Koalisi di DPR Sebuah Pengingkaran Demokarsi Pancasila
KOALISI DI DPR SEBUAH PENGINGKARAN DEMOKARSI PANCASILA
(Hindari koalisi dalam pemerintahan, seyogyannya koalisi rakyat harus diperkuat)
Oleh Syamsul Bahri, SE
Dengan berakhir dan telah ditetakan hasil Pemilihan Presiden melalui jalur Mahkamah Konstitusi serta penetapan oleh KPU untuk pemenang Pilpres tahun 2019, yaitu pada pasangan 01 yaitu pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin, dari hasil proses yang panjang pelaksanaan Pemilu tahun 2019.
Kondisi pasca Penetapan KPU tersebut sebagai tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi tidak membuat suasana Perpolitikan di Indonesia meredup, namun terjadi sesungguh persaingan perebutan secara internal pendukung yang dinamakan partai pengusung atau koalisi Kerja Indonesia (KIK)merupakan koalisi pemenang atau koalisi pemerintahan di DPR atau di Kabinet periode 2019-2024, baik rebutan jabatan di Legeslatif, maupun Jabatan di Kabinet/Kursi Menteri.
Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang tertuang dalam UUD 1945, dengan system Pemerintahan Presidential adalahsystem yang memilih kekuasaan eksekutif lewat pemilihan umum, sistem ini rakyatlah yang memilih siapa presidennya. nantinya presiden akan menjalankan perannya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dengan pola kabinet bernama Zaken Kabinet yaitu suatu kabinet yang jajarannya diisi oleh para tokoh ahli di dalam bidangnya dan bukan merupakan representatif dari partai politik tertentu.
Yang berati bukan pemerintahan Koalisi atau Parlementer, kekuasaan pemerintahan dan kepala Negara dengan nama kelembagaan adalah Presiden, dengan kekuasaan tertinggi sebagai pemlikik saham NKRI adalah kedaulatan Rakyat, yang diberikan sebagian kekuasaan, kewenangan dan kekuasaan rakyat melalui proses Pemilu MPR/DPR dan DPD.
Sesungguhnya Demokrasi pancasila yang kita anut dipandang sebagai kerangkaberpikir dalam melakukan pengaturan urusanumum atas dasar prinsip dari rayat, oleh rakyat untuk rakyat diterima baik sebagai ide, norma,systemsosial,maupunsebagaiwawasan,sikap,perilakuindividualyang secarakontektual diwujudkan,dipelihara dandikembang-kan.
Jika kita cermati kondisi saat ini, sedang kemunculan dan keinginan koalisi pemerintahan di DPR dan Kabinet yang sedang ramai dibicarakan bahkan viral, bukan hanya Partai Politik pendukung melainkan Organisasi masyarakat, bahkan berusaha untuk menarik para partai opasan Pemiluh Presiden, sesungguhnya upaya tersebut sebuah pengingkaran dari Demokarsi Pancasila yang kita anut.
Koalisi tersebuttidak dianut dalam system pemerintahan kita, namun faktanya muncul yang namanya koalisi Pemerintahan dan koalisi diluar Pemerintahan/Oposisi, sesungguhnya koalisi tersebut mengingkari demokrasi yang kita anut, bahkan koalisi tersebut menurut pengamatan penulis telah membuat kaburnya system demokrasi yang berbasiskan “Jujur dan adil”, terutama dalam proses Pemilutahun 2019.
Beberapa hal yang perlu kita cermati bahwa koalisi tersebut sangat mengingkari dan merugikan demokarsi pancasila, antara lain proses penyusunan Rencana Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Pasal 222 tersebut merupakan sebuah tragedy demokrasi yang mengakomodir koalisi dalam Parlemen yaitu Koalisi Pemerintah DPR, hal ini sudah banyak dibahas oleh para pakar dan Ilmuwan, yang sepakat bahwa parlement threshold 20% itu menginkari demokrasi pancasila, hal ini lebih diperkuat bahwa system koalisi tersebut lebih mengedapankan demokrasi pembenaran dan mengabaikan demokrasi kebenaran, karena Parlement threshold tersebut sudah digunakan untuk Pilpres tahun 2014, yang berhasil membawa Pasangan Jokowi dan Jusuf Kala ke Istana untuk memerintah sampai tahun 2019, melalui siding Paripurna DPR.
Demokrasi pembenaran itu berlanjut melalui koalisi pemerintah bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pada pasal 6, yang mengatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya, namun ketentuan tersebut dimentahkan melalui skenerio demokrasi Pembenaran melalui koalisi Pemerintahdi DPR ketentuan itu sudah tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana, tertuang dalam dalam pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengamanatkan bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 pasal 6 tersebut itu sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017, yang dipertegas pada pasal 300 dan 301 Tentang Pemilu, bahwa presiden dan wakil presiden tidak perlu melepas masa jabatan namun tetap menjalankan tugas negara.
Jika kita cermati sesungguhnya bahwa DPR dengan (1) fungsi legeslasi yaitu memegang kekuasaan dalam membentuk undang-undang, (2) fungsi anggaran yaitu membahas dan memberikan sebuah persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap sebuah rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh presiden dan (3) fungsi pengawasan yaitu melaksanakan sebuah pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN
Mencermati fungsi DPR sebagai lembaga tertinggi negara terutama dengan 3 fungsi tersebut diatas, semua anggota DPR yang terpilih melalui proses pemilu legeslatif tidak mungkin “berkoalisi” dengan Pemerintah dalam menjalankan fungsinya, melainkan semua anggota DPR menjalankan amanah yang diberikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk memantau, mengevaluasi, mengkritik, mengawasi pelaksaan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Presiden baik sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan maupun sebagai Kepala Negara, bahkan melakukan proses pemakzulan jika terpenuhi persyaratan sesuai UU, pertanyaan kenapa ada Koalisi Pemerintah di DPR ?????
Begitu juga sebaliknya terhadap kekuasan pemerintahan maupun sebagai kepala Negara, dengan system presidential, bahwa presiden diberi tugas dan tanggung jawabuntuk mewujudkan visi negara sebagaimana telah tertuang dalam preambule UUD 1945, mewujudakan kesejahteraan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia, yang harus didukung oleh system Zaken Kabinet, sehingga kewenangan Presiden yang memiliki hak prerogatif untuk menetapkan Kabinet dan menteri serta perangkat lain baik sesuai hak prerogatif atau bersama dengan DPR berdasarkan keahlian atau profesionalisme.
Terlihat bahwa dengan kewenangan hak prerogatif dan kewenangan bersama DPR, itu tidak memungkinkan terjadi koalisi Presiden dengan partai politik baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negarayang memberi kesan bahwa koalisi partai politik membagi-bagi rezki atau kursi kekuasaan.
Dari uraian diatas, bahwa system demokrasi Pancasila tidak boleh/tidak mengenal koalisi baik pemerintahan maupun oposisi, karena wilayah Politik ada di kelembagaan DPR yang sesungguhnya diberi kekuasaan oleh Rakyat untuk memantau, mengevaluasi, mencermati, mengawasi pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah dalam mewjudkan visi negera.
Sesungguhnya anggota DPR baik secara personal maupun secara kepartian, bahkan melakukan proses pemazulan terhadap Presiden sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seyogyannya anggota DPR dan Parpol yang duduk di DPR berkoalisi dengan Rakyat dan rakyat harusnya memiliki hak untuk menarik kewenangan yang diberikan, jika tidak dilaksanakan dengan baik oleh anggota DPR terpilih
Begitu juga pihak Pemerintahan pemenang pilpres, untuk menetapkan Menteri berdasarkan Zaken Kabinet atau kabinet keahlian/profesionalsme, sehinga wilayah ini bukan wilayah Politik praktis, sehingga tidak memberi kesan politik membagi kursi kekuasaan, sehingga presiden tidak dibebankan lagi terkait dengan koalisi di pemerintahan, namun betul-betul kabinet berdasarkan zaken Kabinet, keahlian dan profesionalisme dan jika ada Menteri yang kebetulan berasal dari Partai, tapi profesional dan ahli, seyogyannya bukan merupakan perwakilan partai, dan harus bebas dari kepentingan partai dan murni berdasarkan keahliannya, untuk menghindari bagi-bagi kursi dan bagi-bagi rezeki.
Dari banyak data dan informasi bahwa koalisi pemerintah baik di DPR maupun di Kabinet cenderung mengaburkan demokrasi Pancasila berbasis Jujur dan adil, sudah terungkap antara lain dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, antara lain Parlemen Treshold dan tidak cutinya sang petahana, serta kegiatan pengelolaan pemerintahan, dimana peran DPR sebagai lembaga tinggi yang berfungsi legeslasi, Budget dan pengawasan cenderung mengabaikan kepentingan rakyat yang memberikan mandat baik kepada Presiden, maupun DPR untuk mewujudkan tujuan dan visi negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Sehingga untuk memaksimalkan peran dan fungsi pemerintah mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh Indonesia, serta tujuan pendirian negera lainnya terwujud dengan tepat guna dan berhasil guna, untuk kedepan disamping menyempurnakan UU Demokrasi kita dan UU lainnya, hendak koalisi Pemerintah maupun opisisi baik di DPR maupun di Pemerintahan ditiadakan, dengan harapan fungsi dan peran serta tugas pemerintah bisa lebih optimal dan bersinergi serta berkehati-hatian dalam melakukan pembangunan, dan DPR lebih maksimal untuk melakukan fungsi dan dan perannya, sehingga kesan main mata, dan bagi-bagi rezki dan kursi tidak ada lagi, dan sekaligus harapan Indonesia akan lebih maju dan lebih bermartabat serta berdaulat secara ekonomi, hukum, demokrasi, Politik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.