KAWASAN TAMAN NASIONAL BERBAK, DAN TINGKAT KETERANCAMANNYA
KAWASAN TAMAN NASIONAL BERBAK, DAN TINGKAT KETERANCAMANNYA
(Nilai penting Das Batanghari dalam Tatanan Ecobioregion Management 02)
Oleh Syamsul Bahri, SE, Widianto, SP
(Conservationist di Jambi)
Taman Nasional Berbak bersama-sama secara utuh dengan Berbak Landscape, merupakan bagian penting dari Catchmen area DAS Batanghari, yang menjadi nilai penting dari DAS tersebut dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Kabupaten terujung timur Propinsi Jambi yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, karena Berbak landscape tidak saja penting sebagai aset nasional berdimensi ekonomi jangka panjang, juga menjadi aset ekonomi bagi masyarakat sekitarnya.
Lahan gambut dulu dianggap sebagai lahan yang tak ada manfaatnya dari sudut pandang lingkungan. Tapi sekarang, ketika orang mulai ramai memperbincangkan cadangan karbon, iklim, lahan gambut lalu dianggap sebagai aset besar yang harus dijaga karena kandungan karbon di bawahnya. Bahkan sekarang ada satu gerakan politis untuk melindungi lahan gambut, yaitu dengan keluarnya Instruksi Presiden tentang moratorium hutan primer dan lahan gambut. Lahan gambut kemudian dipandang sebagai suatu ekosistem yang harus dilindungi. Sekarang yang penting adalah menjaga lahan gambut yang masih ada tapi belum ada izin dan mengelola yang sudah berizin dengan baik (Daniel Mudyarso, Peneliti Senior CIFOR).
Taman Nasional Berbak 142.750 hektare, tidak saja dilindungi sebagai kawasan pelestarian alam untuk konservasi hutan rawa terluas di HYPERLINK “http://id.wikipedia.org/wiki/Asia_Tenggara” \o “Asia Tenggara” Asia Tenggara, tetapi juga secara internasional yaitu dengan ditetapkan sebagai Lahan Basah Internasional dalam Konvensi RAMSAR pada tahun 1992 yaitu wetland of International Importance, Ramsar Site No 554 dan memiliki potensi 25.988.500 ton C (ZSL/ FOREST CARBON) dan menyerap 70 juta ton CO2e (ZSL dan ERM, 2010).
Karena Taman Nasional Berbak merupkan bagian Ekosistem gambut mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi dan fungsi- fungsi lainnya seperti fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa, berdaya serap dan simpan air cukup baik, serta memiliki kapasitas udara cukup baik. Jika ekosistemnya terganggu maka intensitas dan frekuensi bencana alam akan makin sering terjadi; bahkan lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga gas rumah kaca lainnya seperti metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O). Serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan.
Sesungguhnya Taman Nasional Berbak yang merupakan kawasan lahan basah dan/atau rawa gambut, hanya sebuah perubahan status fungsi pengelolaan yang lebih terbuka dan nilai (3P) perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan diutamakan, bahwa kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa sejak zaman Hindia-Belanda berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda No. 18 tertanggal 29 Oktober 1935. (Suaka Marga Satwa Berbak) dan ditetapkan sebagai Taman Nasional sesuai SK Menhut No, 285/Kpts-II/1992 (Kawasan TN Berbak), dan dikelola melalui Unit Pelaksana Tehnis (UPT) Kemeterian Kehutanan setingakt eselon III/a dengan Nama Balai Taman Nasional Berbak sesuai SK Menhut No, 185/Kpts-II/1997, dengan tatabatas telah ketemu baik fisik maupun administrasi sudah selesai dan ketemu gelang dan telah dilengkapi dengan sistim zonasi.
Saat ini mengalami tekanan yang cukup tinggi dari berbagai aspek, baik perambahan, ilegal loging, pencurian ikan, perburuan liar, ancaman kebakaran hutan, apalagi pasca Operasi Refresief kawaasan Taman Nasional Berbak akhir tahun 2014, yang memunculkan bentuk-bentuk demo dan mengugat keberadaan Taman Nasional Tersebut, bahkan beberap oknum mencoba mempengaruhi masyarakat untuk menolak batas dan mengajal masyarakat untuk meribah posisi batas.
Kegiatan illegal tersebut justru akan mengancam kelestarian taman nasional bersama-saam dengan kawasan Berbak Landscape, yang menyebar di Kabupaten Tanjabtim dan Muara Jambi dalam bentuk Hutal Lindung Gambut, Tahura, Cagar Alam Pantai Timur dll, yang sangat penting bahwa ekosistem gambut merupakan penyangga hidrologi dan cadangan karbon yang sangat penting bagi lingkungan hidup, memiliki manfaat yaitu (a). Manfaat Ekologis, (1) Membantu menyerap unsur-unsur hara yang penting serta bahan makanan yang berguna bagi Mahluk hidup sekitarnya; (2) Menyediakan air sepanjang tahun khususnya ke akuifer (pengisian kembali air tanah) dan lahan basah lain; (3) Mengendalikan terjadinya luapan air pada musim penghujan; (4) Menjernihkan air buangan serta dapat menyerap bahan-bahan polutan dengan kapasitas tertentu; (5) Mencegah intrusi air asin; (6)Membantu melindungi daerah pantai dari aktivitas gelombang dan badai (7)Mengendalikan erosi serta mampu menahan lumpur; (8) Penting untuk konservasi khususnya siklus spesies tanaman, ekosistem, bentang alam, proses alam, komunitas; (9)Kontribusi pada kelangsungan proses dan sistem alami yang ada; proses dan sistem ekologi, penyerapan karbon, mengontrol kadar garam tanah dan pengembangan tanah asam sulfat (Noesreini,1993). (b). Manfaat Ekonomis (1) Sumber produk alami dalam dan di luar lahan; (2) Sebagai habitat yang banyak memberikan spesies flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan untuk pengobatan tradisionil penduduk dan penguatan ekonomi; (3) Sebagai sumber makanan; (4) Produksi energy; (c). Manfaat Pariwisata(1) Kesempatan untuk memberikan rekreasi; (2) Obyek turisme; (3) Dapat dijadikan suaka alam dan kawasan perlindungan; (d). Manfaat Ilmiah;(1) Penelitian ekosistem lahan basah;(2) Observasi spesies flora dan fauna.
Bahwa berdasarkan penelitian sekitar 99% kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang disengaja maupun akibat kelalaian. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, salah satunya adalah berubahnya kondisi fisik lahan gambut, antara lain perubahan bentang alam dan pembuatan kanalisasi disekitar kawasan Berbak.
Kanalisasi, berdasarkan kajian merupakan Indikasi utama, mudah terbakarnya lahan gambut disekitar kawasan, dan didukung faktor lain adalah perambahan, illegal logging dlam kawasan. Bisa anda bayangkan suatu luasan lahan gambut yang mirip spons yang mudah terbakar tetapi karena jenuh dengan air sehingga sangat sulit terbakar, namun manusia dengan teknologi yang dimilikinya membuat kanal-kanal sehingga air yang tergenang mengalir ke sistem-sistem aliran utama. Pada musim kemarau dimana suplai air minim, deposit air yang ada di gambut akan mengalir ke kanal-kanal karena posisinya yang lebih rendah. Sekarang lahan gambut telah kering, yang kita butuhkan hanyalah sumber api untuk menjadikan lahan gambut sebagai sumber emisi. Bahkan kelanjutan dari degradasi hutan adalah pertanda lain munculnya masalah di masa mendatang. Di lokasi-lokasi hutan gambut yang sudah ditebang, terfragmentasi atau dikeringkan kini berubah dari sumberdaya yang tidak mudah terbakar menjadi sumber titik api.
Perubahan iklim sendiri kini terjadi salah satunya akibat dampak dari hilangnya hutan gambut. Perubahan iklim menyebabkan musim kering lebih panjang di Indonesia, menyebabkan titik api yang lebih banyak dan berbagai bencana alam lainnya. Sepanjang kemunculan El Nino tahun 2006 silam di Indonesia, tak kurang dari 40.000 titik api muncul di lahan gambut Indonesia.
Kebakaran kawasan dan lahan gambut perlu dicermati dan dikaji secera benar dan teliti melalui kajian aspek-aspek penyebab pemanasan awal dan faktor pendukung, dengan pemahaman kedua aspek tersebut maka solusi pencegahan dapat diperoleh.
Diketahui bahwa lahan gambut dalam landscape Berbak berada di ketebalan >3 m, sehingga jika kita cermati berdasarkan Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWN bahwa lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter termasuk kawasan dilindungi, yang berarti kawasan landscape berbak tidak layak untuk kegiatan pertanian dan perkebunan dan wilayah itu harus di konservasikan, dan jika digunakanan untuk kepentingan non konservasi akan membawa akibat terhadap lingkungan lokal, regional bahkan global yang memiliki dimensi ekonomi cukup besar, sehingga Gambut yang paling potensial untuk pertanian adalah gambut dangkal (0,5-1 m) sampai dengan (1-2m)
Kondisi yang terjadi disekitar dan dalam kawasan Taman Nasional Berbak, serta beberapa keinginan yang menagatas namakan masyarakat memberi kesan bahwa Taman Nasional Berbak dianggap sebagai penghambat pembangunan, justru sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan tujuan dan fungsi lahan gambut dan fungsi Taman Nasional sebagai penyangga kehidupan yang berdmensi ekonomi yang cukup besar dan memiliki potensi 25.988.500 ton C (ZSL/ FOREST CARBON) dan menyerap 70 juta ton CO2e (ZSL dan ERM, 2010).
Keberadaan hutan gambut tropis memegang peranan penting terkait fungsinya bagi pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, mitigasi perubahan iklim, dan sebagai penyangga keanekaragaman hayati, namun keunikan dan kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, serta rentan dan rafuhnya kawasan gambut dalam Taman Nasonal bahkan landscape Berbak yang ditimbulakn oleh beberapa ancaman akibat berbagai macam konflik kepentingan antar pihak yang berbeda dan saat ini dirasakan semakin berlarut dan berkepanjangan. Konflik tersebut dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, politik, sosial budaya, bahkan konflik ini semakin meningkat akhir-akhir ini antara lain sbb (1) Perambahan kawasan untuk perkebunan karet dan kelapa sawit dan kepentingan dan kepemilikan tuan tanah yang berada dalam kawasan yang dilakukan operasi penertiban oleh BTNB. Kepemilikan tersebut telah diperingati dan disampaikan kepada masyarakat, bahawa kepemilikan tersebut tidak syah, yang menimbulkan gejolak di tingkat masyarakat, bahkan mengarah pada penolakan batas dan tidak diakuinya batas kawasan; (2) Sistim Kanalisasi yang terjadi dalam pemanfaatan lahan gambut diluar/dalam kawasan Taman Nasional menjadi persoalan yang sangat krusial, inilah penyebab utama mudah terbakarnya lahan gambut. Bisa anda bayangkan suatu luasan lahan gambut yang mirip spons yang mudah terbakar tetapi karena jenuh dengan air sehingga sangat sulit terbakar. Kemudian manusia dengan teknologi yang dimilikinya membuat kanal-kanal sehingga air yang tergenang mengalir ke sistem-sistem aliran utama. Hasilnya? Pada musim kemarau dimana suplai air minim, deposit air yang ada di gambut akan mengalir ke kanal-kanal karena posisinya yang lebih rendah. Sekarang lahan gambut telah kering, yang kita butuhkan hanyalah sumber api untuk menjadikan lahan gambut sebagai sumber emisi; (3) Illegal activity, dalam bentuk illegal loging, perambahan, pencurian ikan, menjadi faktor keterancaman lahan gambut di kawasan Bebrbak Landcscape; (4) Tingkat Pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar kawasan/desa penyangga yang relatif rendah, akan menimbulkan interaksi negatif dan ancaman bagi kelestarian Taman Nasional tersebut; (5) Keterbatasan lahan budidaya bagi masyarakat sekitar kawasan TNB; (6) Perlunya penguatan kesadaran dan pemahamn masyarakat dan Perusahaan tentang konservasi jangka panjang, untuk merubah pemahaman yang dianut yaitu lebih memprioritaskan kebutuhan hidupnya dan keberlangsungan benefit ekonomi perusahaanya di atas konservasi sumberdaya alam jangka panjang; (7) Masyarakat dan Perusahaan perkebunan, menghentikan menggunakan cara tebang dan bakar untuk mengkonversi lahan menjadi perkebunan dan HTI; (8) Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan lebih arief dalam memberikan kebijakan pemanfaatan lahan gambut untuk dieksploitasi sumberdaya hutan secara cepat, tanpa mempedulikan kehidupan masyarakat setempat dan lingkungan.
Sentuhan Pembangunan berbasis ekonomi pada masyarakat yang berada disekitar kawasan Berbak Landscape, terlihat menjadi “kata kunci” dari semua probelema atau konflik di sekitar kawasan tersebut, dan terlihat sentuhan Pembangunan di daerah tersebut sangat minim.
Sehingga melalui tulisan ini penulis mengajak kepada para pihak untuk melakukan Pendekatan pembangunan ekonomi menjadi kata kunci, baik oleh pemerintah Daerah Tanjung Jabung Timur yang memiliki tugas dan fungsi tersebut, maupun pengelola Taman Nasional Berbak yang memiliki kepentingan untuk mendukung pembangunan ekonomi masyarakat penyangga, dengan harapan menumbuh kembangkan partisipasi aktif dalam pembangunan konservasi dapat berjalan baik dengan tetap melakukan upaya-upaya tindakan hukum kepada pelaku-pelaku Illegal di dalam kawasan tersebut.
Konflik tersebut diatas, menjadi ancaman bagi upaya kelestarian kawasan Konservasi TN Berbak dan berbak Landscape, yang merupakan kawasan memiliki nilai penting sebagai kawasan pelestarian alam untuk konservasi hutan rawa terluas di Asia Tenggara.
Diharapkan pengelolaan Taman Nasional dan Berbak landscape dengan keinginan masyarakat untuk melegalkan perambahan dalam kawasan, dan komplik ini sudah menjadi bagian dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, bersama dengan pengelola Taman Nasional serta otoritas batas dan penataan batas Kawasan konservasi, diharapkan bisa memperkuat pengelolaan taman nasional tersebut.
Sedikit mengutip komentar Asmadi Saad Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi menyebutkan “bahwa segenap pihak perlu memperhatikan upaya penyelamatan gambut. Karena banjir tahunan dan kabut asap yang setiap tahun kita alami adalah dampak dari pengelolaan gambut yang salah, sehingga Pemerintah harus tegas untuk menindak setiap perusahaan dan petani yang menyalahi aturan dalam pengelolaan gambut. Mayarakat juga harus mendukung upaya penyelamatan gambut ini. Karena ini menjadi tanggung jawab kita semua” (Berita 3 Jambi, tanggal Rabu, 21 Mei 2014 13:30 WIB)
Degan memperhatikan peluang dan manfaat, serta resiko dalam pengelolaan lahan/kawasa gambut, dikaji dari perspektif undang-undang serta ketentuan yang berlaku, diharapkan Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Propinsi saat ini dan yang akan datang, betul-betul lebih arif dalam membuat kebijakan pengelolaan lahan gambut yang ada serta upaya mendukung pengelolaan gambut berdimensi kawasan lindung seperti Berbak Landscape dan Taman Nasional Berbak, serta upaya perbaikan ekosistem gambut secara keseluruhan terutama pada lahan yang termasuk kriteria kritis dan sangat kritis. Untuk itu diperlukan konsep yang tepat dalam upaya penyelamatan lahan gambut sekaligus memberikan peningkatan perekonomian masyarakat, terutama lahan gambut dengan ketebalan dibawah 3 m.
Jika pengelolaan lahan gambut tersebut dikelola dengan baik dengan memperhatikan aspek kehati-hatian dan aspek konservasi, maka lahan/kawasan gambut tersebut akan terkelola dengan baik dan benar, dan lahan gambut tersebut bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan keuntungan ekologi berdimensi ekonomi dan sekaligus mempertahankan karbon yang tersimpan serta memelihara keanekaragaman hayati. Jika sebaliknya pengelolaan lahan gambut tersebut tidak memperhatikan aspek-aspek tersebut tidak menjamin keuntungan ekonomi berkelanjutan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian bagi masyarakat ( HYPERLINK “mailto:syamsulbahri1605@gmail.com” syamsulbahri1605@gmail.com),