MENYEBAR SEDEKAH MENCARI SIMPATI (Strategi membeli suara) By Syamsul Bahri, SE.
Pemilihan Kepala Daerah langsung atau PILKADA Prop Jambi melalui rezim UU No. 1 tahun 2015, merupakan pilkada serentak pertama yang akan diwujudkan dalam pemilihan Kepala Daerah langsung pada bulan Desember tahun 2015 (mudah-mudahan), dan di Propinsi Jambi dilaksanakan serentak bersamaan dengan Pilgub dan Pilbup/Pilwako yaitu Bungo, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batanghari dan Sungaipenuh.
Momentum Pilkada ini sangat penting bukan saja menjadi ajang pemilihan pemimpin, namun yang lebih penting bagaimana pemimpin yang akan muncul dan pemimpin yang terpilih memahami kondisi yang tengah dan sedang terjadi baik ekonomi, maupun non ekonomi yang sedang menjadi trendy di Indonesia saat ini terutama untuk Propinsi Jambi, salah satu persoalan mendasar adalah persoalan lingkungan yang terkesan sangat memprihatinkan dan menjadi agenda rutin tahunan di Propinsi Jambi, terutama terkait dengan bencana bajir dan kebakaran hutan, yang merugikan secara ekonomi bahkan nyawa, dan merugikan aspek politik secara Internasional, termasuk keterkaitan utama ekonomi secara langsung yaitu era pasar bebas asean yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Asean Tahun 2015, yang mungkin akan menjadi peluang atau ancaman.
Momentum Pilkada saat ini, terutama Pilkada tahun 2015 membawa berkah bagi masyarakat pemilih baik untuk Pemilihan Gubernur, Bupati maupun untuk walikota terutama disaat mulai tahapan sosialisasi dalam rangka memasarkan dan memperkenal sang paspasbalon/paslon/paslon, berkah yang diterima terutama di awal tahun 2015, masyarakat disuguhkan kalender tahun 2015, mukena, sajadah, dan baju koko dan bentuk lainnya secara gratis sebagai memperkenal paspasbalon/paslon/paslon kepada Pemilih, kemudian dilanjutkan dengan proses menarik simpati baik kelompok masyarakat secara genetik emosional, organisasi maupun pribadi melalui pertemuan dan silaturrahmi dengan berbagai bentuk daya tarik yang ditawarkan baik dalam bentuk benda dan non benda beserta janji janji politik.
Masyarakat pemilih dengan berbagai latarbelakang pendidikan dan ekonomi yang cenderung masih menghitungkan keuntungan ekonomi sesaat waktu dilaksanakan pertemuan merupakan bentuk motivasi kehadiran dalam setiap ajakan dan undangan pertemuan dalam rangka sosialisasi, rasanya tidak berkelebihan berpikir untuk mendapakan manfaat ekonomi sesaat, dan terkesan itu diamini oleh para Pasbalon/paslon (mudah-mudahan tidak seperti itu), termasuk bentuk sedekah sosial yang berlabelkan amal sholeh untuk membantu suatu organisasi ataupun pembangunan fisik disuatu tempat, yang sudah berangsung setaip ada pesta demokrasi.
Pemanfaatan nilai ekonomi sesaat yang terjadi termasuk bantuan sosial dalam bentuk bantuan kepada organisasi yang bertujuan untuk penguatan organisasi dan bantuan pembangunan fisik bangunan untuk suatu wilayah, menjadi sebuah berkah bagi masyarakat dalam rangka memperbesar nilai ekonomi sesaat dari sebuah pesta demokrasi yang dilakukan, dan kecenderungan pasbalon/paslon dilakukan dengan kondisi yang sama, namun mungkin berbeda dalam jumlah.
Dibalik manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat saat sosialisasi bahkan sampai kampanye dan hari H, oleh paspasbalon/paslon tertitip sebuah “ajakan” untuk ikut membantu paspasbalon/paslon dalam pencoblosan pada hari H natinya, dan bantuan serta sedekah sebagai sesuatu yang wajar dan masyarakat bahwa rezeki yang diterima dianggap sesuatu tepat untuk memberi di kala banyak yang menderita, dan diharapkan bantuan dan sedekah yang diberikan mudah-mudahan semua ikhlas biar jadi pahala.
Proses ini akan berlanjut sampai saat kampanye dan menjelang hari H, dan jika tujuan semata mendapat pahala dan balasan-Nya, mudah-mudahan Tuhan memberkahi. Tapi jika sebaliknya kalau niatnya cuma untuk membeli suara dalam Pilkada nanti, pasti diantara pasbalon/paslon/calon yang akan kecewa. Namun itu memang sudah menjadi gaya politik setiap menjelang pemilihan, atau juga semacam cara dan strategi utama untuk meraih suara.
Pemberian bantuan dengan barlabel sedekah, ada suatu pemahaman yang muncul terjadap kondisi yang terjadi saat ini, terutama setiap momentum Pemilu dan Pilkada adalah “sudah sedemikian materialistiskah kita ?”, sehingga suara dan pilihan politik kita bisa dibeli tunai: cash and carry. Apakah materialisme sudah menjadi mentalitas rakyat yang demikian kuat, sehingga altruisme tak dikenal lagi dalam pengambilan keputusan dan sikap politik?
Sesungguhnya Persoalan politik tak bisa lepas dari masalah ekonomi, masalah ekonomi tidak lepas dari fakta sosial di masyarakat, dan dinamika sosial sangat dipengaruhi oleh dinamika demokrasi politik. Jika kita perhatikan banyak survey yang dilakukan saat pilkada atau pemilu sering mereduksi masalah kompleksitas latar belakang orientasi pemilih itu menjadi pilihan-pilihan yang parsial.
Kondisi tersebut diatas menjadi referensi dan dipilih para politisi sebagai strategi meraih dukungan dalam pemilu atau Pilkada, disebabkan banyak survey merekomendasikan startegi seperti ini dan oleh konsultan politik kecenderungan untuk melakukan hal yang sama, karena hanya satu prinsip yaitu “mendapatkan kekuasaan”.
Kecenderungan materialisme dan kedekatan emosional dalam pendekatan demokrasi yang bernama Pemilu dan Pilkada yang menonjolkan Kekuasaan dan harta yang menjadi nilai dominan dalam masyarakat, akan menyebabkan sering menjadi sumber persoalan, yang menganggap semua bisa diraih dan ditentukan dengan uang.
Uang menjadi modal utama, dan yang lain hanyalah faktor pendukung dan penggembira, yang menyebabkan timbulnya eksternalitas dari sebuah proses demokrasi pada ekonomi secara keseluruhan, seperti eksploitasi buruh yag berfungsi sebagai pemenuhan kerakusan pemilik modal, kerusakan alam dan lingkungan akibat eksplorasi dan pengusaan SDA secara berlebihan, kemerosotan ekonomi, kemiskinan, dll karena uang pada posisi utama (ordinat), dan yang lain sebagai pendukung atau subordinat.
Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah pemimpin yang memahami aspirasi rakyat, bukan bos. Pemimpin yang layak untuk dipilih, layak mendapatkan penghormatan dan senyum tulus dari rakyatnya. Pemimpin yang menghormati rakyatnya, bukan menghargai dengan recehan. Pemimpin yang layak mendapat kepercayaan, respek, dan kepatuhan yang tulus dari kami. Pemimpin yang mengajak, bukan memaksa.
Dan yakinlah bahwa masyarakat atau pemilih akan menginvestasikan kepercayaan kepada calon pemimpin yang layak dengan berbagai parameter secara objektife, kalau saat ini pemilih masih menimbang, dan pada saatnya harus menentukan pilihan, maka kami akan memilih yang terbaik menurut kami.