Pariwisata/Budaya

Maqom Bukit Keramat

Oleh Alhendra Dy (Puisi akhir untuk istriku)

Sudahlah !

Tak perlu lagi engkau bacakan puisi kusam ini.

Tiada siapa yang akan mendengarkannya,

tak kan ada,

bahkan engkau sendiripun tak suka !

Selipkan saja di kain kafanku,

untuk bekalku menghadapNya.

 

Sudahlah !!

Hentikan,

sebelum semua orang memaki

satu satu meludahi nurani,

yang pernah buta padahal tak buta,

cacat.

 

Remas kuat kertas ini,

dengan keangkuhan dendam

lemparkan ke langit Tuhan

agar burai di bintang

jadi saksi nyata .

 

Sudahlah !!!

Cukup,

sumbat saja mulut manismu itu dengan doa paling khusuk,

semogalah Tuhan luluh memutiklah sesal

lantas menggantikannya dengan kelopak kembang tujuh warna

pengharum kamar pengantin.

 

Dan puisi ini

bukankah telah lama memuisi di tanah bukit keramat,

yang juga pernah hanyut di keruhnya batang merangin,

jauh sebelum jembatan gantung di buang

aku ada di bawahnya merancang sketsa,

mengurai rasa,

menganak kata.

 

Dan puisi ini tertuang

di sepanjang batang hari,

menghilir ketika kehilir,

mudik ketika balik.

 

Dan puisi ini terjejak

di  panasnya aspal lintas,

memburu antara

rindu yang rimbun

dan kilometer yang panjang melelahkan.

 

Dan puisi ini

kerap jadi nyanyian derit ranjang,

entah malam entah siang,

entah nafsih entah nafsu,

entah marah entah rindu,

hanya hati lugu patut menjawab karena ini tabu.

 

Dan puisi ini adalah erang darah daging,

airmatanya kekal

akhirnya beku mengkristal,

tak sanggup lagi berkata kata.

Asbab cinta yang meraja,

merajah.

 

Dan puisi ini lahir dari jalan setapak broni,

dalam bujukan bohemian dan lukisan hitam putih yang memanggil.

Ahh… agustus itulah awalnya.

 

Dan puisi ini menghantarkan kita ke hadapan illah,

berjabat erat membaca lafaz Tuhan bersumpah,

begitu khidmad menjatuhkan haru,

yang ternyata bisa lusuh,

merancukan mana janji mana mangkir.

 

Dan puisi ini pun tamat,

sobeklah jadikan serpihan kecil tanpa bekas tak bersisa,

agar tak ada lagi sesuatu apa yang masih menjadikannya saksi.

Taburkan di pusara kasih,

biarkanlah angin menyapunya,

membuyarkannya,

mennerbangkannya

jauh-jauh,

entah angin surga,

entah angin neraka

pintlah angin surga,

Bukankah pernah ku rampungkan mahar untuk bidadari ?

Yang lahir dari rahim cinta ?

 

Sudahlah…

Bila tak kuat pulanglah,

katup pintu hati rapat-rapat,

jangan pernah lagi membiarkan angin nakal mengusik.

Tamatkanlah,

Kelak aku akan bacakan di hadapan kalian

istri-istriku,

anak-anakku,

nafas ku.

Pertanggung jawaban yang memberatkan,

dari seorang lelaki hina,

kalifah yang kalah.

Ramadhan I 2016-17

 

Biografi Penulis :

Alhendra Dy ( 52 tahun )

Penulis dan pelukis asal kota Bangko propinsi Jambi. Mengabdi untuk seni seumur hidupnya. Pengasuh Rumah Kreativ Merangin dan Dewan Kesenian Merangin.

Email : [email protected],

HP  : 081272172802

WA : 088276305361

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button