Kerincitime.co.id, Berita Surabaya – Seorang penonton mengisahkan detik-detik kerusuhan yang berubah menjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan kepada BBC News Indonesia.
Seorang penonton laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya mengatakan ia mendengar setidaknya lebih dari 20 kali tembakan gas air mata ke arah penonton di tribun Stadion Kanjuruhan Malang.
Sedikitnya 174 orang meninggal sejauh ini.
Muhamad Dipo Maulana, 21 tahun, mengaku mendengar setidaknya lebih dari 20 kali tembakan gas air mata ke penonton yang berada di tribun Stadion Kanjuruhan.
“Suara tembakan gas air mata enggak bisa dihitung, banyak banget, kayak dor..dor..dor..dor…! Bunyinya beruntun dan cepat. Suaranya benar-benar kencang dan diarahkan ke semua tribun,” ujar Dipo kepada wartawan BBC News Indonesia Quin Pasaribu, Minggu (02/10) kemaren.
Dipo berkata, suasana di dalam stadion selama pertandingan berlangsung relatif aman karena tidak ada suporter tamu yang datang.
Meskipun katanya, jumlah penonton membludak bahkan di luar stadion sampai dipasang layar lebar.
Begitu laga berakhir, beberapa penonton yang diduga dari tribun 9 dan 12 turun ke lapangan karena kecewa dengan hasil kekalahan 3-2.
“Perasaan Aremania pasti sakit, kecewa. Apalagi ini lawan Persebaya, jatuhnya harga diri, benar-benar emosi lah,” sambung Dipo.
Mulanya, menurut pengamatan pemuda 21 tahun ini, sekitar enam penonton yang masuk ke lapangan dan mendekati pemain Arema untuk meluapkan protes.
Tapi langsung dicegat polisi, kemudian dipukul sampai jatuh.
Melihat kejadian itu, kata Dipo, penonton di tribun 12 yang turun ke lapangan semakin banyak karena tidak terima kawan mereka dipukuli.
Situasi pun, berubah panas, kata Dipo.
“Satu tribun itu nyorakin polisi karena ada penonton dipukul. Terus makin banyak yang turun. Polisi yang bawa anjing, tameng, dan ada tentara maju ngelawan. Aremania sempat mundur, tapi ada beberapa yang ketinggalan dikepung polisi, diinjak, dijambak.”
“Makin panas kondisi. Jadi saling serang, maju mundur gitu kayak di video yang beredar.”
Tak lama setelah aksi saling serang tersebut, polisi menembakkan gas air mata.
Pertama kali, menurut Dipo, diarahkan ke tribun 12 yang berada di sebelah selatan belakang gawang. Setelahnya, “merata ke semua tribun ditembak [gas air mata]”.
“Saya saat itu posisinya di tribun VIP yang tidak kena tembakan gas air mata saja mata rasanya panas, pedih.”
Dia menggambarkan situasi di dalam stadion, seperti kebakaran karena asap membubung.
Dipo juga menyaksikan bagaimana orang-orang kocar-kacir, panik, dan berusaha keluar dari stadion setelah terkena gas air mata. Bahkan ia melihat ada yang tergeletak tak sempat menyelamatkan diri. Padahal di tribun, banyak anak-anak dan orang tua, perempuan, dan anak muda.
Di luar stadion, kondisinya tak lebih baik. Ia melihat satu mobil polisi dan truk dibakar.
Seorang polisi juga dikeroyok dan tak ada yang membantu untuk memisahkan.
Kepolisian – melalui Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan – ada dua fokus yang akan dilakukan polisi yaitu membantu tim medis agar korban meninggal tidak bertambah dan membantu identifikasi korban.
Kerusuhan sepak bola ini adalah salah satu yang paling parah dalam bencana sepak bola.
Pada 1964, 320 orang meninggal dan lebih dari 1.000 luka-luka dalam insiden terinjak-injak dalam kualifikasi Olimpiade antara Peru dan Argentina di Lima.
Pada 1985, 39 orang meninggal dan 600 luka-luka di stadion Heysel, Brussels, Belgia setelah rubuhnya tembok dalam final Piala Eropa antara Liverpool dan Juventus.
Di Inggris, peristiwa terinjak-injak di Stadion Hillsborough di Sheffield, menyebabkan 97 fans Liverpool meninggal dalam final Piala FA melawan Nottingham Forest. (Irw)
Sumber: Kumparan.com