Manajemen SDM Buruk Pelayanan Publik Carut Marut
Atsir Raliandil,S.H. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jamb
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan kunci utama menyukseskan terselenggaranya pelayanan publik. SDM yang rendah secara langsung berdampak buruk terhadap kualitas pelayanan publik. Bila pelayanan publik diselenggarakan seenaknya, tentu susah untuk menciptakan yang namanya good governance.
Peliknya masalah pelayanan publik, sejatinya berkaitan erat dengan perencanaan formasi jabatan yang bertugas sebagai pelayan publik. Hingga kini, publik menilai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah masih kurang, bahkan ada yang beropini tak memuaskan.
Kebijakan pelayanan publik juga selalu saja dinilai terlalu prematur diterapkan. Yang timbul? Ya, ketidakpuasan, ketidaknyamanan, bahkan mosi tak percaya lagi dengan segala bentuk pelayanan publik.
Carut dan marutnya pelayanan publik juga bersinggungan dengan masalah tak jelasnya pemerintah dalam merencanakan formasi jabatan publik. Di beberapa daerah terdapat banyak sekali jabatan kosong.
Hanya diisi oleh staf yang bertindak sebagai pelaksana tugas. Di Beberapa daerah juga, dengan kasat mata memperlihatkan bahwa formasi jabatan pelayanan publik masih menumpuk di Pulau Jawa dan Indonesia bagian barat.
Sementara itu, di Indonesia bagian timur, terdapat staf yang mengerjakan tugas sebagai kepala seksi dan lintas seksi. Dari sini saja nampak bahwa formasi perencanaan SDM pemerintah masih kurang tepat.
Belajar soal manajemen SDM, dalam buku Malayu Hasibuan disebutkan bahwa syarat perlu untuk mencapai optimalisasi manajemen SDM adalah implementasi konsep Right Man on The Right Place, orang yang tepat pada tempatnya.
Sekarang di Indonesia ini banyak kita temui beragam profesi yang dieksekusi oleh orang yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Lulusannya apa, kerjaannya apa. Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) nya apa, realitanya sebagai apa. Lucu dan aneh. Otomatis dong, soal kinerja, banyak petugas pelayanan publik yang asal-asalan dalam melayani masyarakat.
Lembaga negara yang memposisikan diri sebagai pengatur formasi pegawai dalam hal ini harusnya jeli dalam menempatkan pegawai dalam setiap institusi pelayanan publik. Bagaimana menilai kinerja pegawai kalau memang ia lebih ahli dalam bidang lain, selain bidang yang ia tangani.
Soal kualitas SDM, seharusnya terdapat akselerasi yang selaras dengan perguliran dan pergantian angkatan atau kohort pegawai. Hingga kini masih ada saja pegawai yang tidak fleksibel mengikuti perubahan aturan kepegawaian.
Kebanyakan mereka masih menggunakan paradigma lama dalam melaksanakan tugas. Kinerjanya asal-asalan sehingga hasilnya bukan ikut membangun kualitas pelayanan publik malah justru merusaknya.
Contoh kecil saja, perangkat desa seperti Pak RT, Pak RW Pak Camat, di beberapa daerah masih banyak ditemui ada Kades yang tidak mampu mengoperasikan komputer, adapula petugas pembuat KK yang tidak mampu mengoperasikan aplikasi. Lah? Ini kan lucu sekali.
Bagaimana mungkin masyarakat secara mulus mengurus soal administrasi kependudukan dan kawan-kawannya bila petugasnya saja tak paham teknologi. Adapula di sebuah desa terdapat Kades yang tidak bisa tanda tangan.
Inikan memalukan. Demokrasi dalam pemilihan pejabat di level gurem saja, yang terpilih adalah mereka yang SDM-nya jongkok dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Ini kecil, sepele, tapi mbok ya pemerintah dan jajarannya juga melakukan perbaikan SDM itu dari bawah dulu.
Melalui apa? Ya sistem rekruitmennya lah…kalau sistem rekruitmen dan sistem pemilihan pejabat publiknya bobrok, ya…jelas SDM di jajaran perangkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi hingga nasional juga akan bobrok.
Masih berkaitan dengan manajemen SDM, masalah selanjutnya adalah tentang akselerasi mutasi pegawai pelayanan publik.
Memang sih, belum ada studi empiris mengenai pengaruh akselerasi mutasi pegawai terhadap kualitas kinerja pelayanan publik. Namun, nyatanya masyarakat bisa menilai tentang hubungan kausalitas dua variabel tersebut.
Setiap institusi pelayanan publik memang independen sesuai dengan kepentingannya masing-masing, pun mereka juga mempunyai hak otonom dalam melakukan kebijakan mutasi pegawai. Tapi coba kita amati dan kita pikir sejenak dengan sebuah pemisalan berikut.
Seorang sekretaris desa selama masa pengabdiannya di Desa A dinilai bagus. Ia memberikan pelayanan prima terhadap publik. Soal pengurusan KK dan E-KTP juga cepat dan efisien sehingga memuaskan publik.
Tetapi, suatu ketika ia dimutasi karena prestasinya itu, ia menempati jabatan baru yang tentunya lebih layak dari sebelumnya. Ia ditempatkan di desa lain. Karena posisi jabatannya kosong, kepala desa kemudian menggantikan posisi sekdes pada orang lain yang menangani bidang lain. Karena begitu cepat sekdes pertama mutasi sehingga tidak ada transfer ilmu atau proses pengkaderan matang di bidang pelayanan KK dan E-KTP. Akhirnya timbul berbagai masalah pelayanan publik dan membuat kualitas kinerja pemerintah desa menjadi turun.
Di sinilah letak permasalahan kepegawaian di Indonesia saat ini. Selain tak semua menerapkan Right man on the right place, juga akselerasi mutasi tidak terkontrol dengan baik karena bersifat otonom di setiap institusi pelayanan publik. Proses transformasi pegawai dan pejabat publik inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah.
Tak melulu soal kuantitas, tetapi juga harus diimbangi dengan kualitas SDM pelayanan publik. Sebab, pelayanan publik yang baik inilah masyarakat menggunakan peran dan fungsi pemerintahan.