HOT NEWS

Jurnalisme online dalam hukum media di Indonesia

Jurnalisme Online dalam Regulasi Media di Indonesia

Dalam perspektif hukum, sifatnya media online yang berbeda dengan media konvensional ini memunculkan konsekuensi etis maupun hukum yang berbeda pula. Sebagai medium penyampai pesan dan ranah kebebasan berekspresi, tentunya perkembangan jurnalisme online selayaknya mempunyai aturan sendiri. Sampai hari ini aturan hukum yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatur jurnalisme online masih dikembalikan kepada UU Pers.

Aturan hukum yang dimiliki Indonesia berkaitan dengan jurnalisme online cukup parsial. Tidak jelas mana yang lex spesialis, mana yang lex generalis. Di sisi lain, peraturan baru yang hendak dibuat dan masuk dalam agenda program legislasi nasional, belum menjanjikan keputusan hukum yang mampu mewadahi perkembangan jurnalisme online, mengingat lahan ini sangat dinamis sampai hari ini.

Jurnalisme online dalam hukum media di Indonesia masih dipayung dengan Undang-undang No.40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Pers disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pers adalah :

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Undang-undang ini dinilai masih bisa diberlakukan untuk mengatur jurnalisme online karena dalam pasal 1 Undang-undang tersebut, jurnalisme online masih masuk dalam pengertian pers yang digagas oleh UU. Secara terminologi berdasarkan pasal 1 UU Pers yang masuk dalam kategori pers adalah segala kegiatan jurnalistik baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data, grafis, maupun bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Jurnalisme online masuk dalam kategori media yang menggunakan ranah elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karenanya, jurnalisme online masih bisa menggunakan undang-undang ini sebagai payung hukum.

Persoalan yang kemudian muncul adalah jurnalisme online mempunyai karakter yang berbeda dengan jurnalisme konvensional. Sementara undang-undang pers dibuat masih memuat konteks jurnalisme konvensional meskipun dalam pengertian undang-undang itu kata ‘media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia’ dianggap bisa mewakili jurnalisme online. Terdapat beberapa persoalan jurnalisme online yang memang masih bisa dipayungi dengan undang-undang Pers karena memang sifatnya masih sama atau mirip dengan kasus untuk media cetak dan media penyiaran. Namun begitu ada beberapa persoalan dalam jurnalisme online yang tidak bisa ditampung dan dipayungi oleh undang-undang pers karena karakternya yang sudah berbeda.

Konferensi internasional di Pusat Jurnalisme Warsawa Polandia pada 11-12 Oktober 1997 mencatat bahwa ada hal mendasar mengenai kasus jurnalisme berinternet (Journalism in Cyberspace) yang hampir sama dengan dengan kasus pada jurnalisme cetak dan elektronik. Persoalan-persoalan tersebut meliputi, hal-hal yang menyerang kepentingan individu, pencemaran nama baik, pembunuhan karakter/reputasi seseorang. Kemudian hal-hal yang sifatnya menyebarkan kebencian, rasialis, dan mempertentangkan ajaran agama. Selain itu berkenaan dengan masalah kesusilaan seperti menyebarkan hal-hal tidak bermoral, mengabaikan kaidah kepatutan menyangkut seksual yang menyinggung perasaan umum, dan perundungan seksual terhadap anak-anak. Hal-hal yang bersifat kebohongan publik juga tidak diperkenankan misalnya melakukan kecurangan, tidak jujur, termasuk menyampaikan promosi/iklan palsu. Yang terakhir adalah masalah hak ciptacipta (copyright) dan Hak Atas Karya Intelektual (HAKI, atau Intelectual Property Right/IPR). Dalam jurnalisme cetak, jurnalisme penyiaran, maupun jurnalisme online, masalah-masalah tersebut cukup fundamental dan tidak boleh dilakukan. (Priyambodo, 2008)

Namun begitu ada pula persoalan-persoalan dalam jurnalisme online yang khas dan khusus terjadi hanya dalam jurnalisme online saja. Sebagaimana dikutip Priyambodo, Johnson mencatat kecenderungan kasus khusus yang terjadi dalam cyberjournalism. Kasus-kasus tersebut dalam catatan Johnson lebih berkisar pada persoalan kewilayahan dan sifat journalisme online yang mengglobal dan melintasi batas wilayah secara geografis maupun ideologi. Johnson mencatat kasus yang khusus muncul dalam cyberjournalism itu seperti, persoalan azas tuntutan hukum, karena cakupan penyebaran berita di Internet dan sistem kinerja cyberjournalism bersifat lintas batas kewilayah negara. Selain cakupan berita juga berkenaan dengan kinerja jurnalis yang juga memungkinkan lintas negara. Yang tak kalah krusial adalah persoalan ekonomi mengenai ketentuan pajak lintas negara, karena kecenderungan ekonomi global juga mempengaruhi kinerja cyberjournalism, terutama menyangkut proses transaksi jual beli hak cipta atas berita. (Priyambodo, 2008)

Bercermin dari catatan-catatan di atas, yang jelas belum diatur dalam undang-undang pers di Indonesia adalah ketentuan jurnalisme yang dilakukan lintas negara berikut implikasi yang mengikutinya. Persoalan kegiatan pers yang dilakukan lintas negara, dalam undang-undang pers yang diatur baru mengenai keberadaan pers asing dan pengembangan pemberitaan melalui kantor berita. Hal ini termaktub dalam pasal 14 dan pasal 16 Bab VI undang-undang pers. Dalam pasal 14 disebutkan

Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan keluar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita

 

Sedangkan pada pasal 16 disebutkan :

Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Yang diatur oleh pasal 14 dan 16 undang-undang pers ini lebih berkisar pada persoalan perusahaan atau institusi pers asing. Padahal dalam praktiknya, lembaga asing berbasis online di Indonesia lebih banyak bermain menggunakan jurnalis mereka yang dikirim ke Indonesia daripada mendirikan perusahaan pers di Indonesia. Lagipula dalam persoalan jurnalisme online, perusahaan pers tidak perlu mendirikan perusahaan secara fisik di wilayah teritorial Indonesia karena mereka menggunakan wilayah cyber yang kaplingnya tidak dibatasi secara teritorial. Sebagai gantinya mereka mengirimkan jurnalisnya untuk mendekati objek berita.

Persoalan wartawan ini juga menyisakan pertanyaan ketika kita bersinggungan dengan jurnalisme online. Pasalnya, dalam wilayah online tidak semua penyumbang tulisan terinstitusionalisasi secara resmi. Dalam wilayah online, ada yang disebut sebagai citizen journalism atau jurnalisme warga yang memberikan kemerdekaan berekspresi kepada warga masyarakat guna menyebarluaskan informasi. Pada konsep citizen journalism mereka yang menulis bukan selalu wartawan profesional dengan institusi pers yang terinstitusionalisasi, namun warga masyarakat secara umum. Lalu, dengan rutinitas menulis informasi yang mereka posting di website mereka dan menyatakan diri sebagai bagian dari citizen journalism, si penulis ini bisa disebut sebagai wartawan?

Dalam Pasal 1 ayat 4 undang-undang pers disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Selanjutnya dalam pasal 7 undang-undang pers disebutkan bahwa, (1) wartawan bebas memilih organisasi wartawan, (2) wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Dengan ketentuan tersebut, maka secara lebih lanjut siapapun yang melaksanakan profesinya sebagai wartawan berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana termaktub dalam pasal 8 undang-undang pers.

Mereka yang aktif menulis dalam bilik-bilik citizen journalism seperti yang terjadi dalam kompasiana, liputan6.com dan detik.com tentunya masih berada di wilayah abu-abu untuk disebut sebagai wartawan atau bukan. Pasalnya, aktivitas jurnalisme yang mereka lakukan bukanlah aktivitas jurnalis sebagaimana mereka yang menjabat reporter maupun redaktur resmi dalam sebuah media. Nah, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah dengan kebebasan berekspresi yang mereka lakukan, bagaimana perlindungan hukum yang berlaku untuk mereka. Jika mereka disebut sebagai wartawan, jelas akan kembali pada pasal 1 ayat 4, pasal 7 dan pasal 8 undang-undang pers. Namun, jika mereka tidak bisa dimasukkan dalam kategori wartawan, perlindungan kebebasan bicara yang mereka lakukan menjadi seperti apa?

Fakta bahwa aktivitas jurnalisme melalui media baru akan membuat makin banyaknya jurnalis yang muncul dalam wilayah ini sebenarnya sudah diprediksi oleh De Bens dan Ostbye yang melakukan penelitian terhadap Pasar Surat Kabar di Eropa. Pada kesimpulannya yang termuat dalam Media Policy :Convergence, Concentration, and Commerce, De Bens dan Ostbye menyebutkan bahwa

New technologies have diminished the number of print workers but increased the number of journalists. One could argue that the new technologies (and the search for advertising revenues) has increased the editorial output of most newspapers (more special columns, more inserts). New technologies have also improved layout, colour printing, and so on. The next step in the introduction of new technologiy is probably linked to new forms of distribution of information. (De Bens and Ostbye, 2002 : 20)

 

Sebenarnya jika dirujukkan kepada undang-undang lain, Indonesia memiliki undang-undang No. 11 tahun 2008 mengenai ITE (internet dan Transaksi Elektronik) yang secara khusus membahas persoalan-persoalan di wilayah online. Hanya saja, persoalan jurnalisme online dalam hal ini aktivitas yang dilakukan oleh aktivis jurnalisme warga tidak bisa serat merta dipayungi dengan undang-undang ini. Meskipun dalam konteksnya, kegiatan jurnalisme warga ini bisa dimasukkan dalam aktivitas mendistribusikan dan mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik. Akan tetapi, undang-undang ini dibuat bukan dalam rangka menggagas persoalan distribusi informasi sebagai bagian dari aktivitas jurnalisme.

Selain mengenai persoalan wartawan, yang patut diperhatikan dalam payung hukum jurnalisme online adalah persoalan speed dan interaktivitas yang melekat sebagai ciri khas jurnalisme online. Speed adalah persoalan penting yang membuat jurnalisme online hidup. Mereka yang bekerja di wilayah ini tidak perlu menunggu waktu untuk cetak ataupun waktu untuk siar guna menayangkan beritanya. Ketika berita itu terjadi, wartawan tinggal menulis atau merekam lalu mengunggahnya di situs beritanya, seketika masyarakat langsung bisa mengakses. Misalnya berita mengenai bom Cirebon kemarin. Pengeboman terjadi pada sekitar pukul 12.30, tidak perlu menunggu cetak dan jam siar, selisih beberapa menit kemudian melalui situs-situs berita online, kabar mengenai pengeboman ini langsung bisa kita akses. Speed memang menjadi andalan utama dalam jurnalisme online. Yang kemudian patut diperhatikan dari persoalan speed pada jurnalisme online ini adalah mengenai akurasi berita dan kelengkapan berita.

Berbeda dengan cetak dan penyiaran yang menunggu lengkapnya 5W dan 1H serta berbagai aspek nilai berita lainnya untuk bisa tayang, jurnalisme online memperbolehkan tayangnya berita singkat meskipun elemennya belum lengkap. Kelengkapan berita dalam wilayah online, terhubung dengan adanya hyperlink. Di satu sisi, dalam satu peristiwa berita yang bisa dimuat melalui peristiwa tersebut bisa banyak dan berangkaian. Pembaca pun bisa memilih berita mana yang mereka butuhkan dan berita mana yang tidak mereka butuhkan. Namun karena sifat pengumpulan fakta dan elemen pemberitaan yang mengandalkan hyperlink karena mengejar speed ini kelengkapan informasi dan akurasi pemberitaan menjadi hal yang terabaikan. Jika distribusi informasi untuk audiens ini hanya berkisar antara audiens dan media saja, maka tidak menjadi persoalan pelik. Masalahnya, dalam perkembangan jurnalisme online ini, wilayah percakapan (oral) sebagai bagian dari distribusi informasi di Indonesia masih belum bisa dilepaskan. Ketika berita muncul di internet, kabar yang muncul tidak selalu berhenti pada pembaca yang mengakses berita. Berita online bisa menyebar melalui share yang dilakukan oleh pembaca melalui media online, maupun menyebar melalui perbincangan yang dilakukan tanpa medium online.

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Merlyna Lim, melihat bagaimana internet mengambil peran untuk memobilisasi massa melalui distribusi informasi yang dilakukan oleh para cyberactivism melakukan penelitian terhadap distribusi informasi melalui internet dalam kurun waktu 4 tahun mulai dari tahun 1999-2003. Lim mencatat bahwa mereka yang aktif di dunia maya melanjutkan (forwarded) setiap informasi yang mereka dapatkan baik melalui websites, mailing list, maupun email personal yang diunduh, dicetak, digandakan, dan disecarkan ke publik. Aktivitas ini tak ubahnya sebagai aktivitas komunikasi secara oral yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. (Muliana, 2008:34)

Model Komunikasi Online dan Offline di Indonesia

 

Melalui diagram di atas Lim berargumen bahwa two step flow communication menjadi penentu keberhasilan distribusi informasi di Indonesia. Selama reformasi tahun 1998 interconnectedness antara pengguna online media ini memainkan peranan penting. Teori Lim tentang interconnectedness ini dikatakan bahwa satu pembaca mengkopi atau melanjutkannya kepada lebih banyak orang, sebagai efek snowball dan kemungkinan berita itu kemudian akan dibaca oleh orang yang jumlahnya menjadi lebih banyak lagi.

“This interconnectedness of all actors from all these layers created the necessary multiple effect for information dissemination to result in mase mobilization and political reform.” (Muliana, 2008 : 35-36)

 

Dari sini kita melihat bahwa tanggung jawab atas akurasi pemberitaan, meskipun speed menjadi tuntutan adalah mutlak diperlukan. Selain itu, hyperlink yang menjadi solusi atas kelengkapan pemberitaan hanyalah salah satu karakter jurnalisme online yang menonjol. Dalam undang-undang pers secara tegas disebutkan dalam pasal 4 ayat (3), “Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Pasal ini mendukung kegiatan jurnalistik dan penyebarluasan informasi. Namun yang perlu menjadi catatan, bagaimana jika informasi dalam aktivitas jurnalistik tersebut belum lengkap dan memungkinkan timbulnya hoax, sementara dengan prinsip speed informasi tersebut harus segera tayang?

Secara lebih lanjut dalam pasal 6 huruf (c) disebutkan peranan pers nasional sebagai, “Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.” Artinya, berita yang sifatnya masih kemungkinan dan membuka peluang terjadinya hoax tidak boleh ditayangkan sebagai berita. Meskipun dari running pemberitaan di waktu kemudian elemennya akan menjadi lengkap, namun untuk menghindari berita yang sifatnya hoax, seharusnya hal ini diatur. Paling tidak untuk menghindari distribusi informasi yang salah. Apalagi dalam beberapa pemberitaan, acapkali ditemukan berita dengan menggunakan narasumber yang nilai ketokohannya, sebagai salah satu elemen pemberitaan, tidak mempunyai kelayakan.

Media online berdalih, untuk menghindari hoax atau jika pembaca merasa tidak nyaman dengan pemberitaan yang ada dalam media, mereka bisa langsung berinteraksi dengan redaksi mengenai pemberitaan yang bersangkutan. Ini adalah satu lagi sifat jurnalisme online yang berbeda dengn jurnalisme cetak maupun penyiaran. Feedback dari audiens pada media online bersifat langsung dan seketika. Berbeda dengan media cetak maupun penyiaran dimana feedbacknya tertunda karena tidak bisa dilakukan secara langsung. Tanggapan audiens dalam jurnalisme online dapat dilakukan secara langsung melalui kolom-kolom online yang disediakan oleh redaksi baik dengan cara harus register maupun tanpa register.

Reaksi pembaca atas pemberitaan dalam jurnalisme online ini menjadi perubahan pula dalam wajah jurnalisme dari sisi penggunaan hak jawab dan hak koreksi. Dalam undang-undang pers dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak jawab adalah hak seseorang atau kelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pada media konvensional hak jawab dan hak koreksi ini dilakukan secara prosedural. Bahkan secara lebih lanjut mengenai hak jawab Dewan Pers mengelurarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 mengenai Pedoman Hak Jawab dalam persoalan pers.

Adanya forum dan tempat berkomentar yang ada dalam setiap pemberitaan jurnalisme online juga menjadi wajah baru hak jawab. Audiens , baik itu audiens secara umum maupun narasumber yang membaca pemberitaan mengenai dirinya dapat melakukan feedback langsung melalui ruang yang difungsikan untuk interaktivitas antara redaksi dengan audiens. Sayangnya, yang patut dicatat dari ruang ini adalah dalam wajah jurnalisme online hari ini acapkali feedback yang terjadi adalah perdebatan terbuka antara audiens yang satu dengan audiens yang lainnya dalam forum tersebut tanpa moderasi. Secara tidak langsung ini mengganggu kenyamanan publik karena mengganggu audiens yang lain.

 

Kesimpulan

Dari uraian di atas, paling tidak ada tiga persoalan penting dalam wilayah jurnalisme online yang masih patut diperhatikan terkait dengan pembahasannya di wilayah hukum. Pertama, mengenai wilayah jurnalisme online di daerah global village yang menghalalkan terjadinya aktivitas jurnalisme online lintas negara, sementara payung hukum kita belum cukup mengakomodasi hal tersebut. Kedua, mengenai kedudukan wartawan. Hadirnya wilayah online, bukan berarti wartawan kehilangan pekerjaannya, justru muncul wartawan-wartawan baru termasuk mereka yang aktid di wilayah citizen journalism. Sayangnya, kedudukan mereka sendiri dan aktivitas kebebasan berekspresi mereka belum terpayungi oleh hukum. Ketiga, mengenai persoalan speed dan akurasi dalam jurnalisme online. Di satu sisi memberikan alternatif informasi, namun di sisi lain memungkinkan terjadinya hoax, banjir informasi, dan tuntutan media literasi bagi audiens untuk memahami konteks peristiwa yang diberitakan. Keempat, persoalan interaktivtas antara redaksi dan audiens dalam dunia maya membuat hak jawab dan hak koreksi menjadi abu-abu.

Menilik perkembangan jurnalisme online di Indonesia hari ini, sebagai medium penyampai pesan dan ranah kebebasan berekspresi, tentunya perkembangan jurnalisme online selayaknya mempunyai aturan sendiri. Mengingat, sifat dari jurnalisme ini berbeda dengan jurnalisme konvensional yang muncul sebelumnya dengan konsekuensi kebebasan berekspresi yang berbeda dengan jurnalisme konvensional. Sampai hari ini aturan hukum yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatur jurnalisme online dikembalikan kepada Undang-undang Pers dan sebagian ke Undang-undang ITE.

Bisa dikatakan sampai hari ini regulasi media di Indonesia belum cukup proporsional memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya jurnalisme online. Proporsionalitas dari aturan ini tentunya dilihat berdasarkan kepentingan publik yang harus dibela dalam undang-undang dan bagaimana kebebasan pers jurnalisme online seharusnya dituangkan dalam peraturan hukum. Kebutuhan Indonesia akan aturan yang tegas dalam ranah online pun, tak bisa menunggu esok. Pasalnya, perkembangan ranah online sampai hari ini sudah tak terbendung. Jangan sampai perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dan memberikan sentuhan perubahan pada pers tidak selaras dengan aturan yang berlaku.

Sumber:

https://muftipages.wordpress.com/2011/06/13/menilik-aturan-jurnalisme-online-sebagai-jurnalisme-masa-depan-dalam-regulasi-media-di-indonesia/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button