Opini: Demokrasi Dan Kesejahteraan
DEMOKRASI DAN KESEJAHTERAAN
(Pasca Reformasi)
Oleh Syamsul Bahri, SE (conservationist di Jambi)
Dalam rangka 20 tahun Reformasi yang telah berhasil menumbangkan rezim Orda Baru menjadi Rezim Reformasi, sesungguhnya merupakan perjuangan untuk menata kembali Negara agar lebih baik dan lebih benar, yang terwujud dalam addendum UUD 1945 beberapa kali, menjadi arah perjuangan untuk mewjudakan kesehateraan maka saya mencoba merenung dan menukiskan tulisan ini, namun apa lacurnya ????????.
Suasana perpolitikan di Indonesia menjelang Pilkada serentak tahun 2018, dan Pemilihan Umum Presiden dan Legeslatif serentak tahun 2019, semakin hari semakin cenderung lebih hangat, pada hal Pilpres dan Legeslatif akan dilaksanakankan pada tahun 2019, namun panasnya sudah dimulai lebih awal, karena masing-masing berkompetisi awal di Pilkada serentak tahun 2018, yang menjad batu loncatan untuk Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legeslatif tahun 2019.
Jika kita cermati judul tulisan diatas, sebuah kalimat yang menunjukan sebuah kekecewaan dengan kondisi Demokrasi Indonesia saat ini yaitu pasca reformasi, karena jika kita cermati arti dari sebuah demokrasi adalah berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Rakyat yang di maksud adalah bagaimana mencapai kesejahteraan rakyat melalui demokrasi, sebagaimana tujuan dari demokrasi tersebut secara umum adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur dengan mengedepankan keadilan, kejujuran dan keterbukaan. Pada konsepnya, tujuan demokrasi dalam kehidupan bernegara juga meliputi kebebasan berpendapat dan kedaulatan rakyat.
Jika kita perhatikan memang fakta bahwa sebelum reformasi korupsi memang diakui ada dan terbatas pada elite elite tertentu dari kelompok tertentu yang lebih dikenal dengan KKN (korupsi, Koncoisme dan Nepotisme) namun pascareformasi bukannya berhenti, tetapi makin menjadi-jadi.
Pasca reformasi, korupsi terkesan menjadi sebuah dogma, karena korupsi belum dapat dikebiri, pada hal salah satu mandat reformasi tahun 1998 adalah pemberantasan korupsi sebagai pendorong dan pemicu reformasi 1998, sehingga pameo atau terkesan “Kalau mau kaya, ya harus korupsi”. Dan korupsi tersebut terjadi secara masif dalam semua lini, mulai dari urusan kelas teri hingga korupsi kelas kakap yang melibatkan para pejabat negeri, bahkan hampir setiap hari masyarakat disuguhi berita tentang korupsi, baik yang diproses melalui KPK, Kejaksaan, maupun Polri sebagai lembaga yang menangani Korupsi di Indonesia.
Bahkan terkesan diawali masuk ke ranah demokrasi yang tentunya bukan rahasia lagi bahwa para calon Kepala Daerah yang bertarung dalam PILKADAL mendapatkan suntikan modal dari pemodal setelah terpilih melakukan balas budi berupa jatah-jatah proyek atau kemudahan izin usaha, apa lagi Calon merupakan dynasti politik.
Hal yang lebih menarik lagi, bahwa korupsi itu sudah masuk ke desa-desa, karena saat ini, Desa memiliki dua pendapatan terbesar, yaitu dari APBN melalui Dana Desa (DD) dan APBD melalui Alokasi Dana Desa (ADD). Dalam APBN tahun 2017 anggaran dana desa yang digelontorkan sebesar Rp 60 triliun atau sekitar 3 persen dari total APBN sebesar Rp 2.080 triliun. Dana desa tersebut didistribusikan ke sekitar 74.954 desa di seluruh Indonesia. Jika dilihat sejak UU No. 6/2014 disahkan, adanya tren peningkatan alokasi anggaran yang terjadi selama tiga tahun.
Sejak Dana Desa efektif dikucurkan tahun 2015, ICW mencatat ada peningkatan kasus korupsi terkait dengan pengelolaan anggaran desa. Ada sekitar 106 kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2015 – September 2017 dengan menetapkan sebanyak 101 Kepala Desa dan 6 Perangkat Desa. Kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi sebesar Rp 39,5 miliar.
Begitu juga Kekayaan alam yang ada di Indonesia terjajah oleh pihak asing, penguasaan SDA 80 % dikuasai asing. Hal ini nyata terlihat tatkala Indonesia masih tunduk pada mekanisme pasar bebas yang disuarakan asing, dan salah satunya dalam kebijakan migas dan perminyakan. Semua UU yang mengatur energi di Indonesia bermasalah karena dibekingi kepentingan asing.
Sepakat atau tidak sepakat Kepala Daerah baik pasangan Bupati, pasangan Walikota, pasangan gubernur, DPR dan DPRD termasuk Kepala Desa adalah produk demokrasi yang dihasilkan melalui Pemilihan langsung, baik Pilkadal maupun Pemilu di era reformasi, dan jika kita cermati korupsi yang dilakukan oleh koruptor lebih cenderung dilakukan oleh pejabat public sebagaimana data KPK hingga Mei 2012, tercatat dugaan kasus korupsi terhadap 155 (data lain menyebut angka 171) kepala daerah. Hampir sepertiga jumlah kepala daerah tersangkut kasus korupsi.
Mengerikan dan sekaligus menyedihkan Belum genap dua bulan di tahun 2018, sebanyak tujuh kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). Beberapa di antaranya berawal dari operasi tangkap tangan, bahkan di beberapa daerah setiap pemilihan Kepala daerah yang menghasilkan Gubernur, justru menjadi pasiennya KPK.
Ternyata Demokrasi PILKADAL yang menjurus pada kekuasaan berdasarkan uang dan penguasaan sepertinya semakin menjadi trend dalam Pilkadal selama ini, bahkan sampai Pilpres dan Pileg, serta PILDES yang selanjutnnya memunculkan dinasti politik, ‘politik menyusu’, politik koncoisme bahkan beberapa tokoh yang mengaku reformis banyak menempatkan keluarga, mantan pejabat, isteri, anak dan lain-lain sebagai sebagai calon Gubernur/Bupati/Walikota atau wakil yang akan duduk di eksekutif, termasuk penguasan parpol, tentunya dengan dukungan finansial dan ketokohan sang tokoh dan penguasaan dalam partai politik tertentu, yang merupakan indikasi mengembangkan demokrasi liberal (demokrasi pasar), demokrasi yang tidak “affirmative action”, memperkecil peran “civil sociaty organization”.
Yang lebih memprihatinkan bahwa korupsi yang dilakukan di proyek yang bersifat fisik rata rata di korupsi mencapai 70 persen! yang 30% sampai ke tujuan (https://www.selasar.com/jurnal/7047/KPK-dan-Korupsi-Pasca-Reformasi), sehingga kondisi fisik bangunan proyek tersebut cenderung layu sebelum berkembang, dan tidak membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat, justru membawa kemiskinan semakin melebar.
Hal itu terlihat bahwa demokrasi yang dihasilkan dari reformasi belum menyentuh pada tujuan demokrasi itu sendiri, justru terbalik, dengan demokrasi saat ini justru memperkuat dan meningkatnya kemiskinan, kemiskinan tersebut dapat terlihat dari semakin banyaknya pengangguran, melemahhnya produksi dalam negeri, barang konsumsi justru didominasi dari produk import, menurunnya daya beli masyarakat, dll
Satu hal yang pasti, negara yang gagal memberantas korupsi mustahil akan bisa menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Angka kemiskinan menunjukkan jumlah orang miskin di negeri ini mencapai 30 juta jiwa (BPS 2011). Jika ditambah dengan kelompok yang hampir miskin, jumlahnya mencapai 50 juta jiwa lebih. Memang, jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 32 juta jiwa. Namun, patut juga diwaspadai, jumlah penduduk miskin di Indonesia mempunyai kecenderungan meningkat ataupun stagnan seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Malah, dengan menggunakan standar berbeda, Bank Dunia (World Bank) menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 100 juta jiwa.
Kenapa di era demokrasi pasca reformasi yang diagung-agungkan ini, justru tujuan demokrasi itu tidak bisa tercapai dengan baik, sesuai data dan fakta yang ada, tentunya ada yang salah dari system demokrasi di Indonesia saat ini, maka jelas sekali bahwa saat ini diperlukan perjuangan yang ulet dan konsisten untuk membawa bangsa Indonesia pada jalan yang mengarah pada tujuan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat Adil dan Sejahtera berdasarkan Pancasila.
Nah dari uraian tersebut diatas tentunya kita coba analisa apakah Demokrasi di Indonesia pasca Reformasi saat ini bisa mewujudkan tujuan demokrasi sampai saat ini, mari secara bertahap kita coba sampaikan berkaitan dengan kemiskinan, kemiskinan di Indonesia tahun 2017 menurut Asian Development Bank Populasi yang hidup dibawah garis kemiskinan adalah 10,9%; 10,4% populasi pekerjanya berpendapatan di bawah paritas daya beli $1,90; Dari 1000 bayi yang lahir di Indonesia, 23 di antaranya meninggal sebelum usia 1 tahun. Sedangkan tahun 2016 penduduk Populasi yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan 10,86 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Dari uraian tersebut diatas, sesungguhnya adalah sebuah dampak atau akibat dari sebuah sistem yang dianut, bahwa sistim yang dianut di indonesia saat ini adalah sistem Demokrasi langsung, baik Pilpres, Pilkada langsung Pildes langsung yang menciptakabn biaya politik dan money politik tinggi, dan biaya politik dan money Politik dianggap sebuah investasi Politik, tentuntya sebuah investasi akan dirancang untuk bagaimana mengembalikan modal bahkan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam kekuasaan setelah memenangkan Pemilihan langsung tersebut.
Secara kenyataan di lapangan, Pemilihan Kepala Daerah yang melalui mekanisme Pemilihan langsung, terkesan sebagai bentuk perwujudan ”bursa kerja” dengan membuat persyaratan yang lebih besar seperti harus melalui Perahu Politik atau jalur Indepedent. Jelas untuk mendapatkan perahu politik dengan ”Perahu Pesiar” tentunya dengan biaya mahal dan itu merupakan sebuah kesepakatan yang diamini secara tidak tertulis oleh para Balon dan Para penguasa Partai, begitu juga dengan biaya kampanye, sosialisasi, biaya saksi, dan serangan (X), biaya tim sukses yang kesemuanya dikemas dengan biaya politik dan money politik tentunya dengan biaya yang sangat tinggi yang disebut dengan ”Investasi hitam”, karena kecenderungan untuk kalah lebih besar, maka investasi ini dinamakan Investasi spekulatif atau investasi hitam.
Investasi spekulatif yang demikian besar, jika sang Calon terpilih untuk menjadi Kepala Daerah, tentunya pola pikir baik sang Kepala daerah maupun tim pendukung sama-sama melihat peluang untuk mengembalikan Investasi dan keuntungan serta peluang-peluang transaksi jabatan, dimana jabatan tidak lagi dipandang sebagai sebuah nilai yang namanya ”prestasi secara profesional”, melainkan jabatan dipandang sebagai sebuah nilai jual yang mengasikan, termasuk permainan proyek dan permainan kebijakan yang berlandaskan dalam permainan Hukum dan Perda dalam sebuah pemerintahan, kondisi ini lebih dikenal menjamurnya KKN dalam sebuah Pemerintahan yang saling memahmi dan saling menutupi.
Kondisi ini melahirkan proses pembangunan tidak berjalan sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas, namun proses pembangunan lebih diarahkan bagaimana agar pengembalian Investasi hitam atau Investasi spekulatif dan keuntungan segera kembali melalui mekanisme yang jelas melanggar ketentuan yang ada.
Begitu juga dengan Pemilihan anggota DPR/DPRD kondisi yang sama, dengan biaya dan money politik yang besar merupakan Investasi hitam atau Investasi spekulatif dan keuntungan segera kembali melalui mekanisme yang jelas melanggar ketentuan yang ada. Tentunya dengan kekuasaan yang cukup besar yang dimiliki oleh anggota legeslatif, dan bermain diwilayah anggaran, dengan memperjuangkan pembangunan berdasarkan kepentingan politik, bukan memperjuangkan pembangunan berdasarkan kebutuhan dan scala prioritas, untuk mendapatkan nilai-nilai ekonomi.
Kondisi ini yang merupakan dampak dari sebuah sistem demokrasi yang memberi peluang dan kesempatan untuk bermain dalam Investasi hitam dan spekulatif, sehingga kemunculan pemimpin tidak berdasarkan ketokohan, melainkan kemunculan pemimpin dikarenakan transaksi financial disepakti atau tidak disepakti menjadi problem mendasar ketidak berdayaan masyarakat atau kemiskinan secara ekonomi maupun non ekonomi.
Kondisi ini diperparah dengan belum terwujudnya Hukum sebagai panglima, sedangkan dalam proses ketatanegaraan yang menonjolkan politik sebagai panglima, bahkan menjurus kepada ketidakadilan ekonomi, hukum, politik, lingkungan, terkesan segala sesuatu diatur dengan kekuatan politik dan uang.
Implikasi kemiskinan terstruktur, secara faktual dapat lihat bahwa negara Indonesia sebagai negara agraris dan negara maritim, namun sungguh Ironis, kita masih belum mampu menyediakan secara mandiri kebutuhan pangan untuk rakyatnya, sampai saat ini impor beras, daging, susu, garam terus berlangsung.
Seharusnya nilai ”Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakya Indonesia ” Pancasila sile ke 5 bukan lagi menjadi bagian dari tujuan, justru keadilan sosial tersebut seharusnya terwujud dan dinikmati, namun kenyataannya saat ini semakin jauh, hal ini dapat kita lihat, semakin hancurnya infrastruktur, lingkungan, kemiskinan, mutu pendidikan, kesehatan.
Agar ketidak berdayaan ini jangan berlanjut, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang betul-betul berpihak pada kepentingan pembangunan dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial sebuah penggalan kalimat yang dimaknai sebagai sebuah kemandirian dalam ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kehidupan yang sejahtera.
Adapun kebijakan startegis yang dibutuhkan mendesak yaitu pengkajian kembali sbb :
Sistem demokrasi politik langsung yang cenderung berdampak pada biaya politik tinggi atau investasi hitam atau spekulatif, yang merambah di wilayah birokrasi dan proyek pembangunan, sehingga Pelaksanaan Pembangunan lebih dipengaruhi oleh kepentingan Politik, mengabaikan nilai kebutuhan dan skala prioritas, yang membawa dampak pada pemiskinan masyarakat, dan menjamurnya korupsi disemua level, baik eksekutif maupun legeslatif, dan bertentangan dengan Pancasila da UUD 1945.
Jadikan Hukum kembali menjadi Panglima, dan selama ini hukum cenderung menjadi alat penguasa, karena saat ini Politik menjadi panglima. Dan memang disadari di Indonesia tidak dibutuhkan intelektual dan Ilmuwan, melainkan lebih dibutuhkan dan mementingkan tokoh-tokoh berbasis politik. Sehingga para Ilmuwan Indonesia lebih dihargai dan bekerja secara profesional di luar Negeri.
Kembalikan sistem perekonomian sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila, dengan meminimalkan peran asing dalam pengelolaan SDA. Sehingga SDA yang memenuhi hajat hidup orang banyak betul dikuasai negara untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Tentunya mengkaji ulang kontrak karya yang sangat merugikan Negara selama ini dapat diminimalkan.
Setelah 20 tahun era reformasi berlalu, yang betul mencapai tujuan adalah kebebasan secara politik memang banyak dirasakan oleh berbagai kalangan masyarakat bahkan anak kecilpun begitu lantang menyuarakan hal tersebut, namun akhir akhir justru cenderung ditekan. Sesungguhnya bukan hanya kebebasan berserikt dan berkumpul serta mengemukan pendapat, namun lebih substansi dari perjuanagan reformasi itu aspek kesejahteraan rakyat sejatinya merupakan tujuan utama. Nilai kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari seberapa jumlah penduduk miskin yang berada di Indonesia.
Masalah kemiskinan di Indonesia bersifat masif dan berlangsung secara terus menerus sehingga dapat dikatakan merupakan masalah struktural. Meski telah terjadi banyak kemajuan dalam rentang yang panjang sejak era orde baru hingga era reformasi, namun jumlah penduduk miskin Indonesia masih sangat signifikan.