
Pendahuluan
Pemberian abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Thomas Trikasih Lembong dalam
kasus korupsi impor gula membuka babak baru dalam sejarah hukum Indonesia. Keputusan ini
menimbulkan perdebatan sengit antara legitimasi konstitusional dan moralitas hukum. Secara
formal, abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2)
UUD 1945, namun secara substantif, keputusan tersebut menguji batas antara kekuasaan eksekutif dan independensi peradilan.
Kerangka Yuridis Abolisi
Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan DPR.” Norma ini kemudian dijabarkan dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, yang mengatur
bahwa abolisi dapat diberikan untuk menghapus proses hukum pidana terhadap seseorang atas pertimbangan politik negara.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2025, Presiden Prabowo menyatakan bahwa seluruh proses hukum dan akibat hukumnya terhadap Tom Lembong ditiadakan. DPR sebelumnya telah memberikan pertimbangan dan persetujuan atas permohonan tersebut. Dari segi formil, tindakan Presiden konstitusional dan sah secara hukum positif.
Namun, pertanyaan krusial muncul: apakah pemberian abolisi kepada seseorang yang telah divonis dalam kasus korupsi memenuhi prinsip equality before the law dan rule of law sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945?
Alasan dan Pertimbangan Pemberian Abolisi
Berdasarkan penjelasan pemerintah dan dokumen resmi, beberapa alasan utama pemberian abolisi adalah:
Tom Lembong dianggap tidak menikmati hasil korupsi berdasarkan pertimbangan hakim dalam vonis pengadilan (Detik, 2025).
Kebijakan impor gula yang menjadi objek perkara dianggap sebagai kebijakan negara, bukan tindakan pribadi.
Presiden menilai abolisi diperlukan untuk “kepentingan negara dan keadilan substantif.”
Secara yuridis, alasan ini memiliki kemiripan dengan konsep political offense—yakni tindak pidana yang lahir dari keputusan politik, bukan niat jahat personal (mens rea). Namun, dalam konteks korupsi, kategori tersebut problematis karena korupsi adalah extraordinwry crime yang seharusnya tidak tunduk pada pengampunan politik.
Analisis Kritis: Benturan Prerogatif dan Rule of Law
Dari sudut pandang teori hukum tata negara (Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 1915), rule of law menuntut bahwa setiap warga negara, termasuk pejabat tinggi, tunduk pada hukum yang sama. Pemberian abolisi kepada seorang terpidana korupsi, meskipun sah secara konstitusional, menimbulkan disharmoni substantif antara supremasi hukum dan hak prerogatif.
Kontradiksi ini juga berimplikasi pada prinsip independence of judiciary. Ketika Presiden dapat menghapus putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka otoritas lembaga peradilan berpotensi tereduksi. Jika praktik ini berulang, ia akan menciptakan precedent of iimpunity—bahwa pejabat yang dekat dengan kekuasaan dapat dibebaskan dari jerat hukum melalui Keppres.
Perbandingan Internasional
Dalam sistem presidensial di Amerika Serikat, Presiden memiliki kewenangan pardon (U.S.Const., Art. II, Sec. 2), tetapi tidak dapat membatalkan seluruh proses hukum (abolition ofprosecution).
Pengampunan hanya berlaku setelah vonis dan tidak menghapus kesalahan
pidana.
Di Korea Selatan, Presiden Kim Dae-jung pernah memberi amnesti kepada sejumlah pejabat korup, namun dilakukan melalui proses konsultasi publik dan laporan ke Majelis Nasional, dengan tujuan rekonsiliasi nasional.
Sedangkan di Prancis, droit de grâce hanya mengurangi masa hukuman tanpa menghapuskan putusan pengadilan.
Dari ketiga model tersebut, tampak bahwa abolisi total terhadap perkara korupsi individu merupakan langkah yang jarang, bahkan dianggap tidak sesuai dengan prinsip negara hukum modern.
Dampak terhadap Sistem Pemberantasan Korupsi
Secara praktis, abolisi Tom Lembong menimbulkan tiga dampak besar:
Erosi Deterrence Effect Pemberian abolisi terhadap pelaku korupsi menurunkan efek jera. Pesan moral kepada pejabat
publik menjadi kabur: bahwa kesalahan kebijakan bisa diampuni secara politik.
Menurunkan Kepercayaan Publik terhadap Penegak Hukum Publik dapat memandang bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki akses politik. Hal ini mencederai kepercayaan terhadap institusi seperti KPK, Kejaksaan, dan MA.
Menjadi Preseden Politik
Jika abolisi digunakan tanpa batas, setiap pemerintahan berikutnya bisa menjadikan mekanisme ini sebagai instrumen proteksi politik, bukan keadilan hukum.
Rekomendasi Reformasi
Untuk mencegah penyalahgunaan di masa depan, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Revisi UU Darurat No. 11 Tahun 1954, dengan menambahkan batasan eksplisit bahwa abolisi tidak dapat diberikan terhadap extraordinary crimes seperti korupsi, terorisme, dan pelanggaran
HAM berat.
Mekanisme Uji Publik DPR sebelum persetujuan abolisi, agar transparansi pertimbangan dapat diaudit secara sosial dan politik.
Kewenangan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi, untuk menguji apakah Keppres abolisi selaras dengan prinsip constitutional morality.
Publikasi resmi pertimbangan hukum Presiden, agar masyarakat mengetahui rasionalitas keputusannya.
Kesimpulan
Abolisi terhadap Tom Lembong merupakan keputusan yang sah secara formil tetapi menimbulkan dilema etik dan yuridis yang serius. Dalam konteks negara hukum modern, keadilan tidak boleh diukur dari kedekatan dengan kekuasaan, melainkan dari kesetaraan di hadapan hukum.
Presiden sebagai pemegang hak prerogatif harus memastikan bahwa penggunaan wewenang tersebut tidak menjadi simbol impunitas, melainkan pengejawantahan tertinggi dari keadilan substantif. Tanpa pembatasan yang jelas, abolisi semacam ini berisiko menjadi jalan pintas politik yang mengikis integritas sistem peradilan.
Daftar Pustaka (Harvard Style)
Dicey, A. V. (1915). Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London: Macmillan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Detik.com (2025). Perjalanan Tom Lembong Divonis hingga Dapat Abolisi.
Antaranews (2025). Isi Keppres Nomor 18 Tahun 2025 tentang Pemberian Abolisi terhadap Tom
Lembong.
Media Indonesia (2025). Abolisi Hanya untuk Tom Lembong, Proses Hukum Tetap Berlanjut.
U.S. Constitution, Article II, Section 2.
Constitution of the Republic of Korea, Article 79.
French Constitution of 1958, Article 17




