Undang –Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu Tertua Di Dunia
Undang –Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu Tertua Di Dunia
Laporan: Buhari.R.Temenggung
Tanjung Tanah merupakan salah satu dusun yang temasuk dalam wilayah bekas Kemendapoan Seleman. Dan sesuai dengan kesepakatan dan musyawarah masyarakat Tigo Luhah Tanjung Tanah maka pada tanggal 2-3 Januari 2016 telah di laksanakan acara ritula adat Kenduri Sko
Menurut Suhardiman,SH /Pemerhati Budaya dan Mantan Sekjen PB IMKI ternyata di Tanjung Tanah ada satu yang menarik dan patut di simak bahwa di Luhah Depati Talam Wilayah adat Tigo Luhah Tanjung Tanah hingga saat in masih tersimpan Naskah Melayu Tertua di dunia yang dikenal dengan Undang Undang Tanjung Tanah
Naskah Melayu tertua di dunia tersebut hingga saat ini masih dirawat dan termasuk salah satu benda budaya yang telah diwarisi secara turun temurun oleh satu generasi ke generasi berikutnya, dan peninggalan budaya itu pada setiap periode selalu di turunkan untuk dibersihkan dan diperlihatkan kepada segenap anak jantan dan anak betino yang ada di dalam luhah masing masing”Kata Suhardiman,SH”
Berdasarkan hasil penelitian Uli Kozok di Tanjung Tanah ditemui “Kitab Undang Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang tertua”. Sebelumnya naskah melayu tertua adalah dua surat berhuruf Jawi, bertanggal tahun 1521 dan 1522 M yang di tulis oleh Sutan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja Portugal.
Kedua surat itu mampu bertahan selama hampir 500 tahun karena di simpan dalam arsip nasional di Lisabon – Portugal, naskah tersebut disimpan secara aman jauh dari ancaman bencana alam dan hawa lembab dan panas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Petrus Voorhoeve (1941) dan Uli Kuzok (2002) di Desa Tanjung Tanah yang berada di wilayah ex Kemendapoan Seleman (sekarang Kecamatan Danau Kerinci, Pen) terdapat Naskah Kuno yang di tulis pada daluang yang berumur ratusan tahun dan masih tersimpan utuh dan dirawat oleh masyarakat adat di Desa Tanjung Tanah.
Putri Yatna Sari Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Negeri Andalas (UNAND) Padang dalam diskusi di Baheoun Buloeuh Seleman bersama Buhari R.Temenggung penerima PIN Emas dan Anugerah Kebudayaan Tingkat Nasional mengemukakan bahwa berdasarkan informasi dan literatur yang dibaca menyebutkan bahwa Naskah Kuno di Tanjung Tanah berisikan undang-undang, namun Naskah di Tanjung Tanah berbeda dengan naskah-naskah lainnya, Naskah Kuno Tanjung Tanah tidak di tulis dengan huruf Jawi melainkan menggunakan aksara pasca-Palawa yang masih serumpun dengan aksara Jawa kuno.
Naskah kuno ini ditulis di atas kertas Daluang bukan kertas Rropa atau kertas Arab, berdasarkan hasil pemeriksaan Rafter Radio carbon Laboratory di Welington, dipastikan Naskah Kuno di Tanjung Tanah telah berusia lebih 6 abad.
Naskah Tanjung Tanah tidak di tulis diatas kertas, melainkan di tulis diatas daluwang, Naskah Tanjung Tanah tulisannya di mulai dari beberapa kalimat berbahasa sansekerta, dan naskah Tanjung Tanah sebagian besar di tulis dalam bahasa melayu. Naskah Tanjung Tanah teksnya berasal dari abad ke 14, dan bahasa melayu pada abad tersebut jauh berbeda dengan bahasa melayu yang digunakan saat ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah Tanjung Tanah minimal berusia seratus tahun lebih dari pada naskah yang selama ini dianggap sebagai nakah melayu tertua yakni naskah yang dari Ternate yang berhuruf Jawi dan bertanggal 1521 dan 1522 M. Naskah Tanjung Tanah berdasarkan hasil penelitian berasal dari zaman sebelum agama Islam tersebar di pelosok-pelosok alam melayu di sekitar bukit barisan.
Adanya temuan naskah Tanjung Tanah dan naskah beraksara Incung di dusun-dusun di alam Kerinci membuktikan bahwa masyarakat di alam Kerinci pada masa itu telah memiliki kebudayaan dan Peradaban yang maju.
Mengutip Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu Tertua( Uli Kozok, Ph.D Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang Tertua yang dialih Akara : Hassan Djafar, Ninie Susanti Y & Waruno Mahdi dan Alih Bahasa: Achadiati Ikram, I Kuntara Wiryamartana, Karl Anderbeck, Thomas Hunter, Uli Kozok, & Waruno Mahdi. Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Obor Indonesia dengan bantuan The Ambassador’s Fund for Cultural Preservation dan Yayasan Naskah Nusantara
Naskah Tanjung Tanah telah diteliti oleh Tokyo Restoration & Conservation Center pada Oktober 2004, dan hasilnya menunjukkan bahwa bahannya daluang (Broussonetia papyrifera Vent). Untuk memastikan bahwa bahannya memang daluang maka sampel naskah Tanjung Tanah diperiksa di mikroskop dan dibandingkan dengan dua naskah daluang lainnya serta dengan bahan lain yang juga dipakai di Indonesia sebagai bahan kain. Di antaranya termasuk sampel kain yang terbuat dari kulit kayu sukun (dari Bondowoso), dan sampel kain yang terbuat dari kulit kayu beringin yang berasal dari Tanah Toraja. Dari hasil perbandingan ciri-ciri serat diketahui bahwa naskah Tanjung Tanah memang terbuat dari daluang.
Pemeriksaan mikroskop juga menunjukkan bahwa naskah Tanjung Tanah tidak diolesi kanji, dan bahwa pada seratnya masih ada pektin serta hemiselulose. Serat kayu yang utuh selalu dibalut oleh serat larut pektin dan hemiselulose.
proses pemurnian kulit kayu daluang untuk menjadi bahan tulis kadar kedua hidrat arang biasanya menyusut sehingga tinggal serat murni. Adanya kadar pektin serta hemiselulose dalam sampel naskah Tanjung Tanah menjadi indikator bahwa proses pembuatan naskah termasuk sederhana.
Di samping itu permukaan daluang Tanjung Tanah juga termasuk kasar dibandingkan dengan naskah daluang lainnya yang diperiksa sebagai bahan pembanding. Daluang, juga disebut dluwang dan daluwang, dapat digunakan sebagai kain (tapa) atau sebagai bahan tulis. Di dahulu kala daluang sangat luas digunakan sebagai kain pakaian, dan yang paling terkenal ialah tapa yang digunakan oleh penduduk kepulauan Polynesia di Lautan Teduh (Pasifik).
Daluang juga luas digunakan sebagai kain pakaian di Indonesia, terutama di Jawa dan di Indonesia bagian timur. Diberitakan bahwa pada awal abad ke-19 masih ada orang Jawa yang berpakaian daluang (Teygeler, 1995:5).
Kebanyakan naskah Jawa ditulis di daun lontar, dan daluang baru menjadi lebih dikenal sebagai bahan tulis selama abad ke-17 seiring dengan meluasnya pengaruh Islam di Jawa karena huruf jawi sulit untuk ditulis pada daun lontar.
Produksi daluang makin meningkat di zaman VOC yang turut menggunakan daluang karena persediaan kertas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan yang makin meningkat.
Akan tetapi pada abad ke-19 kertas sudah tersedia secara umum dan produksi daluang makin menurun sehingga menjadi hampir punah. Sekarang pohon daluang sudah sulit ditemukan di Jawa, apalagi di Sumatra.
Bagaimana keadaan di zaman dahulu tidak diketahui. Boleh jadi bahan untuk naskah Tanjung Tanah diimpor dari Jawa, tetapi hasil penelitian Tokyo Restoration & Conservation Center mengisyaratkan bahwa daluang itu barangkali merupakan produksi setempat karena mutunya tidak seimbang dengan daluang yang dihasilkan di Jawa.
Daluang yang hendak digunakan sebagai kertas tulis perlu melalui berbagai tingkat penghalusan, termasuk pemeraman yang memakan waktu lama dan prosedur perataan yang berulang kali dilakukan sehingga bahannya menjadi benar-benar halus. Untuk memperoleh hasil yang maksimal hanya kulit kayu dari pohon yang masih muda diambil sementara pohon yang sudah tua hanya dapat digunakan sebagai kertas pembungkus,
Bahan naskah Tanjung Tanah ternyata tidak melalui prosedur yang sangat rumit, tetapi sifatnya yang agak kasar dibandingkan dengan daluang halus buatan Jawa mungkin karena teknologi pembuatan kertas pada zaman itu belum semaju dengan yang ada di Jawa di abad ke-17. Boleh jadi bahwa di abad ke-14 teknologi pembuatan daluang di Jawa pun tidak lebih maju daripada yang di Sumatra.
Kesimpulannya, tidak dapat dipastikan apakah bahan daluang Tanjung Tanah didatangkan dari Jawa atau merupakan penghasilan setempat, namun penulis lebih cenderung menganggapnya sebagai produksi lokal karena pada zaman itu di Jawa kebanyakan naskah ditulis di lontar sementara pohon lontar tidak tumbuh di Sumatra bagian selatan karena curah hujan terlalu tinggi.
Tentu saja hal ini tidak menjawab pertanyaan mengapa naskah Tanjung Tanah ditulis di daluang dan tidak di bambu, atau di tanduk kerbau yang merupakan bahan tulis yang paling umum di Kerinci. Hal tersebut tentu berkaitan dengan pengaruh Jawa yang sudah sejak abad ke-13 atau malahan sebelumnya merembes ke Sumatra bagian selatan. Adityawarman yang pernah menjadi mantri praudhataro di istana Majapahit pasti sangat terpengaruh dengan budaya Jawa dan ingin menerapkan gaya kerajaan seperti di Jawa di dalam kerajaannya.
Hal ini tentu tidak berarti bahwa kerajaan Malayu semata-mata mencontoh Majapahit, tetapi memilih unsur-unsur yang dianggapnya sesuai dan yang dapat memperkuat kedudukan sang Maharajadhiraja sebagai penguasa mutlak. Kalau menulis di bambu dan tanduk kerbau sudah menjadi tradisi kerakyatan dengan menggunakan aksara setempat seperti aksara Kerinci maka sang raja dan para pegawai tinggi merasa perlu membedakan dirinya dari rakyat biasa dengan menggunakan aksara dan bahan tulis yang berbeda.