opini

RAPUHNYA KEDAULATAN DAN KETAHANAN PANGAN By Syamsul Bahri (Conservationist di Jambi)

Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (Koes Plus) semua bisa tumbuh, Negara yang terkenal kaya akan SDA, kaya akan Sumber Daya Manusia, negara Maritim, negara Agraris, negara Demokrasi, Negara Hukum, Negara Demokrasi, berbagai gelar negara yang layak disandang oleh NKRI, yang memberikan indikator sebuah nilai yang sangat baik dan negeri yang mumpuni.

Ternyata gelar-gelar yang tersebut diatas, belum bisa menjadi negara kita menjadi negara yang berdaulat dan negara belum memiliki kedaulatan pangan dengan ketahanan pangan yang rapuh, dampak dari semua itu munculnya peningkatan masyarakat miskin menjadi bonus dari ketidak daulatan pangan dalam negeri sendiri, disamping disebabkan oleh faktor lainnya, seperti multiflier efek dari pengambil alihan subsidi serta kenaikan BBM yang cenderung berubah dan berubah, yang membawa dampak multidimensi antara lain ekonomi, politik, keamanan, pertanahan, kehutanan, perkebunan, lingkungan dll.

Bahkan pada pasca lebaran Juli 2015, rentan dan lemahnya ketahan pangan Indonesia, terlihat semakin meroketnya harga daging dan berbagai bahan pangan pokok di pasar Indonesia, yang disebabkan kekukrangan siapan Pemerintah dalam menyikapi kondisi alam dan kondisi ekonomi yang terjadi di Indonesia, seperti bahaya kekeringan El-nino yang telah diramalkan oleh berbagai pihak akan terjadi, gejolak menurunya nilai mata uang rupiah di pasar dunia, akibat dari penguruh kurang kuatnya pondamental ekonomi Indonesia secara internal, dan penguruh ekonomi dunia yang cenderung pertumbuhannya melambat.

Disamping itu adanya permainan pasar dan tataniaga (mafia) kebutuhan pangan yang dimainkan dengan mekanisme import dengan nilai dolar yang semakin kuat, serta melumpuhkan pasar dan produksi pangan lokal.

Data tersebut diatas memperkuat pondamental ekonomi dan pondamental ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia sangat lemah, dan itu sudah difahami oleh Pemerintah saat ini, namun dalam mengatasi kondisi tersebut hanya melalui mekanisme “import” yang membuat kondisi lokal semakin rapuh.

Persoalan kedaulatan atau ketahanan pangan merupakan persoalan yang substansial dan sangat penting dan mendasar untuk kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara,  bukan hanya pada saat sekarang, tetapi pada masa-masa mendatang. Dan kondisi ini sudah banyak diinggat oleh Pemimpin Dunia seperti Bung Karno ketika meletakkan batu pertama pembangunan kampus IPB pada tahun 1952 mengingatkan bahwa persoalan persediaan pangan bagi bangsa Indonesia merupakan “soal hidup atau mati”. Begitu juga dengan Jawaharial Nehru, mengatakan “Everything can wait, not agriculture. First of all, obviously, we must have enough food. Secondly, other necessities … “.

Jika kita simak data FAO, bahwasanya lebih dari 1 milyar penduduk Dunia menghadapi masalah kekurangan pangan dan kemiskinan, sungguh memprihatinkan, termasuk negara Indonesia sebagai negara Agraris.

Di Indonesia telah dibuktikan dengan berbagai hal yang menyangkut pangan dan kedaulatan pangan, melalui kebijakan impor yang dilakukan pemerintah seperti import beras, Gula, Garam, Kacang Kedele, daging, bahkan beras plastik dll, merupakan sebuah indikator tingkat ketahanan atau kedaulatan pangan kita tidak kuat atau rapuh, walupun kita menyadari bahwa kita adalah negera agraris, sungguh ironis.

Ketahanan pangan dan kedaulatan pangan saat sekarang berada dalam perpaduan berbagai isu: musim kemarau dan banjir akibat perubahan iklim, ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada harga pangan, dan ketidak pastian harga BBM dalam negeri yang menyebabkan melonjaknya biaya transportasi, dan semakin melebarnya jarak si miskin dan sikaya, bahkan  cenderung merupakan masalah keamanan, karena kelaparan kronis merupakan ancaman terhadap stabilitas pemerintahan, politik, kriminal, sosial budaya dll.

Rapuhnya kedaulatan dan ketahanan panagan akan mengakibatkan masyarakat menderita kelaparan atau menderita gizi buruk tidak memiliki pendapatan, dan tidak mampu merawat keluarganya, hidup tanpa harapan dan keputus-asaan. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan, konflik, bahkan kekerasan, dan ini sudah banyak fakta yang menguat ke permukaan.

Kegagalan pertanian di banyak negara memengaruhi perekonomian global dan sangat disadarai bahwa hampir lebih dari 80% penduduk Indonesia hidup dari aktivitas pertanian yang merupakan sumber pendapatan utama. Dengan bekerja keras belum bisa menghidupi keluarganya, kondisi ini cukup memprihatinkan dan menghawatirkan.

Hampir setiap tahun Indonesia di hantui dan dilanda bencana banjir dan tanah longsor, kekeringan, kesulitan air bersih, gempa, bahkan erosi spcies, dll. Sedangkan permasalahan diketahui bahwa banyak sungai besar dan anak sungai (DAS dan Sub DAS Utama) yang telah menjadi penyebab banjir belum bisa kita atasi dengan baik, berjuta ha sawah di beberapa pulau besar, seperti Jawa, Sumatera, kalimantan, Sulawesi terjadi puso, jangankan padi yang berada di persawahan, harta yang ada di rumah juga ikut dibawa banjir bahkan jiwa.

Semua orang teriak, semua orang mengumpat, semua orang bertanya, kenapa banjir  yang terjadi saat ini kok lebih hebat dari pada tahun – tahun sebelumnya dan kenapa kemarau atau musuim kering juga lebih panjang. Ini sebuah bukti nyata kerusakan ekologis sudah semakin parah yang diperbuat dengan pemanasan global, yang mengakibatkan perubahan musim dan tingkat curah hujan semakin tinggi.

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.

Padahal sesungguhnya sesuai Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diperkuat dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan.

Sementara di permukaan bumi, kawasan Sumber Daya alam yang berfungsi ganda untuk mencegah dan meminalkan banjir, longsor serta sebagai stablisator meminimalkan perubahan iklim yaitu hutan tropis di eksploitasi secara berlebihan. Dengan dasar dan pemikiran untuk meningkatkan Devisa negara  dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan dalih PAD, bahkan ada beberapa Kabupaten secara terus terang dan tanpa perasaan berdosa mengugat sebuah kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, dengan tujuan untuk dijadikan areal perkebunan, tetap dengan dalih kesejahteraan rakyat dan PAD.

Upaya untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatanpangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang.

Peraturan Pemerintah tersebut telah menegaskan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu, kerjasama internasional  juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.

Sadar atau tidak sadar, bahwa kondisi kerusakan ekolgis dunia bahkan yang menimpa Indonesia saat ini, telah mengahancurkan dan memusnah lahan sawah beribu-ribu haktar, bahkan Pemerintah telah mengeluarkan dana untuk bantuan pangan dan perbaikan infrastruktur itupun belum cukup bisa megembalikan kondisi yang diharapkan, dan kerusakan ekologis tidak berdiri secara sendiri, tetapi selalu punya keterkaitan dengan relasi sosial, ekonomi, politik, budaya dan tekanan ideologi globalisasi kapitalisme, pasar bebas.

Kerusakan ekologi yang menjadi salah satu penyebab terjadi perubahan iklim, dalam prosesnya terjadi secara perlahan dan sudah berlangsung lama. Beberapa dampak yang akan terjadi akibat perubahan iklim (1) mencairnya es di kutub; (2) meningkatnya permukaan air laut; (3)  pergeseran musim; dampak perubahan iklim bagi Indonesia antara lain (1) kenaikan temperatur dan berubahnya musim; (2) naiknya permukaan air laut; (3) dampak perubahan iklim terhadap sektor perikanan; (4) dampak perubahan iklim terhadap sektor kehutanan; (5) dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian; (6) dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.

Hampir disemua sektor perekonomian  Indonesia akan mengalami dampak akibat perubahan iklim ini, tentu konsekwensi yang mendasar akibatnya adalah akan terjadi kerawanan pangan dan rapuhnya kedaulatan pangan di Indonesia, baik pola tanam yang tidak jelas, karena kalender musim yang berubah, hilangnya beberapa pulau dan pantai di Indonesia sebagi sumber pangan, dan bencana puso terhadap sawah. Ini semua akan menyebabkan kerawanan pangan di Indonesia. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, Indonesia sebagai negara agraris masih mengimpor beras dan gula.

Mungkinkah kita mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia ????, sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit untuk di prediksi dengan iklim global dan dengan kondisi pola demokrasi dan sistem politik yang ada saat ini untuk bisa mewujudakan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan di indonesia.

Disadari oleh banyak pihak bahwa kedaulatan dan ketahanan pangan bukan hanya urusan beras dan beberapa bahan pangan lainnya, tetapi meliputi manajemen: ketersediaan pangan, akses pangan, stabilitas (harga) dan distribusi pangan, serta utilitas dan keamanan pangan, keberlanjutan proses dan peningkatan produksi, manajemen pengelolaan musim dan menajemen bencana serta manajemen konservasi untuk daerah hulu dan lingkungan.

Tidak kalah pentingnya bahwa produksi dan produktivitas pangan lain seperti jagung dan kedelai, gula, daging, diversifikasi pangan dll juga perlu menjadi prioritas, misalnya dengan memberikan keleluasaan bagi sektor swasta untuk mulai bermitra dengan petani.

Dalam mengatasi dan memperkuat kedaulatan pangan, diharapkan dalam jangka pendek, peningkatan produksi pangan dan perbaikan sistem produksi wajib menjadi prioritas utama strategi kebijakan pangan pemerintah. Manajemen stok pangan dan stabilitasi harga pangan, terutama yang bersifat strategis, tetap perlu menjadi prioritas.

Bahkan dalam memperkuat ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, manajemen pengelolaan dan memperbaiki serta melestarikan kawasan lindung dan kawasan konservasi sebagai faktor pendukung utama kelangsungan ekologis dan pendukung utama keberlanjutan proses produksi pangan tidak bisa diabaikan. Bahkan harus menjadi komitmen dan political will Pemerintah Pusat dan Kabupaten/kota dan Propinsi di Indonesia. Sadar atau tidak sadar  bahwa bencana alam di Indonesia lebih disebakan oleh faktor rusaknya ekologi, baik akibat investasi yang legal maupun illegal dalam pemanfaatan lahan dan hutan yang cenderung berpikir bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dikenal dengan “tata ruang” menjadi “Tata Uang”.

Statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. “Penurunannya sangat parah,” kata dia dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.

Memang kenyataan ini aspek ekolgis dan kerusakan ekologis, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia terutama dikaitkan dengan sumber daya pangan. Sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian terutama dikaitkan dengan kerawanan pangan secara lintas sektoral di Indonesia, aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi. Bahkan di era otonomi daerah, banyak keinginan untuk melakukan kegiatan Investasi yang cenderung tidak memperhatikan aspek ekologis/Sumber Daya Alam.

Namun hanya memperhatikan aspek ekonomi untuk mendapatkan financial benefit sebesar-besarnya atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata-mata selama berkuasa dan mengabaikan Penilaian ekonomi Sumber Daya Alam (yang memiliki dimensi non administrtif bahkan berdeimensi regional dan global). Sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kerawanan pangan dan merapuhkan ketahanan pangan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti.

Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas. Bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, dan penyakit. Sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional terhadap pusat-pusat ekonomi yang ada di kota.

Kalau kita simak statemen Pengamat ekonomi Rizal Ramli menilai perbaikan ekonomi bisa dilakukan seiring dengan perbaikan ekologis dengan syarat ada perbaikan kesejahteraan. Oleh karena itu, yang harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan perkapita.

Kedaulatan dan Ketahanan Pangan dan ekologis sesuatu yang sangat sulit dipisahkan, karusakan ekologis menyebabkan kerawanan pangan, sebaliknya kerawanan pangan menuju kemiskinan menyebabkan kerusakan ekologis semakin tinggi, sehingga faktor ekologis merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan Indonesia.

Menurut pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, Bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.

Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan, yang akan menimbulkan bencana, hanya melihat alam sebagai sumber financial semata-mata, sedangkan alam merupakan ekolgis yang memiliki nilai ekonomi tidak langsung yang mendukung nilai ekonomi secara langsung, HYPERLINK “mailto:syamsulbahri1605@gmail.com” syamsulbahri1605@gmail.com

 

Back to top button