
Anak yang Menjual Diri: Korban, Bukan Pelaku
Ketika Anak Menjual Diri: Negara Harus Datang Menyelamatkan, Bukan Mengadili
Oleh: Ferwinta Zen (Lawyer dan Pemerhati Hukum Pidana Anak)
Di banyak kota dan dunia maya, kini muncul fenomena yang menyayat hati: anak-anak dibawah umur yang secara sadar menawarkan diri untuk melakukan hubungan seksual demi uang. Mereka menegosiasikan tarif, memilih pelanggan, dan tampak tahu apa yang mereka
lakukan. Tapi apakah kesadaran itu sungguh-sungguh lahir dari pilihan bebas?
Pertanyaan itu mengguncang nalar moral dan menantang logika hukum.
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang TPPO Nomor 21 Tahun 2007 menegaskan hal yang tak bisa ditawar:
“Setiap anak di bawah 18 tahun yang dieksploitasi secara seksual tetap korban, meskipun melakukannya secara sadar.”
Pasal 13 UU TPPO bahkan menyebutkan bahwa persetujuan anak tidak menghapuskan tindak pidana perdagangan orang.
Hukum kita tidak mengenal istilah “pelacur anak”, yang ada hanya anak korban eksploitasi seksual.
Belajar dari Amerika Serikat
Amerika Serikat pernah menempuh jalan keliru: menahan anak-anak yang terlibat prostitusi sebagai pelaku. Tapi sejak diberlakukannya Trafficking Victims Protection Act (TVPA) tahun 2000, paradigma itu berubah total.
Hukum federal kini menegaskan bahwa setiap anak di bawah 18 tahun yang terlibat dalam aktivitas seksual komersial adalah korban perdagangan manusia, tanpa harus dibuktikan unsur paksaan.
Negara-negara bagian seperti New York, California, dan Texas kemudian membentuk Safe Harbor Laws — aturan yang melarang polisi memidanakan anak dalam kasus prostitusi.
Mereka harus diselamatkan, bukan dihukum. Fokus aparat kini diarahkan pada pelaku dewasa, pengguna jasa, dan jaringan yang memperdagangkan anak.
Indonesia Perlu Beranjak ke Arah yang Sama
Indonesia sejatinya sudah berada di jalur itu, tapi masih setengah hati. Di lapangan, masih ada aparat yang memperlakukan anak korban eksploitasi seolah pelaku.
Padahal semangat hukum kita sudah jelas: melindungi, bukan menghukum.
Negara harus membangun kebijakan Safe Harbor versi Indonesia.
Begitu anak ditemukan dalam situasi eksploitasi, ia harus segera diarahkan ke lembaga perlindungan sosial, bukan ke ruang interogasi.
Kementerian Sosial, Polri, dan lembaga PPA mesti bergerak terpadu menyediakan rumah aman, pendamping hukum, dan terapi pemulihan psikologis.
Dan yang tak kalah penting: hukum harus menelusuri rantai uang di balik eksploitasi ini — pihak-pihak yang membiayai, memfasilitasi, atau mengambil keuntungan dari tubuh anak.
Bukan Anak yang Harus Dihukum
Anak yang menjual diri bukan pelaku dosa, melainkan korban dari dosa sosial kita: kemiskinan, ketimpangan, dan kelalaian orang dewasa.
Hukum harus berpihak pada yang paling lemah, bukan yang paling bersalah.
Negara beradab bukan diukur dari seberapa keras ia menghukum, tetapi seberapa dalam ia melindungi mereka yang tidak mampu membela dirinya sendiri.
Anak tidak pernah bisa setuju untuk dieksploitasi. Karena persetujuan di bawah tekanan ekonomi, bukanlah kehendak bebas — itu adalah jeritan yang terselubung.
Ferwinta zen




