Jejak Tapak Sekepal Tanah Surga
Refleksi Pencarian Wisata Tersembunyi Pulau Sumatera; Kerinci
Oleh : Agung Iranda
Sekepal tanah surga, Sebuah anugerah untuk dunia, Kita sudah sama-sama mengecapnya. O.. tanah juwita pusaka, sepasang arwah cinta. Hembusan wangi nafas sejukmu, Menenteramkan hidup insan.
Burhan Rodja Ghazali.
Tidak banyak yang ingin mengerti mengapa Burhan Rodja Ghazali menulis syair selirih itu. Bagi Burhan Ghazali, alam Kerinci mengandung ekstase yang menggugah nalar dan intuisi. Pada gilirannya menjadi celah bagi terwujudnya transendensi. Efeknya secara psikologis, menjadikan kita terpikat dan takjub.
Sebagai pribadi yang lahir di Kerinci, tumbuh secara kultural dalam lingkungan Kerinci selama belasan tahun, penulis berusaha memotret kembali seluk beluk wisata Kerinci, lewat observasi, riset. Termasuk diantaranya mempelajari narasi histori yang panjang termaktub dalam naskah-naskah kuno Kerinci, yang dikenal dengan sebutan Incung dan terkuaknya naskah paling tua yaitu Naskah Tanjung Tanah yang kehadirannya disinyalir pada abad 14 M . Saya tidak begitu mengintimi naskah tersebut, hanya berusaha memahami lewat mozaik pengetahuan modern, dari Voorhoeve, Uli Kozok, dan tentunya Budayawan senior; Iskandar Zakaria. Incung sendiri diabadikan di ruas bambu, kertas, kulit kayu, tanduk kerbau dan kambing. Untuk konservasi ditaruh di loteng serta dibuka, ditahbiskan dan dirayakan secara adat lewat kenduri sko, salah satu hajatan tahunan adat di tiap desa. Substansi yang ingin dilacak dalam Naskah incung, yaitu mengenai silsisah keluarga, pengaruh Islam dan ratapan duka sepasang kekasih.
Alam Kerinci dan Gairah Tak Biasa.
Kata terindah adalah puisi, puisi terdalam adalah Alam. Alam tidak boleh pasif, ia harus bermetamorfosa menjadi situs wisata, yang kemunculannya dinanti sebagai pundi penghasilan masyarakat. Terminologi tersebut mulai berusaha untuk penulis sadari, terutama ketika mengikuti seminar Prof. Dr. Yoshifumi Muneta, seorang pakar pariwisata dari Jepang di Universitas Gadjah Mada. Dalam hematnya, alam raya harus digerak menjadi fasilitas komersil ke dunia luar, dijejalkan dengan nilai, falsafah hidup, etika serta kebudayaan masyrakat. Ukuran lain dari kemajuan wisata adalah menggaet wisatawan tidak hanya sebagai penikmat musiman, namun secara partisipatif memberi kontribusi terhadap perkembangan masyarakat. Selain itu, pengenalan situs bersejarah dan usaha memodifikasi agar tetap tumbuh dengan gaya modern. Tidak kaku lagi kuno.
Secara geografis, Kerinci diapit oleh pegunungan, dan jalannya yang berbelok terjal dengan tempalan-tempalan dan lubang kecil. Bangunan infrastruktur yang belum memadai, menjadi kendala utama untuk dijangkau oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Di langit harapan kami selalu menanti pemerintah pusat turun menyukseskan operasi jalan darurat Gunung Kerinci. Sebagai strategi agar wisatawan dari Sumatera Barat dan Bengkulu dengan leluasa berlibur di Kerinci. Akses menjadi tolak ukur bagi terselenggaranya wisata yang profesional. Bila akses dibangun secara baik oleh pemerintah, maka angka rata-rata turis 1500 pertahun ke Kerinci, akan mengalami kenaikan yang luar biasa, menjadi wujud aktual wisata yang megah dengan jutaan pasang mata yang datang silih berganti.
Ketika mendengar Kerinci, banyak alasan kita terpesona, diantaranya; pertama, barisan Gunung kecil dan danau yang saling berhimpit di area Kerinci bagian selatan, Lebih dari lima belas danau dalam keteraturan pesona, dan lima diantaranya kini mulai memikat turis mancanegara; Danau Lingkat, Kaco, Kecik, Danau Nyalo dan danau Duo, yang kesemuanya menumbuhkan gairah tak biasa bagi penikmatnya. Tidak berhenti di situ, dunia yang kaya warna dan suara, dengan keanekaragaman flora dan fauna, puspa satwa yang langka, hidup dan menghiasi tiap ruang dan waktu, ekosistem yang tumbuh bagai pelangi, semakin jelas menggambarkan keindahan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.368.000 hektar. TNKS sendiri dikelola sebagai aset internasional, dan berfungsi sebagai hidrologis yang sangat vital bagi ruang gerak manusia, dan begitu penting kehadirannya sebagai detak jantung kehidupan.
Kedua, potensi besar Gunung Kerinci yang selalu dianggap mahkota wisata Kerinci. Gunungnya menjulang menatap langit sebagai atap Pulau Sumatera dengan ketinggian 3805 M. Bagi pendaki gunung, ini adalah ruang aktualisasi diri yang hebat. Dalam pendakian kita meneropong lahan Kerinci dari ketinggian. Lahan paling subur di Sumatera itu menjadi indikator kesejahteraan petani. Bila parameternya suhu udara, maka di lahan yang berhawa panas dan sinar matahari total, masyarakat cenderung menanam padi. Sebaliknya pada lahan udara yang relatif dingin dengan panas matahari yang samar-samar seperti di Kaki Gunung Kerinci, Batang Merangin, dan Renah Pemetik, masyarakat berduyun-duyun menanam kopi, teh, dan sayur mayur. Secara keseluruhan untuk menentukan garis hidup masyarakat agraris Kerinci, hampir semua lahan Kerinci ditanam Kayu Manis dengan potensi terbesar di dunia. Hasil pertanian diekspor ke berbagai daerah, termasuk di luar negeri; Singapura dan Malaysia dan sampai beberapa negara lainnya di eropa. Selain surganya wisata, Kerinci juga surganya petani.
Gunung Kerinci tidak berdiri sendiri, di kakinya terhampar kebun teh seluas 3020 hektar. Dengan berjejar, rapi dan ditanam dengan gaya dan pola yang mengandung muatan artistik. Bangunan khas tempo dulu di tiap sudut, baik arsitektur kolonial maupun bangunan Jawa. Di ujung kebun, kita menemukan air terjun Telun Berasap yang menyembur. Untuk merasakan desirnya, kita harus turun meniti deretan tangga sampai di pondok kecil yang langsung bersebelahan dengan semburan yang menganga. Dengan uapan dan cipratan airnya yang menggoda sekaligus membunuh kepenatan. Kita yang menikmatinya, terlena secara pelan-pelan kita mulai menganggukkan kepala pada syair yang begitu dalam karya Burhan Ghazali, “hembusan wangi nafas sejukmu (Kerinci), menenteramkan hidup insan.
Sebuah Lanskap Kebudayaan dan wisata yang Takkan Punah
Usborne dan Taylor dalam sebuah penelitiannya menganggap identitas budaya sebagai ptototipe dari jati diri individu, maka kumpulan individu selalu bergerak menuntut agar budaya diperluas menjadi harga diri dan salah satu aspek kesejahteraan. Untuk mengantisipasi agar kebudayaan tidak punah, dan serpihan sejarahnya tidak ditelan oleh kabut waktu, maka Pemerintah Kerinci membangun satu meseum alam Kerinci. Lokasinya di pusat wisata Danau Kerinci, Danau Kerinci yang luasnya 4200 hektar, dengan keelokannya yang menggoda, berikut dengan potensi perikanan dan tonggak penghasilan para nelayan, dan posisinya yang dikelilingi pemukiman warga. Pemerintah sadar betul, danau Kerinci sebagai titik sentrum dari kehidupan masyarakat.
Dalam penelitian mutakhir menyangkut kebudayaan dan wisata Kerinci, untuk mentransformasikan konsep natural menjadi konsep ekonomi, dengan tidak menganggap sepele kebutuhan jual beli dan pemasukan warga. Penelitian yang dilakukan di Universitas Udayana oleh Azita dan Oka Mahagangga menyebutkan strategi pengembangan wisata harus mengikuti beberapa siasat sebagai solusi, diantaranya; Pertama, pembenahan secara total akses bandara Depati Parbo dan jalan darat. Kedua, Promosi konkret pada tingkat yang seluasnya, untuk membangun suatu pengetahuan baru bagi wisatawan. tidak hanya di provinsi Jambi dan Indonesia. Namun juga di blantika global. Ketiga, Pengadaan biro dan agen perjalanan wisata, sebagai ikhtiar membangun kenyamanan bagi wisatawan. Yang terkahir adalah upaya pemerintah untuk menyumbang tenaga kerja dan sumber daya manusia yang ahli dibidang pariwisata, yang berani untuk komitmen dan bertanggung jawab kepada kehidupan publik, khususnya bertugas membumikan sekepal tanah surga.
Penulis ; Peneliti Muda Adat dan Kebudayaan, Magister Psikologi UGM. Pelopor Visit Kerinci DIY dan Jateng.