PILKADA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROP JAMBI
(sebuah realita)
By Syamsul Bahri, SE dan Hepri Yuda, SP
(Conservationist di Jambi)
Diketahui bahwa Tahun 2015 menjadi tahun yang sangat berarti bagi Provinsi Jambi dan Kabupaten/kota lainnya, karena tahun 2015 mereupakan momentum tahun Politik untuk menyeleksi Pemimpin Daerah, baik Provinsi maupun Bupati dan Walikota yang mungkin akan menjadi pemimpin ter(baik) untuk membawa Propinsi/Kabupaten/kota akan menjadi lebih mandiri dan maju dalam pembangunan.
Pelaksanaan Pilkada dengan system terbaru sesuai UU No 1 tahun 2015 tentang Pilkada yang akan di implementasikan pertama di wilayah prop Jambi, yaitu selain pemilihan gubernur, ada 5 Kabupaten/Kota yang bakal dilaksanakan serentak di tahun ini, yaitu Bungo, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batanghari dan Sungaipenuh, yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 2015.
Momentum Pilkada ini sangat penting bukan saja menjadi ajang pemilihan pemimpin, namun yang lebih penting bagaimana pemimpin yang akan muncul dan pemimpin yang terpilih memahami kondisi yang tengah dan sedang terjadi baik ekonomi, maupun non ekonomi yang sedang menjadi trendy di Indonesia saat ini terutama untuk Propinsi Jambi, salah satu persoalan mendasar adalah persoalan lingkungan yang terkesan sangat memprihatinkan dan menjadi agenda rutin tahunan di Propinsi Jambi, terutama terkait dengan bencana bajir dan kebakaran hutan, yang merugikan secara ekonomi bahkan nyawa, dan merugikan aspek politik secara Internasional.
Dan marilah kita fahamilah bahwa Pilkada, adalah sarana dan bukan tujuan, sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah memilih pasangan pemimpin yang baik, tepat dan benar untuk mampu mewujudkan tujuan dan fungsi pembangunan yang diamanah UUD 1945, melalui upaya keselarasan, keserasian, kesimbangan, dan kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan, yang merupakan proses untuk mewujudkan visi negara yang maju, aman, damai dan sejahtera, tentunya sebuah sarana tidak mengganggu pencapaian tujuan bersama dimasing-masing wilayah yang bersinergi dengan tujuan dan visi negara.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sesungguhnya PILKADA memiliki makna penting dan strategis, karena momentum tersebut tidak hanya memberikan peluang terjadinya rotasi dan sirkulasi kekuasaan dalam pemerintahan, tapi juga peluang bagi rakyat melakukan koreksi terhadap segala kesalahan dan kekurangan dimasa lalu, untuk dapat menentukan pilihan yang tepat dan terbaik bagi kepentingan daerah masing-masing.
Marilah kita melihat kedepan serta mengajak para elite politik dan masyarakat, terutama para Balon/calon Gubenrnur, Bupati, Walikota untuk mengubah paradigma berpikir dalam memandang Pilkada, jangan lagi memandang Pilkada sebuah pertarungan hidup mati antara kelompok/kekuatan partai politik, tapi yakinilah bahwa Pilkada sebagai sebuah sarana untuk mewjudkan tujuan demokrasi, tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri
Jika kita menyimak tujuan bernegara dan berbangsa dalam UUD 1945, salah satunya adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri yang diimplementasikan untuk mejudkannya salah satunya adalah Demokrasi melalui Pilkada.
Adil dan makmur tersebut, tentunya akan menjadi acuan dan tujuan yang akan diembankan oleh kita semua terutama Balon/calon Gubernur/Bupati/Walikota sebagai visi negara yang dijadikan acuan dalam penyusunan Visi dan Misi Balon/Calon Gubernur/Bupati/Walikota sebagai bagian dari proses tawar menawar dengan masyarakat pemilik kekuasaan untuk mengajak masyarakat memilih dalam ajang kampanye yang lebih berorientasi untuk meninggalkan pola tradisional, emosional, dan money politik yang selama ini cenderung menjadi pola terstruktur dan masif dalam Pilkada.
Jika kita cermati dan perhatikan kondisi yang ada saat ini bencana banjir dan kebakaran hutan dan lahan terutama di propinsi jambi menjadi agenda tahunan bahkan bulanan, maka tujuan adil dan makmur, sangat sulit terwujud dengan kondisi alam dan lingkungan yang ada memiliki kecenderungan semakin tidak bersahabat, terlihat dari Indikator bencana yang hampir melanda, sehingga pemberdayaan ekonomi, peningkatan infrastruktur dalam rangka mewujudkan Visi Negara itu tidak akan berati, apabila dalam visi dan misi tersebut kegiatan upaya pelestarian lingkungan hidup menjadi bagian utama dalam pembangunan berkelanjutan diabaikan.
Isu lingkungan terutama global warming menjadi sebuah permasalahan global yang menjadi tanggung jawab setiap Negara, pemerintahan, rakyat, bahkan isu tersebut sudah menjadi bagian terintegrasi dari pembangunan Indonesia saat ini, dan untuk Provinsi Jambi sebagai Provinsi penyumbang asap/kabut cukup besar diantara 5 Provinsi pioritas penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, bersama dengan Propinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimatan Barat dan Tengah. Dan bencana banjir merupakan persoalan yang melanda Provinsi jambi setiap tahun.
Namun sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi Imuwan, profesional, masyarakat, balon/calon Gubernur/Bupati/Walikota baik yang sudah muncul maupun yang akan muncul, selama ini justru isu lingkungan tidak menjadi penting, dibanding isu infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan menjadi bagian dari isu yang dijadikan startegi kampanye, sedangkan isu lingkungan diabaikan, pada hal fakta yang terjadi saat ini lingkungan menjadi bagian utama penyebab kerusakan infrastruktur, gagal panen, yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin yang justru dana yang harus dikeluarkan untuk perbaikan akibat kerusakan lingkungan sangat besar.
Isu yang cenderung dan dominan yang dijadikan tema kampanye oleh para pasangan yang umumnya menjanjikan peningkatan Pemasukan Negara, PAD (pendapatan asli daerah) melalui pengembangan investasi baik perkebunan, pertambangan, dll, yang dianggap sebagai indikator keberhasilan pembangunan yaitu “pertumbuhan ekonomi”
Karena inti dari Pilar ekonomi tersebut yang tertuang dalam UUD 1945, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, (tentunya tanpa membedakan kelas) yang belum tentu bisa terpenuhi melalui indikator pertumbuhan ekonomi semata-mata, karena dipandang pertumbuhan ekonomi selama ini telah menciptakan jarak miskin dan kaya semakan jauh, sedangkan salah tujuan Pembanguan Nasional adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengentaskan kemiskinan.
Pengalaman penerapan otonomi daerah melalui Pilkada selama ini yang cenderung melahirkan “raja-raja lokal” dengan kekuatan kekuasaannya yang besar indikasi menjalin hubungan bisnis secara legal dan illegal seperti tercermin pada kasus illegal logging, pertambangan, perkebunan dll yang cenderung berada dalam wilayah KKN di indonesia seharusnya menyadarkan semua pihak akan betapa rawan masa depan lingkungan hidup, bila dalam proses Pilkada aspek kepentingan lingkungan diabaikan.
Dengan melihat posisi dan peran Pimpinan daerah, serta legeslatif semakin strategis dan menentukan, agenda lingkungan hidup seyogyanya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam Pilkada menjadi startegi yang tertuang dalam Visi dan Misi, akan sangat ideal bila sejak awal kontestan Pilkada dalam visi dan misinya memberikan porsi yang memadai terhadap pemecahan masalah lingkungan hidup di daerah setempat, karena dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya memiliki acuan serta pemahaman yang lengkap mengenai program-program pelestarian lingkungan hidup yang bakal dijalankan oleh calon yang mereka pilih.
Dengan harapan, jika peserta dan kontestan yang nyata-nyata pernah terlibat atau ikut memberi peluang terjadinya perusakan lingkungan hidup, baik melalui kebijakan-kebijakan publik, maupun dalam aktivitas usahanya (non-pejabat), sebaiknya tidak dipilih, agar persoalan yang ada tidak bertambah runyam. Untuk itu, perlu kerja sama dan sikap proaktif dari semua pihak untuk melakukan publikasi dan penyadaran kepada masyarakat agar rakyat pemilih tidak terkecoh dalam menentukan pilihannya.
Diharapkan didalam setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan oleh para pemimpin dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota, berpola pikir dengan paradigma pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa menggangu kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya, yang mencerminkan dua parameter utama: parameter ‘kebutuhan’ hari ini, dengan tetap memperhatikan kebutuhan masa yang akan datang, tidak berpikir keinginan hari ini dengan mengabaikan kebutuhan yang akan datang, terutama kebutuhan mendasar manusia.
Karena Menurut pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, bahwa bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan, peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.
Kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti. Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan, perkebunan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, kebakaran dan penyakit. Sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional terhadap pusat-pusat ekonomi yang ada di kota.
Hendaknya disadari bahwa masalah lingkungan hidup kini menjadi persoalan yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sudah saatnya semua pihak menaruh perhatian serius terhadap masalah ini. Dalam konteks itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan senantiasa berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah, sudah seharusnya penyelamatan lingkungan ikut dijadikan kriteria pokok dan prasyarat formal penentuan pejabat publik ( HYPERLINK “mailto:syamsulbahri1605@gmail.com” syamsulbahri1605@gmail.com).