HOT NEWSPolitik

REFLEKSI PEMILU LANGSUNG DI INDONESIA

REFLEKSI PEMILU LANGSUNG DI INDONESIA

(Pemimpin yang memimpin ????)

Oleh Syamsul Bahri, SE, (Conservationist, Dosen STIE-SAK Jambi)

 Sosiolog Barrington Moore Jr dalam buku Social Origins of Dictatorship and Democracy mengemukakan ”tak ada kelompok borjuis, tak ada demokrasi”. Sebuah asumsi dari Barrington Moore, demokrasi akan tumbuh dan berkembang jika kelas borjuis menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi.

Kondisi itu terjadi di Indonesia saat ini, para kelompok berjuis dan keluarga serta kroninya ”berlomba” merambah dunia politik sebagai pejabat public, fenomena kedekatan berjois dan dunia politik bukan hal baru. Pada era Orde Baru sejumlah pengusaha menduduki berbagai jabatan publik, dalam mewjudkan hubungan antara Pemerintah dan rakyat.

Kaum berjuis, saling memperkuat dengan kekuatan financial yang kuat,  menyebabkan melemahnya dan meminimalkan kemunculan tokoh “pemimpin yang memimpin” dan/atau “wakil yang mewakili”, dimana Pemimpin yang memimpin dan wakil yang mewakili dengan nilai ketokohan yang telah teruji dinantikan kelahiran dan kemunculan di tengah masyarakat saat ini, merupakan harapan hampa.

Hubungan antara pemerintahan (state) dengan rakyat/warga Negara (society) berada alam tatanan bingkai interaksi politik dalam wujud organisasi Negara, hubungan tersebut dalam bungkusan yang indah namanya  “demokrasi”. Bahwa demokrasi  menjadi cara terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern, merupakan instrumen universal, namun juga memiliki karakteristik ideografis seperti demokrasi liberalis, demokrasi sosialis dan bahkan demokrasi Pancasila, di Indonesia demokrasi diimplemntasikan dalam demokrasi dalam lingkup negara dan demokrasi lokal.

Sistem politik daerah yang dikenal dengan demokrasi local salah satunya di wujudakan dengan Pemilihan Kepala daerah dan Legeslatif secara langsung baik Propinsi maupun Kabupaten/kota, yang merupakan sub system dari sistem politik nasional dalam tatanan berbangsa dan bernegara.

Baca juga:  Dibatasi Israel, 50.000 Warga Palestina Berhasil Tarawih di Masjid Al Aqsa

Sesungguhnya demokrasi adalah sebuah system untuk mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang diimplementasikan dalam penyelengaraan Negara dari eksekutif, legeslatif dan yudikatif bekerja dan berbuat untuk Negara dalam hal ini “Pemilik Negara” yaitu Rakyat, karena kedaulan rakyat, dengan indicator keberhasilan adalah pada tatanan ekonomi yang mapan di tingkat masyarakat sebagaimana yang diimpikan oleh Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea terakhir “…….serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini didukung oleh Pernyataan Surya Paloh (Metro TV, senin, 1 februari 2010, jam 18;02 wib) “Berulang kali dan dimana saja saya katakan. Demokrasi itu bukan tujuan, demokrasi itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan,” kata Surya Paloh saat berpidato dalam pendeklarasian Ormas Nasionalis Demokrat di Istora Senayan Jakarta, Senin (1/2-2010) sore, bahkkan ditambahkan oleh beliau “tidak ada gunanya demokrasi kalau tidak menghantarkan kepada kesejahteraan sosial yang lebih baik. Keadilan sosial yang lebih baik. Kehidupan yang lebih nyaman serta mendorong persatuan dan kesatuan”

Justru yang terjadi di Indonesia, malah apa yang dikatakan oleh Mahattir Muhammad dalam sebuah pernyataan “Kalau saya disuruh memilih antara hidup dalam suasana demokrasi, tetapi sulit mencari makanan, dengan hidup dalam situasi hak-hak pribadi dibatasi, tetapi bisa dapat bekerja, gampang carai makan, masih bisa nabung, maka saya akan lebih memilih hidup dengan beberapa pribadi saya dibatasi “

Lalu apa persoalan mendasar, sehingga apa yang seharusnya menjadi tujuan sebuah demokrasi tersebut tidak tercapai, apakah sistimnya yang salah atau pelaksanaannya yang salah.

Baca juga:  Toke Rokok Illegal Diduga Oknum Aparat “BS", APH Tutup Mata, Biaya Pengamaan pun Mengalir

Demokrasi lokal yang diwujudkan dalam pemilihan legeslatif dan eksekutif di daerah, terutama pemilihan kepala daerah, merupakan sebuah momentum yang memerlukan sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan besar dalam pelaksanaannya. Pertanyaan ini berkaitan dengan demokrasi partisipatoris yang akan dilakukan, betapa tidak, pemberian kedaulatan rakyat daerah pada elitnya masih diwarnai ketidakjelasan, baik dari prosedur kerja penyelenggara maupun peserta dan posisi pemilihnya, karena demokrasi local dibangun untuk memberikan peluang yang menjadi impian dari rakyat di daerah dalam pemberian legitimasi

Lalu apa lacurnya, Pilkada langsung justru menimbulkan banyak hal negative dalam upaya mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat sulit dicapai, karena untuk menjadi Pimpinan daerah mengahruskan cost dan money politik yang luar biasa, tentunya membawa implikasi pada tatan bagaimana mengembalikan cost dan money politik yang telah dikeluarkan, yang tentunya akan melakukan pembangunan yang berorientasi pada guna proyek dengan mengabaikan manfaat proyek, mengeksploitasi SDA tanpa melihat nilai-nilai lingkungan dan nilai ekonomi tidak langsung yang akan mengorbankan masyarakat dan lingkungan jangka panjang. Seterusnya penempatan SKPD atau Kepala Dinas beserta perangkat daerah tidak berdasarkan keahlian (zaken cabinet) namun berorientasi kepada balas jasa dan balas budi kepada tim pendukung dengan tetap berpegang kepada berapa banyak kemungkinan pengembalian Invetasti Politik kepada Kepala Daerah.

Dengan tatanan yang tercipta dalam sistim demokrasi tersebut, pembangunan Kesejahteraan masyarakat menjadi bagian yang terlupakan, karena dasar pembangunan tidak berdasarkan kepada kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan walaupun itu menjadi “jualan kampanye”, melainkan berorientasi berapa banyak financial benefit yang direoleh, fakta saat ini, bahwa kemiskinan memang turun, tetapi bukan turan dalam jumlah, melainkan turun ke anak cucu kita.

Baca juga:  Tercium Praktik Permainan Penjulan LPG 3 Kg di Bumi Sakti Alam Kerinci

Memang kita harus menyadari, bahwa kepentingan Parpol penguasa di pusat/daerah terhapa kemenangan Pimpinan Daerah/Pimpinan Nasional tidak bisa dipungkiri sebagai sebuah asset partai uantuk mendukung kelancaran perjalanan partai, baik melalui kebijaksanaan atau kebijakan yang mengarah pada benefit ke Parpol penguasa sangat tinggi, sehingga sinkronisasi Programn Pembanguan dari Pusat sampai ke Daerah, jelas tidak akan mungkin terjadi, karena secara nasional Pimpinan Nasional adalah Partai democrat, sedangkan di daerah tentunya terdiri dari berbagai Parrtai pemenang, yang memiliki agenda yang sama tahun 2014, tentunya kesengajaan untuk ketidak sinkronisasi memang hal yang diskeneriokan.

Memang banyak pemikir dan ahli mengatakan “bahwa untuk terwujudnya suatu demokrasi yang baik, dibutuhkan sebuah proses yang panjang dan biaya yang tinggi”, apakah kalimat pembenaran tersebut membenarkan penciptaan kesengsaraan dan penderitaan masyarakat ?

Mari kita lihat dan evaluasi sistim demokrasi dalam pilkada langsung saat ini, sangat sedikit yang berjalan dengan damai, sangat banyak yang membuahkan hasil perpecahan kelompok, penciptaan kemiskinan, koruposi, bahkan Disintegrasi juga muncul.

Dan sangat banyak tokoh yang muncul bukan karena ketokohan, melainkan muncul menjadi calon pemimpin bahkan pemimpin karena populis dan harta serta kekayaannya, harus disadari bahwa tokoh kepemimpinan yang menjadi “pemimpin yang memimpin” dalam artian “melayani” bukan “dilayani” seperti kebanyakan “pemimpin di Jawa”, tidak dilahirkan, melainkan lahir melalui proses seksesi alami yang membutuhkan waktu yang cukup lama.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button