
Puisi-Puisi Ghazali Burhan Riodja I
Sekepal tanah surga
Sebuah anugerah untuk dunia
Kita sudah sama sama mengecapnya
O,tanah juita
Pusaka sepasang arwah cinta
Hembusan wangi nafas sejukmu
Menenterampak hidup insane
Sungai penuh : Kota Kami Kota yang Tenteram
(Sebuah Tableau)
Adegan I:
Skene pertama: Mulai dini hari
Orang- orang berkelumun telekung atau sarung
Tampak mengayun langkah lambat-lambat
Dimatanya kantuk masih tergantung berat
Pergi mandi, untuk masuk kerumah ibadat
Skene kedua: kira kira antara pukul 7 sampai 10
Penjaja kue meneriakan jualannya
Api tukang tukang goreng pisang menyala-nyala
Anak anak sekolah dan guru guru mengepit buku bukunya
Ibu ibu berangkat keladang menyandang jangki
Lakinya singgah kewarung untuk minum kopi
Atau laki- laki pergi kesawah berokok nipah
Memundak cangkul tajam karena diasah
Diantaranya terselang seling pegawai pegawai kantor
Berpakaian dinas dan melihat lihat jarum arlojinya
Kemudian perempuan perempuan yang pulang dan pergi belanja
Toke toke kulit manis dan kopi bertudung moris
Di pasar, Pedagang pedagang sayuran bertebaran
Orang orang toko melap-lap kaca etalase
Pasar lenggang karena bukan Jum’at atau Minggu
Kota kami adalah kota yang tenteram
Adegan II,
Skene pertama:mulai pukul 11
Pembesar pembesar sudah ada yang keluar kantor
Bawahan-bawahannya berkeliaran dan keluyuran dipasar
Kelompok berdiri- diri di persimpangan persimpangan jalan
Deretan prahoto yang masuk membawa barang barang
Atau tak tampak satupun bila jalan ambruk
Dari bukit bukit yang melingkung kungkung tampak embun embun
Meruap ke udara ditiup angin gunung yang teduh
Dirumah-rumah bola pemain-pemain pun tidak berpeluh
Orang orang dari luar- luar kota hobi singgah kesini
Untuk makan siang dengan lahap dan bersedeha
Dan yang tak ada hentinya disini ialah
Anak anak mengaji senja hari, atau kumpulan mengaji
Dimalam –malam hari.
Selebihnya acap jadi terhenti
Bioskop mati.
Keramaian malam resepsi sekali-sekali
Sungai penuh: Kota kami yang tenteram
…… …..layar (sudah usang)…………………
(1969)
“Kerinci Tanah Idaman”
Dalam hidupku melanglang buana
Terdampar di kaki Gunung Kerinci
Aku jadi meratap dalam kebahagian
Aku sampai ditanah idaman
Lembah cita cita selama ini
Mayapada megah sejuk menyusup asma
Kehidupan sederhana sejahtera
Disini aku memlih tingal menetap
Untuk selamanya di penghujung usia
Kesukuranku tak terhingga
Karena sempat juga kiranya
Kujumpa ranah sentosa wijaya
Munggil semesta luapan candra
Tenteram damai meliputi segala
Merataplah wahai hatiku lara
Kita telah sampai di bumi ini
Sebuah bumi indah menggairah
Wahai, merataplah hatiku lara
( Maret 1970)
Bogor
(Kepada Taufik Ismail)
Pada jeruji jendela
Merenung perawan tua
Tatapannya ketanah kelabu
Jauh dan lengang
Bulu matanya telah kaku
Airmata lengket disitu
Tak lagi meleleh
Di- bawah bawahnya
Kuteruskan bersiul siul
Didalam hati : Lagu opera
Terus berjalan merunduk
Dan sekali sekali, batuk batuk kecil
Namun,lepas juga gumamku:
O,Lembah Kerinci
Mengapa engkau ada juga
Disini: di Bogor.
(1969),
(Catatan: Penyair,- Punya nama seribu, seribu alamat, diseribu kota,seribu cinta kepada manusia * Gezet)
“Yang Baka Adalah Duka”
Pagi ini tiba pula tamu
Dari: Iran
Juga dengan air mata
O,air mata
Sedang kita,masih saling curiga
Dan
Tak rela berpaling dari duka
Karena: Tuhan pun berduka juga
Sepanjang masa
O,sepanjang masa
Yang baka adalah duka
Yang baka adalah duka
( Padang, Maret 1969)
Puisi-puisi Pagi Hari
Segelas kopi susu
Sebungkus rokok dan sekotak korek api
Sebuah asbak kaleng sardencis
Alas meja plastik tebal liat
Hitam pekat cahaya puisi
Tiada Vas Bunga
Pohon cempaka
Disamping jendela
Datang dari mana?
Burung apa yang menaburnya ke sini
Atau dibawa angin
Pada musim apa
Puisi pagi hari
Puisi-puisi yang abadi
(Kerinci 14 Maret 1970)
Sajak untuk Idul Fitri:
Saat Ini Tuhan Tersenyum Kepada Kita
Rasakanlah,Tuhan membelaikan senyuman dan pandangan Nya
Kepada kita semua. Saat ini Tuhan sedang meneliti kita
Dengan sinar mata yang selurus penjuru
Tuhan menatap kepada kita dengan senyum dan pandangan iba
Terhadap seluruh kita.makhluk – Nya yang lata dan durhaka
Sambil bisik -Nya : Lihat, mereka kembali lagi pada-Nya
Kau dengarlah bisik Tuhan dalam hati mu ? Jika tidak.
Engkau belum lepas dari cengkraman serba hitam
Gang – gang gelap dan lorong lorong kelam menyesatkan
Menggelisahkan hidupmu yang hanya sekejap saja ini
Memporak – porandakan pikiran pikiran jernih yang bersarang
Dalam otak. dalam dada. dan dalam ketentramanmu
Saat ini Tuhan sedang hadir pada setiap kita
Bersembunyi jauh jauh di lubuk kalbumu yang senyap sunyi
Tuhan dengan rendah hati – Nya tak mau menampakkan diri
Bila engkau makhluk – Nya yang arif, engkau dapat merasai
Bisik – Nya dalam hati mu. Engkau bisa merasakan Dia hadir
Di ujung – ujung rambutmu yang hitam dan putih
Saat ini Tuhan tersenyum atas kemenangan – Nya
Lembut dan halus sekali senyum dan pandangan – Nya itu
Mengandung benih benih kasih, cinta dan pemaafan yang agung
Hari ini Dia datang kepada kita dengan diam diam
Membawa embun – embun sejuk berisi zar – zat pengampunan –Nya
Menebarkan – Nya ke seantero jagad raya tanpa hingga
Saat ini sedang bertengger di kelepak kelepak baju
Di sudur – sudut telekung, di sela sela peci baru kita
Di renda – renda selang aneka warna, ditepi-tepi rok luar negeri
Beliau tersenyum penuh keramahan, memandang iba
Menitik air mata dalam isak – isak tangis – Nya yang abadi
Adalah untuk kita. Makhluk- Nya yang selalu sia- sia
(Kerinci: 21 November 1969)
Semua Telah Berkata: Demi Tanah Air
Kita semua telah berkata demi tanah air
O, alangkah manis dan mudah mengucapkan
Dan menulisnya
Tapi sudah taukah kita siapa sebenarnya tanah air
Aku, dia, ataukah engkau,
Atau hanya kehampaan
Tak satupun: selain kabut kabut berbondong
Mengumpal dalam ruang hancur batas
Diantara kita terselip macam macam mimpi
Semua menuntut pengertian perjuangan
Tetapi, semua sirna dalam kekecewaan
Lebur dalam subur genggam tangan pengkhianatan
Barangkali sudah sepatutnya kini, kita tak lagi
Bicara kepada tanah air.ia telah begitu letih
Untuk menjawab segala kehendak dan kemanjaan
Sekarang berkatalah: demi kemakmuran dan kebahagian
(1969)
“Lagu Cinta Sigadis Desa”
Bila senja meniti daun jendela
Tampak menjenguk kehalaman
Si gadis desa yang manis
Murung dan mengeluh ia
Tapi hanya dalam hati
Ah, jalanan dan desa ini
Semakin sepi semakin sunyi
Dari hembusan merdu nafas jaka
Lewat lubang sulingnya
Dan derak derai kerikil
Tersibak lelangkah petandang
Malampun datang tanpa bersiul
Ke dada si gadis yang menerawang
Malam hitam disaput matahari
Matahari angin dan hujan
Tetap mendamping ditanah ladang
Di sawah dan di kali kala mengalir diri
Terawang nembus loteng tiap malam
Adalah tentang jaka yang pergi
Tinggalkan desa menyunyi
Degupan hati merindu
Sekarang desa semakin sepi
Belukar menyemak tak tersisiki
Lelaki-lelaki muda telah pada pergi
Tetapi biarlah mereka juga berjuang
Di bidangnya masing masing
Dambakan suatu bakti buat ibu pertiwi
Adalah hati si gadis menyanyi
Di kesenyapan lorong desa
Tapi tenah ditanamnya dalam- dalam serumpun kepercayaan
Dimana seketika nanti jejaka datang mengugah cinta
Cinta pada tanah desa
Yang dulu menatah tubuh mereka
Dimana desa akan bercahaya
Dalam gerapan cinta baru
Mereka pasti mau datang
Dengan kemenangan gemilang
Yang tergenggam erat di tangan
Buat desa tumpah tercinta
Desa tiang Negara
Desa airi hidup Bangsa
Desa sumber segala
Si gadis menutup jendela
Kemurungan membalut wajah
Akhirnya,mencuat juga dicelah bibirnya
Derai-urai senyum-senyum biru muda
Adalah sepi dan sunyi
Sunyi dan sepi
Jadikan cinta kita terpadu murni
(1964)
Daun-daun Angin
Sudah kubilang abad ranum
Daun- daun angin, luruh dan luruh
Sebentar lucut dari pnggung punggung
Untuk lewat atas serba sangka
Kitalah cinta yang luruh,dan
Luruh lagi kedalam serba purba
Cintakah maka kita terbarut
Kembalilah kedalam perut perut cerita
Daun-daun angin.Daun -daun angin
Serba purba.Serba kala
Tiadakah suatu apa pada kita
Tiadakah suatu cinta
Atau: Alpa
(Bushido.10 Juli 1969)
Do’a Pagi Ananda Sulastriana
Putih – putih dinding kamar.bukti kita sayang dan manis
Putih- putih gorden jendela.laut kita selamanya
Putih-putih sajak dalam kelanjutan buah kehidupan seketi
Putih- putih cayaha dari sampiran-sampiran tak terduga semula
Putih-putih semuanya,doa pagi ananda Sulastriana
Ucapkan selamat pagi selalu kepadanya.Kepadanya
Kepadanya.Dengan setulus tulus hati kita serahkan agenda
Biar tercatat segala kerja sia sia dan pudar senja
Biar lewat kenangan-kenangan kedalam jurus-jurus yang semesta
Biar kita tidur pulas karena mendengar doa-doanya.
Dari ia datang dan datang kemana mana
Yang tingal hanyalah kita berdebar- debar dan tergoda
Melayang-layangkan kaki disepanjang jalan kota -kota kita
Menghitung-hitung arti yang tiba sebelum sempat bicara
Sebelum mendengar betapa doanya ananda Sulatriana
Putih – putih seketika,Nak.Seketika
Putih-putih makna kata. Lagi dibaca –baca
Pagi kita adalah pagi yang sederhana.Ananda
Pagi daerah kembang kembara kita
Simpul- simpul warna merenda di tubuh sangkala
(Padang.26 Maret 1969)
Do’a Pagi Ananda Sulastriana
Putih – putih dinding kamar.bukti kita sayang dan manis
Putih- putih gorden jendela.laut kita selamanya
Putih-putih sajak dalam kelanjutan buah kehidupan seketi
Putih- putih cayaha dari sampiran-sampiran tak terduga semula
Putih-putih semuanya,doa pagi ananda Sulastriana
Ucapkan selamat pagi selalu kepadanya.Kepadanya
Kepadanya.Dengan setulus tulus hati kita serahkan agenda
Biar tercatat segala kerja sia sia dan pudar senja
Biar lewat kenangan-kenangan kedalam jurus-jurus yang semesta
Biar kita tidur pulas karena mendengar doa-doanya.
Dari ia datang dan datang kemana mana
Yang tingal hanyalah kita berdebar- debar dan tergoda
Melayang-layangkan kaki disepanjang jalan kota -kota kita
Menghitung-hitung arti yang tiba sebelum sempat bicara
Sebelum mendengar betapa doanya ananda Sulatriana
Putih – putih seketika,Nak.Seketika
Putih-putih makna kata. Lagi dibaca –baca
Pagi kita adalah pagi yang sederhana.Ananda
Pagi daerah kembang kembara kita
Simpul- simpul warna merenda di tubuh sangkala
(Padang.26 Maret 1969)
Gadis Manis Itu Bernama: Tanah Air
Duhai! Lihat
Itu gadis manis dengan perian
Di pundaknya
Gemalai telapak kakinya yang lansing
Menjejaki pungung- punggung pematang
Melintas jalan rintisan menuju pancuran
Di perut lembah rimbun menghijau
Membangkitkan syahdu
Atau kita hanya jumpa bekas- bekas jejaknya
Di pasir- pasir sepanjang pantai
Di daerah nelayan berkasih dengan laut
O.gadis manis itu
Ia selalu memandang pada kita dengan sayu
Ia menyerahkan cinta pada kita
Kitapun jadi rindu
O.adalah gadis manis itu
Ia bernama: Tanah Air !
(Kerinci.Akhir Desember 1969)
Mekar Kasih di Kaki Gunung Kerinci *)
Tiada kusangka takdir menjelma
Menitahkan sabda atas diri hamba
Mulianya Tuhan Yang Maha Kuasa
Penentu semesta dan segalanya
Jauh di kaki Gunung Kerinci
Mekar semerbak kasih sejati
Tugas kujalankan juga sepenuh hati
Hidupku kini riang tak terperi
Dara jelita puteri Kerinci
Menggugah asmara di sanubari ini
Alam yang indah tambah berseri
Mekar kasih di kaki Gunung Kerinci
*) Lirik lagu M.Senin Ilyas.
Ketika Hari Kian Gemulai
(Buat para penari dilembah sunyi)
Senja kapas randu menggelantungi ranting dan pucuk
Di selingi musim semi pada hari-hari yang kian gemulai
Dan dengan: sentuhan roda-roda dari raungan mobillewat
Memanggil setiap hati menitik mata pada gunung biru
O,angin gunung Kerinci,sahabat setiap saat
Gemulailah engkau pada hari- hari kemarau di hati
(Sanggar Curuccu La Palome
Sungai Penuh 23 Juli 1969)
“Kepada Gazmidar”
Midar, laut ranum berpantai ranum
Ombak menggulung lembut senja ranum
Sebuah pencalang terkapung lengang
Engkau sunyi laut di batas hatiku
Senja ini Midar, dan sepanjang kekesalanmu
Aku merenung ke lekak liku perbandingan-perbandingan
Ke lorong-lorong rindu tempat aku sering lewat
Wajahmu bulan runduk padi tuaian
Swah ini,ketika sajak kutulis untukmu
Ada detak dipintu detak kesalahan –kesalahanku
Aku merenung,merunduk jauh
Aku hilang dalam rawan kalbu duka
Midar,laut ranum berbintang wangi
Terimalah aku dating mengantar dukaku
Dukaku seperti kukatakan
Adalah suci dan abadi
Dukaku adalah duka yang kekal
Lautmu ranum,kental membubung !
(Di pengasingan 3 Mei 1970)
Penantian
Tuhanku
Bangunlah dari tidurmu
Dan mari kita bicara
Atas keselamatan dibayangan belai doa
Ataupun kedosaan di malam berbunga pesta
Sepasang mataku terkulai dikancah Tanya
Memapah dahaga di padang padang jingga
Tapi
Kau tidaklah bangun karenanya
Kau perdiar pada ini semua
Guntur yang melonjak dan terbenam
Hanya kesiaan berbareng dibawa kelam
Tidak kau tahu terhadap ini segala
Segumpal surat diterbangkan angina senja
Nafasmu beralun datar, sayang!
Oh nyenyaknya tidurmu!
Inilah Adam dan Hawa
Inilah Adam dan Hawa
Kita semua
Sudah berada kembali
Ditempat kita semula
Setelah sekian juta abad
Terpisah
Sekarang jadilah
Warga surga ke –II
(1970)
Wahai Yang Hilang
Kudengar kembali
Sebuah Suara dari dalam sebuah suara lagi
Dari tangga yang turun dari Loteng
Kudapati wajah itu kini
Di luar : jalanan
Terdengar gerincingan bagai cincin rebana
Besi alas roda pedati
Dan arakan sepi, Memberat
Di antara gemilau kata
(Lembah tercinta-Kerinci 10 Agustus 1969)
“Kiranya Kau Datang bersama Mendung yang tergantung Jelita”
Saat itu jendela rumah desa telah terkatup
Diraih tangan lentik dara berambut hitam panjang
Cuma dari celah tergamang selentingan cahaya
Mengisahkan betapa seretnya kehidupan membentang
Tiada suara merdu bersenandung mengetuk malam
Kesenyapan disini adalah kesenyapan yang terendam
Sekali –sekali melayang juga bunyi transistor parau-parau
Batunya telah usang belum lagi diganti
Kiranya kau dating,kau yang telah lama kurindukan
Dilangit mendung telah tergantung berat dan kelabu
Tapi ia begitu jelita walau ia sedang mengancam
Biarlah,biarlah Rindu kita bundar bulan purnama
Dalam berjabat tangan-tangan kita bergetar begitu syahdu
Dimataku bersarang tangis anak perawan getir
Di mulutmu tersungging senyum kelana kuning delima
Kita tak bicara,Dan inilah sebuah puisi.amboi.
(Kerinci 11 Januari 1969)
Di Lembah ini
Kita adalah sebuah puisi yang belum selesai
Kita adalah seberkas sinar suci, dan kini hanya tinggal bayangan
Dalam siraman gerimis senja
Dan kita menetap di lembah ini sekarang
Berteduh dari hembusan nafas nafas kegarangan
Yang melanda segenap penjuru
Dilembah ini kita bisikan dahaga kemanusiaan
Dimana wujudnya telah hilang dilindas zaman
Berserakkan jadi puing –puing nestapa kehidupan
Di lembah ini kita adalah nomaden yang setia
Bersenandung dalam irama kesedihan dan kedukaan
Meratapi syahdu alamn yang telah tersia siakan
Kini ucapkan selamat jalan dengan pasrah
Kepada segala yang tercinta, ya selamat jalan
Dan kita melebur jadi satu tugu keabadian
(Sei Penuh Oktober 1968 )
Dengan Langkah-langkah Pelan
Bila aku mati
Matilah karena Puisi
Warisan sejati.buat
Bangsa dan Negara ini
Hati kekasih-kekasih pun
Akan tergenang, dan
Berlinang di tengahnya
Dalam belaian puisi
Bila aku mati
Matilah karena puisi
Nyanyi dan suara hati
Dalam diriku ini !
(Spn,November 1969)
Dawat dan Bulu Angsa
Hujan dawat siapa
Patih jernih semampai
Aku menulis dengan bulu angsa
Untuk hujan
Bulu angsa putih suci
Dawat dari dunia
Harum manis
Katakanlah\
O bahagianya
Malam rahmat ni
Bahagia untuk kita
(1970)
Pengabdian
(Kepada Emses)
Telah kita saksikan lembah ini
Berkabung untuk sesuatu yang belum tiba
Antara berita kepergian dan berpamitan
Buah tutur keluarga-keluarga yang kian berkembang
Adalah rentetam-rentetan demi rentetan dalam sajak
Sejak terjalinnya lagu pertama,darma
Di jalan pengabdian dan harapan
Selanjutnya hiliran jantung kehidupan
(Sei Penuh, 20 Agustus 1969)
“Surat Dari Batu Embun Berlinang”
Disini aku bermukim
Dari sini aku berkata
Entah semenjak pabila
Aku patung
Aku memandang
Karena aku dibebani restu
Aku menulis sajak sajak
Semenjak lama
Semenjak dulu kala
Aku berkata
Aku berkata
Aku telah berkata
Siapakah menerima kataku ini?
Aku Batu Embun Berlinang
Menulis sajak-sajak
Sajak-sajak yang luas
Sajak –sajak yang panjang
Baris-baris yang lanjut
Lanjut-lanjut yang sujud
Punggung-punggung menghijau
Hijau-hijau menjangkau
Jauh dari risau
(1 April 1970)
Elegia Kita Anakku
O.Jiwa kita anakku sayang
Dimana –mana saling bersua dan bersapa
Untuk nyanyian terakhir pada
Kita sebelum mengunci kamar
Abadilah cinta buat kekasih anakku
Kita pergi ke ujung titian lembah ini
Agar impian kita takkan sirna lagi
Tetapi,terpahat di batu batu nisan
(Lembah Swarga,27 Agustus ’69)
“Bulan Tersenyum Manja”
Kata ini kukirimkan dalam surat
Adalah bukan teruntuk bulan
Tetapi bulan tersenyum manja
Dan dicahaya bintang
Dan dipematang awan petangnya
Adalah memanjat hasratnya
Maka lautlah dia itu lautlah
Yang turun ketepi darat
Kalau cintalah dia itu cintalah
Kini saying sudah terlambat
Karena,karena camar tengah nyanyi
Menukik pasir kerling di ombak
Namun tiada dia singgah di sini
Laut terlalu luas tempak menapak
(1969)
Kota Maya
(Kepada Kyai Haji Janan Thaib)
Dalam belai romanza malam ceria
Membisik sebuah warkat buat warga di syurga
Bangkitlah kemayu hai kekasih-kekasih tercinta
Insyafi, bahwa disini kita terlena dua –dua
Kita masih saja berada di dalamnya
Bermain-main di taman-taman dan di telaga-telaganya
Kita telah menelan abad demi abad
Dan tenggelam bersama usia usia laknat
Bangkit,wahai sisa sisa penghuni kota maya
Kita telah lama di sia siakan
Dan yang telah pula menyia nyiakan
Seluruh usia remaja
Bangkit.Bangkitlah dengan segala
Bangkit demi relaa rahasia semesta
Sungging senyum dibeningnya air mata
Berkata lewat mimpi-mimpi dalam sajak –sajak nostalgia
Karena kita semua masih selamat,belum terlambat
Kita semua pemegang amanat,karat-karat rahmat
“Sonata-Sonata Jiwa”
Hembusan sinar bulan purnama
Lindap raaya megah rasa
Sejuk suci di persemaian hati kami
Datanglah selalu kedalam kalbu
Terik hari tak berarti bagi kami
Kami disini bernaung dibawah
Rimbunan rimba cendana
Wangi harum menyerbak rasa
Selimut jiwa dari masa kemasa
Sabda cita sonata-sonata biru meja
(Kerinci,21 Maret 1970 )
Si Pengirim Tanpa Alamat
Tiga pucuk surat tak bersampul
Berdiri megah digerbang kotaku
Si pengirim tak dikenal
Dan tiada dibubui alamat
Aku telah membacanya
Aku telah menatapnya
Aku tersedu karenanya
Tiga pucuk surat tak bersampul
Adalah seperti Proklamasi kemerdekaan
Dan ia pun sajak sajak yang indah
(Kerinci,28 Juni 1969)
Cinta Bersemi di Senja Teduh,Adikku
(Pro: Aya Sofya)
Aku kenal engkau cinta kepadaku,adikku
Semenjak lama,semenjak bunga-bunga sedap malam
Menebarkan harumnya bau dewa- dewa,semenjak
Butiran-butiran kuntum sedap malam gugur menebar
Dibawah pohon jambu merah,dibawah keluar
Gemersik daun- daun melenting dalam wangi halaman
Di senja-senja begini,di senja senja bengi, adikku
Cinta kambuh bersemi di keteduhan rasa
Diketeduhan senja, diketeduhan suara
Ya, adikku yang baik
Cinta kita bersemi selalu
Di senja –senja teduh
Dan tetap bernyala
Setiap ketika
Pada kemuraman wajahku
Pada keteduhan cinta kita,cinta pertama
Kubaca dan tetap akan kubaca
“Aku cinta kepadamu,Abang “
(Sungai penuh, April’70)
“Menara Kita”
(Buat:Bapak Senin Ilyas)
Menara kita terhimpit di tengah kota
Dari jendelanya yang selalu terbuka
Kita berdoa kepada segenap lapisan
Dari segala penjuru cerita
Menara kita : tanpa nama. Dan
Bila menyebutnya,lidah bisa
Jadi menggetar lupa : Bahwa besok
Badai menerma dan hari depan jadi tiada
Kita pun tak memiliki jam yang akan menitahkan
Pergi dan pulang laut
Kita tak punya sawah dan ladang
Tetapi, kita sadar : Hari depan,
Ialah tuntutan kerja pada hari ini
Dan menara ini juga, kita tiupkan
Serunai kebangkitan pada detak pabrik
Dan deru baja di jalan-jalan raya dunia
Dalam menara ini kembali kita simpan
Harapan dan cinta
Demi segalanya.
Pada Senyum Membiru
Pada senyum yang membiru
Terlukis warna sejarah pilar kasih
Tempat pigura harapan kegelisahan
Dan kecewa tak luput- luput tak bersahut
Telah kami pagut, apa apa
Yang disebut orang dengan :rindu
Telah kami temui wajahnya
Yang ungu,mekar dan kenes itu
(Agustus 1969 )
Rinai Manis Pagi Hari
Hari demi hari
Ada saja lahir
Dosa demi dosa
Pagi datang pagi
Senjapun menanti nanti
Tinggal semua arti
Janji demi janji
Sudah tiada akhir
Rata jadi rata
Semua akan jadi
Semua akan mati
Semua akan sepi
Sepi demi sepi
Mati demi mati
Tiada nyanyi lagi
(Kerinci, 24 Januari 1969)
Tanya Seorang Bayi
Apakah kita masih dalam suatu mimpi
Atau dalam
Yang menyanyi
Siapakah itu lagi berpandang-pandangan
Denganku,Duduk berbincang-bincang denganku
Tersipu dan elus lembut
Aneka sutra samudranya
O,berkerudungkan candra mekarnya bunga-bunga
Ah, adalah bagiku
Engkau hanya pesona cinta
Ya,Kepada engkau yang jelita
Tuhanda
Siapakah sebenarnya itu
Engkau yang disana itu
Lagi sembunyi di situ itu
Ah,Lantaran gelisah
Aku nanti bias jadi marah
Terserah,Aku mati tanpa menyerah
(Ranah Kayangan 13 Juni 1969)
Andaikan Kami Benar-benar Telah Sampai di Surga
O, Tuhan
Apakah lagi yang mesti kami kerjakan sekarang
Jika kami benar –benar telah sampai di di Surga
Kami merasa tak menentu bila tiada kerja
Karena telah terbiasa dengan kehidupan yang lewat
Oleh karenya kami minta diberikan kerja juga
Kerja yang sesuai dengan kemampuan kami perorangan
Yang mendatangkan manfaat kepada pertumbuhan pribadi
O Tuhan
Bermurah hatilah engkau,bimbinglah kami
Berilah kami jalan untuk menikmati kehidupan ini
Suatu kehidupan ditempat kami yang baru ini
O Tuhan
Sempurnakanlah segala kehendak kemanusiaan kami
Agar kami menjadi makhlukmu yang bersih suci
Tidak lagi dibebani dosa-dosa dan keingkaran
(Kerinci Raya, 19 Februari 1970)
Kami Tidak Akan Kembali
(Kepada Orang-Orang Tercinta yang Bertobat)
Buang- jauh-jauh segala kecemasanmu,saying
Singkapkan kabut-kabut kemelut yang bertahta di hatimu
Dan pandanglah mata itu,yang memberikan
Senyum manisnya bagimu
Pandanglah mata itu,yang begitu bening
Mata itu ialah : bumi
Ya,bumi,Bumi kita,Yang indah
Ia adalah sahabat, Ia adalah kekasih
Tempat kita menulis sajak – sajak,tempat dimana
Pada hari hari-harinya kita berjanji
Tempat dimana kubur lagi sepi menanti
Kini, tidurlah dengan lelap, saying
Bermimpilah bersama bidadari-bidadari dalam serba wangi
Percayalah kepada kami, bahwa
Kami akan bermukim di sini
Menetap tersedu dalam pelukan-Nya
Kami tidak akan kembali kesana
Ke daerah daerah kelam yang sudah kami tinggalkan
Kami telah terpisah,dan
Takkan berjumpa lagi
(Sungai Penuh,Oktober 1968)
Kalau Kita Hanya Kelana
Pucuk pucuk aru dibatas kota pada keletihan
Burung balam menggerai- geraikan bulunya
Menguap dalam sangkar kesayangan
Dengar bisiknya bila senja terhampar nanar
Bongkah-bongkah tanah sisa-sisa batang ketela pohon
Bukit di pinggir kali.bukit mungil
Tanda setia tak kunjung pudar
Tugu kebahagian pada hati lapar
Walau kita hanya kelana,yang sering dilupa
Namun janganlah kendur
Bercintalah dengan kecewa
Semerbak membanjiri sukma
Walau kita hanya kelana,yang sering dilupa
Meluncurkan bagai ruak ruak
Pagut kemurungan buat di hirup
Dahaga kita teramat tulus
(1969)