Ancaman disintegrasi bangsa akibat politisasi agama bukan isapan jempol belaka. Banyak contoh tragedi pahit di belahan dunia lain akibat memperalat agama untuk memenuhi hasrat kuasa yang jelas-jelas tuna moral dan nir-adab. Tentu hal serupa tidak kita inginkan terjadi di bumi nusantara ini. Sedari awal negeri ini di-create sedemikian rupa dengan keragaman dan kemajemukan yang istimewa. Budaya, agama, bahasa, dan etnis apa pun tumbuh dan hidup dalam tapestri kebangsaan yang padu, dan itu tidak ada preseden di belahan bumi mana pun.
Sememangnya, fakta tersebut menjadi elan vital untuk terus merawat bumi nusantara ini dari para perusak atas nama apa pun, terutama pada musim politik seperti sekarang. Betapa agama oleh aktor-aktor politik selalu digunakan untuk mengeruk suara dan simpati. Loyalitas masyarakat terhadap agama dikonversi menjadi elektabilitas. Celakanya, pada batas tertentu awam kemudian memahami agama sebagaimana didefinisikan para politisi. Agama dengan wajah politis, amarah, destruktif, dan seterusnya itulah yang terbentuk di masyarakat kita. Apakah agama semacam ini yang akan kita wariskan pada generasi penerus?
Beberapa negara yang identik dengan Islam hari ini justru harus menerima kenyataan munculnya tren ‘kebencian’ terhadap agama di kalangan anak muda. Kenapa bisa terjadi demikian? Lagi-lagi karena agama diperalat untuk kekuasaan, agama diretas untuk kekerasan, dan agama dikooptasi untuk hasrat politik. Sehingga nilai-nilai luhur agama tereduksi begitu hebat, dan taktercerap oleh mereka.
Sayangnya, adegan politisasi agama yang terjadi belakangan justru diprakarsai oleh kelompok yang dianggap ‘tengah’ dalam wacana dan gerakan keislaman. Berbagai rasionalisasi dikemukakan untuk menjustifikasi sikap politik mereka. Entah itu untuk menggiring yang ekstrim ke tengah, memoderatkan yang radikal, demi ukhuwah, dan rupa-rupa dalih lainnya. Sampai-sampai harus menabrak pondasi ideologis.
Senada dengan itu, dalam sebuah kesempatan pada Launching Hari Santri 2023, ada hal menarik yang diilustrasikan Gus Yaqut Cholil Qoumas tentang KH. Hasyim Asy’ari dalam berpolitik. “Ketika NU memutuskan untuk bergabung dengan Masyumi yang isinya kelompok garis keras itu, dengan niatan agar mereka yang keras menjadi lunak berada di jalur tengah, tidak keras-keras amat. Yang menolak qunut dan tahlil, menengah menjadi moderat. Itu kenapa hadratussyeikh mau bergabung dengan Masyumi.”
Lalu Gus Men menambahkan, “Kalau ada kelompok moderat bergabung dengan yang tidak moderat berasumsi bisa mengajak yang tidak moderat, kita lihat dulu metodenya, apakah iya.”
Gagasan Menteri Agama tersebut mengajak kita untuk memahami peran agama dalam politik dan menekankan perlunya menjaga keseimbangan. Juga, penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama tidak dikompromikan atau disalahgunakan dalam politik. Agama harus tetap menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan kedamaian, keadilan, dan persatuan di tengah perbedaan.
Oleh karena itu, pada konteks ini perlu dipahami secara jeli dan presisi, apakah gerakan-gerakan semacam itu benar adanya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, wasatiah, dan sebagainya atau jangan-jangan gincu belaka, sekadar modus politik.
Pada akhirnya masyarakat awam menjadi korban dari modus-modus semacam itu. Keterbelahan sosial ialah dampak nyata dari penggunaan agama secara membabi buta, seperti yang sudah-sudah, untuk kepentingan politik. Peristiwa polarisasi di 2019 tentu tak boleh terulang di 2024, sebab hanya keledai yang jatuh di lobang yang sama.