Kejanggalan Rekonstruksi Kasus Laskar FPI Versi Kontras
Kerincitime.co.id, Berita Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai terdapat sejumlah keganjilan dalam rekontruksi atau reka ulang atas tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap enam anggota Laskar FPI. Salah satunya, berkaitan dengan salah satu keterangan dari kepolisian yang menyebut kematian enam anggota FPI terjadi di dalam mobil.
“(Terlepas benar atau salah) adalah dead in custody. Bagaimanapun juga tujuan awalnya ialah mengejar informasi dari terlapor yakni HRS. Namun, berujung pada kematian 6 orang pendamping,” kata Wakil koordinator KontraS bidang Riset dan Mobilisasi, Rivanlee Anandar kepada Republika, Rabu (16/12).
Kejanggalan lain, lanjut Rivanlee, bila dituduh melawan di dalam mobil lalu ditembak hingga meninggal, Kontras menilai, laskar FPI tentunya tidak memiliki persiapan. Namun, dalam rekonstruksi disebutkan, enam orang anggota FPI disebut membawa samurai atau celurit.
Selain itu, Kontras juga menyoroti soal polisi yang tidak mengundang pihak korban, dalam hal ini FPI, dalam rekonstruksi tersebut. Kontras sendiri mendapat undangan dari pihak kepolisian untuk mengikuti rekonstruksi. Namun, Kontras menolak undangan tersebut dengan alasan independensi.
“Kontras sebagai lembaga juga diundang, namun terkesan terburu-buru. Kami khawatir proses rekonstruksi mengalami banyak kejanggalan-kejanggalan lain,” tuturnya.
Dikonfirmasi terpisah, Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengapresiasi kepolisian yang melakukan rekonstruksi secar terbuka. Namun, dalam catatan PBHI, terdapat beberapa kejanggalan dalam rekonstruksi tersebut.
Pertama yang menjadi catatan yakni prosedur operasional standarnya mengenai penangkapan yang didasarkan dalam satu kondisi. “Pertanyaan waktu penangkapan situasi genting apa untuk menangkap. Memang di rekonstruksi ada serangan dan senjata tajam yang dibawa, namun ancaman yang segera belum tergambarkan di rekonstruksi,” kata Julius.
Kejanggalan kedua, bila ada keterancaman nyawa sehingga harus ditangkap dan ditahan, mengapa tidak terjadi pengekangan kebebasan yamg dapat menunda atau membatasi mereka yang ditangkap. “Dari rekonstruksi tidak ada pemborgolan itu tak tergambarkan,” kata Julius.
Selanjutnya dalam konteks penggunaan senjata api. Ia menuturkan, dalam penggunaan senjata api ada beberapa pertimbangan.
“Pertama tepat alasan yang kami pertanyaan. Alasan belum jelas. Terlihat ada adegan ambil senjata dan langsung penembakan. Kedua tepat sasaran. Sasaran yang terjadi yang mematikan tidak tergambarkan. Tak tampak di rekonstruksi. Sehingga dianggap masih berlebihan,” tuturnya.
“Ketiga tepat situasi sebuah pemantauan monitoring peristiwa. Tapi situasi ini tidak menggambarkan sehingga ada tindakan yang mematikan. Tiga hal ini jadi pertanyaan besar,” tambahnya.
Julius menambahkan, kesulitan yang terjadi dalam mengungkap peristiwa ini yakni kejadian yang terjadi di dalam mobil. Sehingga tidak ada saksi lain selain polisi dan korban.
“Sehingga objektivitas diduga pelaku patut dipertanyakan. Satu-satunya bukti menguatkan CCTV dan saksi lain yang tidak punya afiliasi atau kepentingan dari peristwa,” ujarnya. (Irw)
Sumber: Republika.co.id