KANALISASI DAN KEBAKARAN HUTAN
(Perlunya Peraturan tentang pemanfaatan lahan/kawasan gambut yang berbasis ekologi, hydro-orologi dan konservasi biodiversity)
Oleh Syamsul Bahri, SE dan Iwan Gunawan
(Conservationist di Jambi)
Kebakaran hutan telah menjadi sebuah agenda rutin permasalahan hutan dan lahan di Indonesia, terutama di 5 Propinsi utama sebagai propinsi penyumbang asap terbesar di Indonesia selama beberapa dekade, yang memunculkan dampak kerugian politik dan kerugian ekonomi yang cukup fantastik, bahkan sampai beberatan peringatan early warning untuk kunjungan wisatawan ke Indonesia, dan kerugian dalam diplomasi dan tingkat kepercayaan dunia Internasional terhadap Indonesia juga menurun.
Bedasarkan HYPERLINK “http://dataweb.bmkg.go.id/cews/pikam/pdf/dinam.pdf” http://dataweb.bmkg.go.id/cews/pikam/pdf/dinam.pdf, menginformasikan mulai Januari 2015-Mei 2015, kondisi iklim di Indonesia diperkirakan masih dipengaruhi oleh El-Nino, yang merupakan ancaman bahaya kebakaran terutama untuk Propinsi Jambi sebagai wilayah yang memiliki ancaman cukup tinggi bersamaan dengan 5 Propinsi lainnya di Indonesia, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
jika kita cermati dan pedomani Hot Spot di Indonesia terutama di Wilayah dengan tingkat keterancaman kebakaran hutan yang cukup tinggi, semenjak tahun 2011 hot spot sebanyak (13.256), tahun 2012 hot spot sebanyak (18.469), tahun 2013 hot spot sebanyak (9.035) dan tahun 2014 hot spot sebanyak (15.629), dengan rincian Propinsi Jambi memberikan kontribusi hot spot berkisar dari 3%-5%, untuk Propinsi Sumatera Selatan rata-rata 35%-36%, Propinsi Riau rata-rata 24%-47% dan Kalimantan Barat 13-35%. Dari data tersebut dapat terlihat periodenisasi Hot Spot untuk Propinsi Jambi merupakan hot spot yang terendah dari 4 Propinsi tersebut, yaitu berkisar 3%-5% (Sumber Humas Kementerian LH-K, olah data).
Memang disadari bahwa landscape/bentang alam 5 Propinsi tersebut, adalah Propinsi yang memiliki lahan /kawasan gambut terluas di Indonesia, yaitu mencapai 20,6 juta ha atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera ± 35%, Kalimantan ± 32%, Sulawesi ± 3%, dan Papua ± 30%. Lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang didominasi oleh tanah gambut. Lahan ini mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan.
Pulau Sumatera, dari sekitar 4.6 juta hektar luas hutan rawa gambut, 7,4%-nya (341 000 ha) terletak di propinsi Jambi, sedangkan sekitar ± 26%-nya (1.2 juta ha) tersebar di propinsi Sumatera Selatan dan menyebar di Propinsi Riau sekitars ± 46%. Daerah hutan rawa gambut terpenting di kedua propinsi tersebut berada di dalam dan sekitar wilayah Berbak dan Sembilang. Berbak-Sembilang yang terletak di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah penting dan unik di Sumatera karena mempunyai hutan rawa gambut yang luas dan merupakan kawasan konservasi lahan basah terluas di Asia Tenggara, dan kawasan tersebut untuk Propinsi Jambi terdapat di Landscape Berbak terutama terdapat di Tanjung Jabung Timur, Muara Jambi, seperti Hutan Lindung Gambut, Tahura, Taman Nasional Berbak, yang diteruskan ke Taman Nasional Sembilang, dan di Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Anggapan dari masyarakat dan pejabat di daerah masih menganggap kebakaran hutan, termasuk kebakaran hutan rawa gambut, masih sering dianggap sebagai suatu bencana alam, yang merupakan proses alami belaka. Faktanya saat ini, upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran tersebut, hanya terbatas pada upaya pemadaman yang bersifat Insidentil. Bahkan menurut Saharjo (1999) Secara historis Kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia dari pada faktor alam yaitu mengatakan 99,9 persen kebakaran hutan/lahan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya.
Sehingga Kebakaran hutan dan lahan itu bukanlah “hanya” sebuah proses secara alami semata-mata dan tidak bisa dianggap sebagai bencana biasa, namun kebakaran hutan dan lahan saat ini, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor manusianya dan merupakan bencana yang bersifat “luar biasa” dan harus ada political will, tidak hanya untuk memadamkan, namun lebih komprehensif untuk mengkaji sebab atau faktor utama pembangunan yang cenderung menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, terutama di wilayah Prioritas.
Sedangkan di pulau Sumatera, dari sekitar 4.6 juta hektar luas hutan rawa gambut, 7,4%-nya (341 000 ha) terletak di propinsi Jambi, sedangkan sekitar ± 26%-nya (1.2 juta ha) tersebar di propinsi Sumatera Selatan dan menyebar di Propinsi Riau sekitars ± 46%. Daerah hutan rawa gambut terpenting di kedua propinsi tersebut berada di dalam dan sekitar wilayah Berbak dan Sembilang. Berbak-Sembilang yang terletak di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah penting dan unik di Sumatera karena mempunyai hutan rawa gambut yang luas dan merupakan kawasan konservasi lahan basah terluas di Asia Tenggara, dan kawasan tersebut untuk Propinsi Jambi terdapat di Landscape Berbak terutama terdapat di Tanjung Jabung Timur, Muara Jambi, seperti Hutan Lindung Gambut, Tahura, Taman Nasional Berbak, yang diteruskan ke Taman Nasional Sembilang, dan di Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Hutan rawa gambut sebagai ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rawan terhadap bahaya kebakaran Serta merupakan kawasan ekosistem yang rapuh (fragile), sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada karakteristik lahan dan pemahaman dalam managemen air di kawasan gambut. Kontribusi terhadap dampak kebakaran hutan rawa sangat besar karena tingginya kandungan karbon dan besarnya jumlah karbon yang dilepaskan pada saat terjadi kebakaran.
Persoalan Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, bukan hanya dilihat bagaimana memadamkan kebakaran, melainkan mengkaji penyebab terjadinya kabekaran merupakan salah satu yang tidak bisa dianggap remeh dan merupakan kajian startegis dalam menghentikan dan mengurangi kabakaran hutan dan lahan, jika kita lihat bahwa hutan/lahan gambut berada pada ketebalan gambut yang berbeda, tingkat ketebalan gambut menjadi sesuatu yang penting dalam pengeolaan hutan gambut agar pemanfaatan yang lestari dan dapat memberi benefit ekonomi yang baik dan berkesinambungan.
Pengelolaan hutan gambut yang teraktual dan menjadi trendy selama ini di lapangan, banyaknya lahan gambut yang tercabiknya dan terbagi dalam kanalisasi yang belum memenuhi aspek tehnis yang benar/terkasan asal asalan, akan menimbulkan dampak lingkungan antara lain, laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi, kering tidak balik, dan bahan organik terlarutkan (DOC). Ditambah lagi, bahaya kebakaran, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan muka air laut, kelangkaan air bersih musim kemarau, polusi air, dan berdampak bagi masyarakat lokal setelah ada perubahan lingkungan.
Sesungguhnya Sistem kanalisasi bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah serta mengatur tata air untuk menghindari lahan/tanah gambut tidak tergenang atau kering serta tidak memilikia kemampuan dalam mengikat/menyimpan air pada saat musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau.
Tentunya fungsi lahan gambut bersifat irreversible sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengendali hydro-orologi dalam tatanan ekosistem gambut dan dari data yang ada dan hasil penelitian bahwa system kanalisasi merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan gambut, bahkan membuat lahan gambut memiliki potensi tinggi untuk terjadinya kabakaran hutan.
Disamping System kanalisasi terindikasi dari adanya pembukaan lahan dengan cara bakar yang cenderung dilakukan oleh petani dan perkebunan serta HTI, yang hanya berpikir dari aspek keuntungan ekonomi semata-mata, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja telah menimbulkan kerugian yang besar terhadap ekonomi maupun lingkungan. Dari sisi tanah, sifat fisik gambut akan rusak, dari sisi udara terjadi pencemaran udara.
Dampak dari kebakaran lahan adalah setiap tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi asap yang menyesakan. Secara politis, polusi asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga telah menjadi isu yang kontroversial.
Pembukaan lahan gabut dengan cara mebakar, rata-rata menurunkan tingkat permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah gambut setiap 10 cm maka akan berakibat tanah akan kehilang kemampuan menyimpan air sebanyak 800 m3 per hektar.
Dari beberapa ulasan tersebut diatas, faktor penyebab sering terjadinya kabakaran hutan di wilayah Jambi, antara lain disebabkan adanya faktor manusia seperti system kanalisasi, illegal activity, dalam bentuk illegal loging, perambahan, pembakaran secara sengaja atau tidak sengaja, dan faktor alam yang justru dipicu oleh faktor yang telah diciptakan oleh faktor manusia, seperti yaitu faktor alam seperti iklim el-nino dll.
Tingkat Pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar kawasan/desa penyangga yang relatif rendah, akan menimbulkan interaksi negatif dan ancaman bagi kelestarian kawasan/lahan gambut; Keterbatasan lahan budidaya bagi masyarakat sekitar kawasan/lahan gambut; Perlunya penguatan kesadaran dan pemahaman masyarakat dan Perusahaan tentang keberlangsungan dan keutuhan lahan gambut, tidak hanya berpikir dari aspek ekonomi saja; Masyarakat dan Perusahaan perkebunan, menghentikan menggunakan cara tebang dan bakar untuk mengkonversi lahan menjadi perkebunan dan HTI; Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan lebih arief dalam memberikan kebijakan pemanfaatan lahan gambut untuk dieksploitasi sumberdaya hutan secara cepat, tanpa mempedulikan kehidupan masyarakat setempat dan lingkungan, sehingga diperlukan PERDA yang aplikatif tentang pengaturan pemanfaatan lahan gambut/kawasan gambut yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, ekologi, Hydro-orologi dan konservasi biodiversity, termamsuk tentang system kanalisasi pada kawasan/lahan gambut yang lebih berorientasi tehnik yang baik untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan melarang pembakaran dalam melakukan pembukaan lahan; Melakukan sosialisasi dan penyuluhan serta melakukan Law enforcement cepat dan tepat terhadap tindakan baik perusahaan/pribadi/masyarakat yang melakukan pembukaan lahan dengan sistem pembakaran.