilebihkan. Kita cuma mau sesuai kontrak saja. Dan itu hak kami.”
Seperti menahan tangis Gus Yaqut pun meluapkan kekecewaan pada direksi Mashareq, “Tolonglah Pak, ini 200 ribu jamaah yang keluarganya menyerahkan kepada kami. 200 ribu nyawa mereka diserahkan kepada kami.”
Kekecewaan Menteri Agama itu merepresentasikan kekesalan banyak orang dan sudah sepantasnya. Sebagai negara dengan jamaah haji terbanyak di dunia, perlakuan seperti itu sungguh tidak sebanding, dan cenderung mendiskreditkan martabat bangsa.
Apa yang sudah terjadi sebaiknya diiringi dengan sikap tanggung jawab seraya menemukan solusi konkrit. Ini ialah hal paling penting dan rasional untuk dilakukan daripada melempar tanggung jawab, saling tuduh, salah-menyalahkan, bahkan mempolitisir kekesalan publik untuk mendulang elektoral.
Dengan memahami permasalahan riil yang terjadi harapannya kita tidak mudah terpancing dengan narasi-narasi bernuansa kebencian, yang jelas-jelas kepentingannya bukan lagi untuk kemaslahatan bersama, tapi lebih kepada penyemaian permusuhan dan agitasi politis. Lalim sungguh.