JambiPolitikSungai Penuh

Ketika Nama AJB dan Sukandar Mencuat

Menakar Kesetiaan Primordial Pilgub Jambi 2020

AJB dan Sukandar
AJB dan Sukandar

Kerincitime.co.id, Berita Sungai Penuh – Dua nama potensial Calon Wakil Gubernur representasi etnis besar dan penentu di Provinsi Jambi. Walikota Sungai Penuh Asafri Jaya Bakri (AJB) dari etnis Kerinci dan Bupati Tebo Sukandar dari etnis Jawa.

Pengamat Politik Dr Jafar Ahmad menjelaskan, AJB dan Sukandar adalah dua tokoh yang memiliki basis suara besar. Menurutnya, pemilih Jawa di Jambi banyak. Sedangkan, kesetiaan primordial etnis Kerinci sangat tinggi.

Karena itu, baik Sukandar maupun AJB merupakan tokoh yang berpotensi besar membantu mendulang suara.

“Bagi calon Gubernur, mereka harus berfikir mencari sosok wakil yang bisa membantu jumlah suara. Sukandar dan AJB berpotensi untuk itu. Apalagi, keduanya kini merupakan Kepala Daerah aktif,”jelas Jafar Ahmad.

Data sensus penduduk tahun 2000 mencatat, penduduk Jambi berjumlah 2.405.378 jiwa. Etnis Melayu paling dominan dengan jumlah total 37,87 persen.

Etnis Jawa menempati posisi kedua dengan jumlah 27,64 persen Jawa. Lalu disusul etnis Kerinci dengan jumlah 10,56 persen.

Selanjutnya beberapa etnis yang jumlahnya tak terlalu signifikan, seperti Minangkabau 5,47 persen, Banjar 3,47 persen, Sunda 2,62 persen , Budism 2,59 persen dan kelompok kecil lainnya di kisaran 1 persen.

Jumlah ini bertambah menjadi lebih dari 3 juta jiwa pada tahun 2014. Saat ini data etnisitas tidak boleh lagi dimasukkan ke dalam salah satu variabel demografi dalam laporan Badan Pusat Statistik. Sehingga data tahun 2000 ini bisa sebagai dasar untuk melihat komposisi penduduk Jambi berdasarkan jumlah etnis.

Riset Idea Institute Indonesia yang dilakukan pada 18-23 Februari 2019 lalu menunjukkan, ada tiga etnis terbesar di Provinsi Jambi.

Mereka adalah suku Melayu (51,46 %). Kemudian urutan kedua suku Jawa (26,11 %) dan suku Kerinci menempati posisi ketiga (9,59%).

Selanjutnya suku Minang (5,09%), Bugis (3,17%), dan Banjar (2 %). Sementara suku-suku lain berkisar dibawah 1 % yaitu Batak (0,75%), Palembang (0,58%), Sunda (0,5%), dan Tionghoa (0,25%).

Sedangkan suku lain dengan jumlah hanya 0,08 % yaitu Aceh, Betawi, Flores, Lampung, Madura, dan Pasemah.

Baca juga:  Tercium Praktik Permainan Penjulan LPG 3 Kg di Bumi Sakti Alam Kerinci

Dari data riset Idea Instute dan Sensus BPS itu menunjukkan bahwa etnis Jawa dan Kerinci berpotensi menyumbang suara besar di Pilgub.

Dr Jafar mengatakan, persoalan utama dalam politik adalah bagaimana cara memperbesar dukungan. Sentimen etnis, kata dia, merupakan alat ampuh memobilisasi dan menarik dukungan dari kelompok primordial itu.

Maksud dia, untuk memperbesar dukungan dan mengambil simpati masyarakat, mobilisasi relasi primordial adalah salah satu alat ampuh.

“Relasi primordial sebagai salah satu sarana paling efektif untuk menarik dukungan. AJB dan Sukandar punya modal itu,”ujarnya.

Menurut Jafar, AJB dan Sukandar adalah representasi basis primordial etnik. AJB mewakili etnis Kerinci sementara Sukandar Etnis Jawa.

Dua kelompok etnis itu punya kekuatan besar. Apalagi Kerinci yang memiliki kesetiaan etnik sangat tinggi. Solidaritas etnik Kerinci bisa menghasilkan fanatisme politik kepada AJB. Dengan syarat, jika AJB satu-satunya tokoh Kerinci yang turun gelanggang Pilgub.

Sebaliknya, solidaritas etnik Jawa bisa menghasilkan fanatisme politik kepada Sukandar.

Sampai saat ini, Sukandar masih dianggap patron dikalangan etnis Jawa.

“Solidaritas kelompok etnik tidak hanya memperkuat integrasi kelompoknya. Tapi juga bisa menjadi senjata untuk menyerang kelompok lawan,”ujarnya.

Sepanjang sejarah Pikada di Provinsi Jambi, tarik-menarik dukungan kelompok etnik itu dipakai untuk mendulang suara.

Pada Pilgub 2005 silam misalnya, kelompok etnik Kerinci sudah mulai diperhitungkan. Etnik Kerinci dimobilisasi untuk menarik dukungan di Pilgub.

Saat itu, Zulkifli Nurdin muncul sebagai calon kuat gubernur Jambi. Meski kuat, Zulkifli tetap memperhitungkan kandidat wakilnya. Tujuannya untuk turut membantu mendulang suara.

Beberapa tokoh yang digadang menjadi calon wakil gubernur adalah tokoh-tokoh lokal yang cukup kuat. Di antaranya adalah Hasan Basri Agus (saat itu masih berstatus sebagai Sekretaris Daerah Kota Jambi).

Calon berikutnya adalah Prof. Dr. Asafri Jaya Bakri (AJB), Rektor IAIN STS Jambi 1998-2006.

Nama AJB mulai muncul dan diperhitungkan ZN mewakili kelompok etnik Kerinci.

“Meskipun, ZN kala itu akhirnya berpasangan dengan AZA, melalui mekanisme di Golkar. Paling tidak, kelompok etnik Kerinci saat itu sudah mulai diperhitungkan,”ujarnya.

Baca juga:  WIM Berbagi Paket Takjil di Jembatan Kerinduan

Begitupula pada Pilgub Jambi tahun 2010. Kelompok etnik Kerinci sempat ditarik-tarik dalam pusaran politik. Mereka digerakkan dalam konteks untuk mendulang suara.

Saat itu, Etnis Kerinci diwakili oleh Ami Taher. Yang maju Pilgub berpasangan dengan Zulfikar Ahmad, Bupati Bungo.

Meski kalah, setidaknya Zulfikar Ahmad berhasil menggalang suara dan kekuatan dari kelompok Kerinci. Suara Etnik Kerinci dalam Pilgub tersebut mengkristal ke pasangan Zulfikar-Ami Taher.

Terbukti mereka menang telak di Kota Sungai Penuh dan Kerinci. Pasangan Zulfikar-Ami Taher berhasil mendulang 19.938 suara.

Mobilisasi etnis Jawa pernah dilakukan oleh Saprial. Dia saat itu berlaga menjadi calon Gubernur berpasangan dengan Agus Setyonegoro, dari etnis Jawa.

Kendati kalah, pasangan ini cukup berhasil memperoleh dukungan 32.188 suara.

Sementara pasangan HBA-Fachrori mewakili kelompok melayu wilayah Sarolangun dan Bungo, berhasil unggul meyakinkan dengan perolehan 123.797 suara.

Kasus serupa kembali terjadi pada Pilgub 2015 lalu. Mobilisasi etnik Jawa dilakukan oleh kelompok HBA. Dimana HBA memilih menggandeng Edi Purwanto, Ketua DPD PDIP sekaligus tokoh asal Jawa.

Hanya saja, pasangan HBA-Edi gagal meraih kemenangan. Mobilisasi kelompok Jawa dinilai tidak dilakukan maksimal oleh tim HBA.

Kajian tentang pembelahan politik seperti santri versus agama lain. Jawa versus luar jawa. Pusat versus Daerah. Pendatang vs Pribumi. Penduduk asli vs keturunan Tionghoa. Priayi dan bangsawan vs orang biasa. Sudah banyak yang menyinggungnya.

Misalnya karya ilmiah yang ditulis oleh Burhan D Magenda “Etnicities and nations Processes Of Interethnic Relation In Latin America, Southest Asia, And The Pasific”.

Maswadi Rauf, dalam bukunya “Konsensus Politik” menjelaskan, ada dua kategori kelompok primordial didasarkan atas persamaan nilai budaya. Yaitu ras/suku dan agama.

Menurutnya, persamaan ras dan suku akan menghasilkan persamaan-persamaan kultural lainnya. Seperti persamaan bahasa, adat istiadat dan kedaerahan. Orang-orang yang berasal dari suku tertentu, akan mempunyai bahasa dan adat istiadat yang sama.

Baca juga:  WIM Berbagi Paket Takjil di Jembatan Kerinduan

Dalam hal suku atau ras, jelas Maswadi Rauf, seseorang tentu saja tidak bisa berpindah ras atau suku. Karena statusnya sebagai anggota kelompok ras atau suku tertentu tetap melekat pada dirinya sejak lahir.

Meskipun ia tidak mau mengakuinya.

Kedua ikatan primordial itu membentuk sentimen dan loyalitas primordial. Yang akan menghasilkan solidaritas sangat kuat antara sesama anggota kelompok.

Solidaritas dalam kelompok primordial atas dasar ras/suku itu bisa timbul oleh adanya persamaan nilai-nilai budaya tadi. Yang membuat mereka memiliki cara hidup, pola pikir dan kepentingan yang sama.

Semua persamaan itu membuat mereka bersedia membela kelompok mereka. Dengan pengorbanan apapun. Bahkan bersedia mengorbankan nyawanya.

Maswadi Rauf mempertegas, bahwa dukungan terhadap isu-isu primordial adalah alamiah. Karena solidaritas dan ikatan primordial itu sendiri bersifat alamiah. Politik yang diwarnai isu primordial akan menghasilkan dukungan fanatis dari kelompok primordial bersangkutan.

Lebih lanjut, Rauf mengatakan ikatan primordial merupakan alat yang ampuh untuk menarik dukungan dari anggota kelompok primordial itu.

Meskipun, pasca reformasi memungkinkan semua orang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas bisa dipilih. Mereka berkesempatan ditunjuk menjadi pemimpin.

Namun bagi warga Etnik Melayu Jambi, faktor primordialisme agama (Islam) menjadi penting untuk dipertimbangkan. Dan menjadi alasan dan landasan dalam menjatuhkan pilihan politik.

“Sehingga, sampai sejauh ini, belum ada satupun calon kepala daerah, baik di provinsi maupun di Kabupaten/Kota yang beragama non Islam,” imbuh Dr Jafar.

Tak salah, AJB dan Sukandar dianggap dua tokoh potensial pendulang suara. Keduanya mampu melakukan mobilisasi politik terhadap kelompok etniknya. Yaitu Jawa dan Kerinci. Kedua tokoh ini memiliki syarat-syarat tersebut.

Sampai sejauh ini, baik Sukandar ataupun AJB belum menunjukkan sikap terkait Pilgub. Hanya AJB yang belakangan ini mulai terlihat mesra dengan Walikota Jambu Sy Fasha.

Tapi keduanya tak pernah menyatakan bakal berpasangan di Pilgub. Sedangkan Sukandar sempat di gadang-gadang maju berpasangan dengan Kapolda Jambi Irjen Muchlis.(*)

sumber : Jambilink.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button