IMPLEMENTASI MANAJEMEN KONFLIK
DALAM PENANGANAN KONFLIK HORIZONTAL ANTAR SUKU BANGSA
Struktur masyarakat Indonesia mencerminkan sistem sosial budaya yang majemuk, secara horizontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan etnisitas berdasarkan perbedaan suku bangsa, adat istiadat, agama, bahasa dan ciri-ciri kedaerahan lainnya. Dilihat dari tingkat kemajemukan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki potensi konflik yang tinggi dan potensi tersebut selama ini menghasilkan sesuatu yang destruktif berupa konflik horizontal antar etnis dan kerusuhan, dengan menimbulkan banyak korban jiwa, harta benda dan kerugian lainnya sehingga menjadi tragedi kemanusiaan.
Suku bangsa atau kelompok etnik merupakan fenomena sosial budaya yang bersifat universal. Tidak ada seorang manusia warga masyarakat di dunia ini yang tidak termasuk ke dalam ikatan kelompok etnik atau sub etnik yang terbagi dalam berbagai macam suku bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau tentu saja banyak sekali ribuan suku bangsa yang menempatinya.
Konflik horizontal antar suku bangsa di Indonesia sudah sering terjadi dan muncul dalam konflik sosial yang terbuka ditandai dengan insiden kontak fisik yang intens antar pihak-pihak yang berkonflik. Konflik antar suku bangsa Madura dan Dayak di Kalimantan, konflik sosial antar suku bangsa di Ambon, Poso, Sambas dan lain-lain merupakan bukti bahwa keragaman bangsa Indonesia jikalau tidak di manage dengan baik akan rawan terjadinya konflik sosial. Konflik sosial / horizontal yang melibatkan antar suku bangsa dapat terjadi akibat permasalahan kecil karena perbedaan persepsi dan kepentingan namun karena adanya muatan kesukuan / primodial akan cepat dipicu ( trigger ) menjadi konflik horizontal.
Situasi yang pada awalnya hanyalah adanya perbedaan tujuan dan kepentingan bisa berubah menjadi konflik sosial kalau antara kelompok / suku bangsa yang berkonflik tersebut menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengatasi perbedaan-perbedaan tujuan tersebut. Oleh karena itu sinyal-sinyal / gejala masalah sosial sekecil apapun harus dideteksi dan dimonitor terus perkembangannya untuk mencegah terjadinya perbedaan yang dilandasi kesukuan sehingga berakibat konflik horizontal. Untuk mendeteksi dan mencegah serta menangani perbedaan-perbedaan tujuan / kepentingan antar individu, kelompok sampai kepada kesukuan agar tidak meningkat eskalasinya menjadi konflik horizontal diperlukan manajemen konflik yang dapat mengatasinya sampai kepada akar permasalahan. Polres sebagai lini terdepan manajemen Polri harus bisa mengimplementasikan manajemen konflik untuk mendeteksi, mencegah dan menangani konflik tidak meluas serta menyelesaikannya sampai akar permasalahan.
Konsep atau pengertian konflik dan manajemen konflik secara umum dan dalam perspektif Kepolisian.
- Konsep dan Pengertian Konflik serta Manajemen Konflik
Dosen Prof. DR. Adrianus Meliala menyampaikan dalam kegiatan perkuliahan bahwa konflik adalah suatu konsep yang diasosiasikan sebagai hal-hal yang negatif (peyotratif ), buruk terkait suatu kondisi dan oleh sebab itu cenderung dihindari oleh masyarakat. Namun demikian dosen juga menyampaikan bahwa konflik juga diasosiasikan sebagai hal-hal yang positif dalam rangka membuat orang menjadi maju dan berusaha berpikir sehingga akan memperoleh suatu cara penyelesaian atau solusi yang baru.
Sebagaimana disampaikan diatas konflik mempunyai 2 ( dua ) dimensi yakni dimensi negatif dan dimensi positif. Dimensi negatif tentang konflik : dekat dengan kekerasan , bahkan darah, penuh amarah, emosional, kondisi setelah musyawarah atau kata sepakat tidak bisa lagi berjalan / dicapai, boleh dan bisa berbuat apa saja, serta intensi untuk mendestruksi. Dimensi positif tentang konflik : merupakan ciri orang yang berprestasi dan mau maju, memperlihatkan kesungguhan dan daya dorong pihak-pihak yang terlibat, konflik berpotensi menghasilkan perubahan secara lebih cepat , nyata dan signifikan, tidak jarang lebih solutif dari pada / ketimbang penyelesaian non-konflik, dan apabila tidak lagi mampu melahirkan solusi, maka bisa dilakukan resolusi konflik.
Konflik sebagaimana disebutkan diatas adalah hubungan antar individu maupun kelompok yang mempunyai perbedaan tujuan, sasaran maupun kepentingan. Dampak dari adanya konflik tidak selalu atau berakhir dengan kekerasan, sehingga antara konflik dan kekerasan terdapat perbedaan yang mendasar yakni :
- Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Jadi disini konflik tidak harus terjadi tindakan, sikap berupa kekerasan namun masih berupa adanya perbedaan persepsi terhadap tujuan dan lain-lain, tetapi apabila tidak diantisipasi akan terjadi eskalasi konflik sehingga berakibat kerusakan.
- Kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang untuk meraih poteninya secara penuh. Disini kekerasan sudah merupakan tindakan maupun sikap yang diambil individu atau kelompok dalam merespon terhadap adanya perbedaan, tindakan yang diambil sudah berakibat kerusakan.
Konflik akan muncul apabila individu atau kelompok sangat peduli (concern) terhadap kepentingan sendiri secara individu atau mengutamakan kepentingan kelompoknya tanpa memperhatikan sedikitpun kepentingan orang lain atau kelompok lain. Situasi yang mengacu pada perbedaan tujuan individu maupun kelompok yang sangat tajam atau cara maupun sikap yang dipilih oleh orang per orang maupun kelompok dalam mengatasi perbedaan tujuan dan kepentingan akan berakibat terjadinya konflik sosial.
Suatu hal bisa disebut sebagai konflik sosial tergantung dari definisi, operasionalisasi konsep ataupun kecenderungan berpikir yang digunakan. Konflik sosial bisa berbentuk : Insiden, Deskripsi atas kualitas akibat (khususnya yang negatif) yang ditimbulkan, Historiografi, Persepsi pihak-pihak terkait, Illustrasi , frekuensi dan prevalensi, Hal-hal lain terkait pengakhiran konflik.
Dari perbedaan persepsi, kepentingan dan tujuan antar individu, kelompok bisa berakhir dengan konflik sosial karena adanya problem utama yang berakibat munculnya tersebut. Problem utama munculnya konflik sosial adalah : Berada di level kelompok, terdapat memori negatif, berkepanjangan, tereskalasi, menjadi fungsional, dipertahankan dan tidak ada faktor penghambat.
Konflik sosial dapat terjadi karena adanya eskalasi konflik awal bisa antar orang per orang, antar kelompok dan masyarakat, pada dasarnya konflik sosial dapat dibedakan menurut eskalasinya yakni :
- Konflik sosial yang terbuka / pecah / tumpah ruah, ditandai dengan insiden kontak fisik yang intens antar pihak-pihak yang berkonflik.
- Konflik sosial yang semu / teralih / tertata / berada dalam lembaga yakni, ditandai dengan masih berperannya hukum dan aparat sebagai stabilisator serta pemerintah yang melakukan manajemen konflik.
- Konflik sosial yang tersembunyi / tertutup / laten / tersublimasi, ditandai dengan munculnya berbagai indikasi tidak langasung yang memerlukan pemahaman , grafiti, musik protes, memeilih kotak kosong, happening art.
Beberapa pakar tentang konflik, menyampaikan bahwa konflik dan konflik sosial kadang-kadang tidak terhindarkan tergantung dengan tujuan dan cara maupun bagaimana sikap dari orang perorang maupun kelompok dalam mengatasi perbedaan tujuan mupun sasaran. Konflik maupun konflik sosial mempunyai resiko untuk spill-over atau tereskalasi dan meningkat menjadi tumpah ruah dan dengan kekerasan , oleh karena itu konflik perlu manajemen.
Seorang manajer dapat menjadi pihak utama dalam konflik misalnya Kapolres sebagai pimpinan KOD, dapat terlibat secara aktif di dalam situasi konflik yang berkembang. Kapolres seringkali diminta bantuan untk bertindak sebagai pihak penengah pada konflik-konflik yang dialami pihak lain. Sehingga pada situasi apapun seorang manajer harus menjadi seorang partisan yang terampil dalam dinamika konflik, andaikata ingin dilaksanakan hasil konstruktif dan bukan destruktif dan apabila diinginkan prestasi puncak dari para anggotanya.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) tidak selalu harus menghilangkan konflik, tetapi berusaha menghilangkan konflik dari dimensi negatifnya saja dan tidak kehilangan dimensi positifnya. Manajemen resolusi konflik dapat dilakukan diantaranya dengan : Displacing : mengalihkan konflik dalam bentuk lain, misalnya mengadakan pertandingan tinju; Dialoguing : menahan konflik tetap pada level yang bisa di musyawarahkan; Upraising : membawa konflik pada pihak yang dianggap lebih tinggi dan lebih adil untuk diselesaikan secara adil, misal meminta petunjuk tokoh masyarakat atau tokoh agama; Formalizing : membiarkan konflik diambil alih oleh pihak resmi , misal membawa sengketa ke pengadilan; Localizing : menahan konflik untuk tetap focus, tidak dikaitkan atau mengaitkan dengan berbagai hal.
Berikut ini merupakan berbagai metode resolusi konflik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik hingga konflik sosial di tingkat kewilayahan : Mediasi, Arbitrase, Alternative dispute resolution, Family conference, Minitrial, Rent-A-judge, Principled bargaining, Rekonsiliasi, Legal approach, Adat approach, Confidence building measures / trast building, dan Negosiasi
- Konsep atau pengertian konflik dari perspektif kepolisian
Polri sebagai alat negara yang bertugas pemeliharaan kamtibmas, perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat serta penegakkan hukum, mempunyai perspektif dari sudut kepolisian terhadap konflik sosial. Perspektif kepolisian terhadap konflik sosial sebagai berikut : Sesuatu yang sudah terlalu banyak, Sesuatu yang sudah terlalu sering, Sesuatu yang berjalan secara tidak biasa, Sesuatu yang terjadi diluar kemampuan, dan Sesuatu yang terjadi terlalu lama.
Dalam pola-pola penanganan konflik sering Polri mempunyai pandangan yang teknokratis yakni memandang konflik sebagai sesuatu yang jauh diluar, Polri beranggapan bahwa potensi konflik yang belum muncul / terbuka ataupun konflik-konflik kecil yang jadi rutinitas belum tertangani secara optimal dan polri beranggapan bahwa masih ada gesekan kecil belum ada korban dan lain-lain. Hal tersebut berakibat konflik yang belum terbuka atau belum muncul meningkat eskalasinya menjadi konflik terbuka dan destruktif / kekerasan karena tidak ditangani sejak awal.
Walaupun dalam kacamata sosial konflik yang awalnya hanyalah perbedaan persepsi terhadap tujuan, sasaran , kepentingan individu sudah ada sinyal-sinyal kerawanan / gesekan kecil dan rentan menjadi konflik sosial, namun Polri berpandangan masih dalam batas kewajaran. Polri banyak beranggapan bahwa konflik itu sifatnya sudh terbuka / berdarah-darah seperti konflik di Poso, Ambon, Sambas, Sampit dan lain-lain.
- Cara-cara yang dilakukan dalam penanganan konflik agar sesuai harapan.
- Resolusi konflik.
Mengubah persepsi dimensi konflik yang selama ini cenderung negatif dengan konflik sebagai konflik sosial yang disertai kekerasan baik orang per orang maupun antar kelompok dalam hal ini antar suku bangsa. Namun tidak berusaha menghilangakan konflik tetapi membuat konflik tidak kehilangan dimensi positifnya. Hal tersebut diharapkan anggota Polri mau menjadi maju dan berprestasi karena dipaksa harus mencari solusi-solusi karena dalam pola / cara resolusi konflik tidak berusaha untuk menghilangkan konfliknhya tetapi memandang konflik dari dimensi positifnya.
Model penanganan konflik dengan persepsi konflik sebagai dimensi positif, akan mudah untuk menghindari gesekan antara pihak-pihak yang berkonflik dan gesekan dengan aparat keamanan, karena tidak ada upaya-upaya yang sifatnya menekan / pressure terhadap pihak yang berkonflik agar tidak menunjukkan sikap perbedaannya. Jadi perbedaan kepentingan, tujuan dan sasaran tetap dibiarkan namun diikuti dan di manage terus perkembangannya serta dicarikan solusi dengan tetap memelihara konflik positifnya.
Dampak penanganan konflik dengan persepsi konflik dari dimensi positif Polri dapat mengikuti setiap perkembangan gejala / dinamika masyarakat yang berpotensi konflik dan dapat mengantisipasinya sjak dini karena konflik sengaja tidak dihilangkan dimensi positifnya.
- Manajemen resolusi konflik
Manajemen resolusi konflik merupakan pengelolaan penanganan konflik dengan tetap tidak menghilangkan konflik dari dimensi positifnya.
- Displacing dengan cara mengalihkan konflik yang sudah terjadi ke dalam bentuk yang lain. Dalam hal ini perbedaan kepentingan , tujuan , sasaran dan lain-lain antar orang per orang maupun kelompok sudah mulai muncul, namun penyelesainnya dengan tidak serta merta menghilangkan konflik tersbut , tetapi mengalihkannya kepada bentuk lain agar ada sarana untuk menyampaikan konflik tersebut ke hal-hal yang positif.
- Dialoging dengan cara menahan konflik tetap pada level yang bisa dimusyawarahkan. Dalam hal ini sama menggunakan dimensi positifnya, namun konflik dijaga jangan sampai berkembang dan meningkat eskalasinya.
- Upraising adalah membawa pada pihak yang dianggap lebih tinggi dan lebih adil untuk diselesaikan secara adil, dengan cara minta bantuan dan petunjuk para tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan lain-lain.
- Formalizing dengan cara membiarkan konflik diambil alih oleh pihak resmi, misalnya membawa senketa / konflik ke pengadilan.
- Localizing adalah menahan konflik untuk tetap fokus, tidak dikaitkan atau mengaitkan dengan berbagai hal lain.
- Metode resolusi konflik. Berbagai macam metode resolusi konflik dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik-konflik yang ada, dimana pada dasarnya metode-metode tersebut tidak menghilangkan konflik dari dimensi positifnya. Metode tersebut meliputi Mediasi, Arbitrase, Alternative dispute resolution, Family conference, Minitrial, Rent-A-judge, Principled bargaining, Rekonsiliasi, Legal approach, Adat approach, Confidence building measures / trast building dan Negosiasi
- Mekanisme hukum. Seminimal mungkin upaya-upaya penyelesaian konflik melalui mekanisme hukum dihindari karena cenderung tidak dengan cepat dapat menyelesaikan dan meredam konflik menjadi tidak berkembang. Mekanisme hukum dengan penyelesaian menang-kalah kerap tidak dapat menyembuhkan konflik , malahan kadang menimbulkan konflik-konflik baru dampak dari adanya pemenang dan ada yang kalah. Disamping itu penyelesaian melalui mekanisme hukum cenderung lama, lambat, tidak pasti, melelahkan dan menimbulkan penolakan terhadap pihak yang merasa kalah, sehingga cendrung akan berdampak munculnya konflik baru.
- Implementasi manajemen konflik di tingkat satuan kewilayahan dalam penanganan konflik horizontal antar suku bangsa.
Dalam pelaksanaan penanganan konflik melalui manajemen konflik khususnya konflik horizontal antar suku bangsa, terbagi kedalam tiga tahap yakni , tahap pendeteksian gejala-gejala permasalahan sosial yang rentan menimbulkan konflik antar suku bangsa / deteksi semua perbedaan-perbedaan kepentingan antar individu, kelompok sosial (suku bangsa) yang muncul di permukaan.
Petugas Polmas atau Bhabinkamtibmas berupaya dapat memetakan perbedaan kesukuan yang ada di wilayahnya dan berusaha mengenal semua tokoh-toko hadat yang ada. Termasuk mengidentifisi semua norma-norma adat yang berlaku dan dianut semua masyarakat.
Melalui operasi intelijen dengan didukung semua fungsi dan Polsek jajaran berupaya untk mengurangi kemajemukan antar suku bangsa yang cenderung mengelompok dan rawan munculnya fanatisme sempit kesukuan / primodialisme. Kegiatan penggalangan dapat dilaksanakan melalui pengaktifan wadah-wadah sarana berkumpul masyarakat baik formal maupun nin formal yang tidak berdasarkan kesukuan.
Setiap ada perbedaan kepentingan yang menonjol antar suku bangsa diupayakan Polri tidak serta merta secara frontal menghilangkan perbedaan tersebut ( konflik individu dan kelompok ). Tetapi memanage dan tetap menggunakan dimensi positifnya untuk menggugah masyarakat yang berkonflik untuk bersama-sama mencari solusi penyelesaian konflik tersebut.
Tahap kedua mengoptimalkan peran bapulbaket dan petugas Polmas / Babhinkamtibmas untuk menyelesaikan permasalahan yang rawan konflik di tingkat lokal ( RT / RW / Desa ) dengan meberdayakan BKPM dan mengikut sertakan tokoh-tokoh masyarakat.
Pimpinan satuan kewilayahan / Kapolres selalu memperhatikan setiap permasalahan perbedaan kepentingan / tujuan walaupun masih skala kecil belum muncul konflik terbuka. Setiap adanya eskalasi peningkatan konflik selalu diadakan mediasi dengan memfasilitasi penyelesaian di Polres / KOD. Dalam memfasilitasi tersebut tidak serta merta menghilangkan konfliknya tetapi dimensi positifnya tetap ada, dimensi negatifnya harus dihilangkan. Dalam penyelesaian / mediasi di Polres tokoh-tokoh adat kedua pihak (suku bangsa) yang terlibat pebedaan kepentingan harus hadir. Yang hadir harus tokoh adat tertua atau pimpinan adatnya.
Perbedaan antar kelompok yang sudah muncul diupayakan sebisa mungkin dapat diselesaikan di tingkat lokal dan mengindari penyelesaian melalui pengadilan.
Tahap ketiga , ketika konflik muncul secara terbuka dan agar tidak berkembang ke hal yang lebih luas , harus segera dilaksanakan penanganannya dengan menggunakan metode resolusi konflik. Penyelesaian diupayakan tidak melalui jalur pengadilan.
Tahap keempat , merupakan tahap pasca konflik yang harus tetap waspada dan tetap optimal agar konflik tidak mudah berkembang dan muncul lagi dalam eskalasi yang lebih besar. Untuk personil yang sudah disetting diupayakan jangan ditarik terlebih dahulu, antisipasi konflik-konflik baru.
III. P E N U T U P.
Konsep konflik terbagi dalam dimensi negatif (konflik sebagai sesuatu yang dekat dengan kekerasan, emosional dan destruktif) dan dimensi positif (konflik berpotensi mendorong orang menjadi maju dan menghasilkan perubahan). Sedangkan perspektif kepolisian konflik diketahui / dipersepsikan sebagai konflik terbuka yang sudah muncul dan dapat mengganggu kamtibmas. Implementasi manajemen konflik di tingkat KOD untuk menangani konflik horizontal dilaksanakan mulai tahap deteksi dini gejala-gejala yang rentan tejadinya konflik, pemetaan kelompok/kesukuan yang rawan konflik, saat konflik muncul secara terbuka dan pasca terjadinya konflik. Menyikapi kerawanan konflik sosial di masyarakat untuk mengoptimalkan kinerja Polri dalam penanganan konflik, maka perlu dilakukan upaya-upaya :
- Melakukan pelatihan manajemen konflik di Polres secara aplikatif / studi kasus / simulasi dengan menekankan bahwa konflik tidak hanya berdimensi negatif tetapi juga ada dimensi positifnya.
- Optimalkan peran bapulbaket dan petugas Polmas / Bhabinkamtibmas untuk memonitor setiap adanya perbedaan kepentingan antar individu maupun kelompok terutama yang bernuansa kesukuan dan memetakan kelompok-kelompok yang berdasarkan sukubangsa serta tokoh-tokoh adat yang berpengaruh.
- Berdayakan FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat) dalam membantu penyelesaian permasalahan warga yang berkonflik di tingkat lokal dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan berupaya menghindari penyelesaian melalui pengadilan untuk kasus-kasus perslisihan yang kecil.
- Menyarankan kepada Pemda dan pemuka-pemuka adat untuk tidak terlalu memunculkan simbol-simbol kesukuan yang berlebihan saat berkumpul dengan warga lainnya dalam rangka kegiatan kebersamaan.
- Setiap penanganan konflik terbuka pelibatan pengerahan personel / pasukan yang besar harus melalui pertimbangan yang matang dan setiap tahapnya harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Netralitas anggota dilapangan terutama yang sama sukubangsanya harus dijaga dan malahan tidak menjadi pemicu solidaritas primodialisme, sehingga konflik sosial menjadi meluas.
- Dalam penyelesaian konflik setelah pasca konflik tetap harus dipantau dan diantisipasi rasa ketidak puasan dan adanya pihak ketiga / provokator yang ingin mengambil keuntungan dengan adanya konflik tersebut.
- Penanganan konflik yang sudah berdarah-darah / terbuka dan menelan korban jiwa harus ada komitmen, persamaan persepsi antar aparat terkait, Polri, TNI, Pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat dalam penanganan satu kata dan seirama. Hal tersebut menghindari adu domba dan provokasi pihak lain.
Lembang, Oktober 2015
Penulis