Nasionalopini

Pemilihan Presiden Tahun 2019, Demokrasi Dalam Kepalsuan Demokrasi

PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2019

(DEMOKRASI  DALAM KEPALSUAN DEMOKRASI)

By Syamsul Bahri

Kondisi demokrasi Indonesia saat, dicermati secara objektif dan tidak memiliki korelasi  keberpihakan pada pasangan Calon Presiden 01 dan atau 02, sungguh penuh dengan kepalsuan dan cenderung tidak demomratis, karena bertolak belakang dengan azas demokrasi itu sendiri, dan  bertentngan dengan hukum logika dan logika hukum, sesungguhnya saya tidak ingin mengungkapkan kondisi ini, walaupun sesunggunya sudah diungkap oleh para Ilmuwan, namun hati ini selalu berontak untuk menyuarakan demokrasi keplasuan ini.

Bahwa proses pemilihan presiden dalam kepalsuan semu pesta demokrasi pemilu  tahun 2019 sudah dimulai saat proses penyusunan Rencana Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum  Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Pasal 222 tersebut merupakan sebuah tragedy demokrasi demokrasi dalam kepalsuan, hal ini sudah banyak dibahas oleh para pakar dan Ilmuwan, yang sepakat bahwa parlement threshold 20% itu bertolak dengan logika hukum dan Hukum logika, karena Parlement threshold tersebut sudah digunakan untuk Pilpres tahun 2014, yang berhasil membawa Pasangan Jokowi dan Jusuf Kala ke Istana untuk memerintah sampai tahun 2019, melalui siding Paripurna DPR, ketidak sesuaian logika hukum dan hokum logika tersebut bisa dipakai kembali untuk untuk Pilpres Tahun 2019, melalui document hukum Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, walaupun sudah diajukan JR, namun  tetap menjadi acuan dalam Pilpres 2019,

Konsfirasi yang sistematis ini memberi kesan “President Treshold Isi Ulang”, pada saat penetapan 20% tersebut melalui sidang Paripurna Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN melakukan walk out untuk menolak President Treshold tsb, dan sungguh naïf dan konspiratif yang menghadang logika hukum dan hukum logika bahkan membiaskan pengertian demokrasi yang sesungguhnya, dalam rangka memberi legitimasi bahwa demokrasi one man and one vote (demokrasi liberal) sebuah kebenaran demokrasi yang diakui dalam batang tubuh UUD 1945, pada hal tidak sejalan dengan Pembukaan UUD 1945, yang masih tetap menganut bahwa demokrasi berazaskan “KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN”

Bertentangan dengan Logika hukum dan hukum logika, karena Pelaksanaan Pemilu President dan Pemilu Legeslatif secara serantak tahun 2019, sehingga sesungguhnya belum diketahui berapa kursi dan partai mana yang akan duduk di DPR hasil Pileg 2019, tentunya usulan agar ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold ditiadakan atau Nol, sesuatu yang memliki kebenaran secara logika hukum dan syah secara hukum logika, dan itulah demokrasi yang sesungguhnya.

Skenerio tersebut terus berlanjut dengan bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pada pasal 6, yang mengatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya, namun ketentuan tersebut dimentahkan melalui skenerio demokrasi di DPR ketentuan itu sudah tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana, tertuang dalam dalam pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengamanatkan bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 pasal 6 tersebut itu sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017, yang dipertegas pada pasal 300 dan 301 Tentang Pemilu,  bahwa presiden dan wakil presiden tidak perlu melepas masa jabatan namun tetap menjalankan tugas negara.

Skenerio itu berlanjut, karena sang patahana tidak mundur atau cuti sebagai Presiden periode 2014-2019, sehinga dalam pelaksanaan kampanya sang patahana bersatus ganda sebagai Presidan dan Calon Presiden yang tentunya fasilitas Negara dan kewenangan sebagai Presiden dapat dimanfaatkan atau digunakan dalam pekasanaan Kampanye Pilpres.

Jika kita cermati proses Pilpres ini, memberikan kesan nyata berdasarkan skenerio yang tersusun secara sistimatif, baik dari proses legal dalam bentuk UU yang tentunya diikuti dengan ketentuan tehnis lainnya, dilanjutkan dengan tahapan tahapan sesuai ketentuan, merupakan pelaksanaan demokrasi dalam kepalsuan demokrasi, hal itu dapat kita lihat dari berbagai trik-trik permain hukum yang sedang dimainkan saat ini.

Bahwa demokrasi sesungguhnya adalah untuk mewujudkan keadilan yang berkeadilan baik dalam proses pemilihan, maupun implementasi untuk mewujudkan keadailan social bagi seluruh rakyat Indonesia  sebagai tujuan dari demokrasi pemilu untuk menciptakan Pemerintahan Rakyat atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Fakta yang factual saat ini, akibat dari President Treshold 20% isi ulang atau penggunaan ulang, sehingga pelaksanaan pemerintahan tidak efektif, karena pada tahun 4, dan 5 terjadi upaya upaya Patahana untuk memperkuat kekuatan politik untuk bagaimana menguasai market politik, dan memunculkan yang diduga akan muncul 2 atau 3 kubu yang saling berebut dalam kekuasaan, faktanya saat ini terjadi 2 kutub yang saling menjegal yaitu kutub Patahana dan kutub Penantang, yang akan membelah secara social politik Indonesia, dan ini akan mengalami ketegangan sampai pada pasca Pilpres, apalagi terkait dengan Pemilu Legeslatif yang bersamaan, bahkan akan menganggu proses pembangunan dan menyedot keuangan yang cukup besar.

Untuk menghindari kutubnisasi yang akan datang, perlu ada kajian dan penelitian komprehensif dalam pelaksanaan Demokrasi saat ini yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ketentuan dasar yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, apakah melanjutkan demokrasi langsung dengan mendesign agar pelaksanaan demokrasi pemlihan presiden tidak menjadi perebutan yang menimbulkan keterpecahan  selama proses demokrasi itu berjalan bahkan sampai pasca.

Hal tersebut sudah pernah dilontarkan oleh Prof Salim dalam acara Indonesia Lawyers Club di tvOne, Selasa 16 Oktober 2018, dengan scenario Presiden hanya satu periode dan tidak ikut berkompetisi pada periode selanjutnya serta memperpanjang periode dari 5 tahun menjadi 7 tahun atau 8 tahun, atau kembali ke dasar hukum demokrasi dasar di Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945, melalui pemelihan keterwakilan, sebagaimana telah dilakukan sebelum reformasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button