Jambiopini

Survey Elektabilitas Bakal Calon Kepala Daerah

(Antara Mengedepankan Orientasi Ilmiah Atau Orientasi Bisnis)

Oleh : Syamsul Bahri

Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati/Walikota akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 23 September 2020, sebanyak 270 daerah, dengan rincian 9 pemlihan gubernur yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, sebanyak 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota yang saat ini sudah melakukan Tahapan-tahapa Peilkada melalui rezim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898).

Sebuah tahapan yang sangat menentukan bagi Bakal Calon Kepala Daerah, yaitu melakukan proses tahapan mendapatkan Partai pengusung atau Pengusul sesuai dengan jumlah kursi atau suara yang telah ditetapkan berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di setiap Wilayah Pemiihan berdasarkan jumlah anggota Legeslatif yang telah ditentukan, yang berbunyi “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”

Secara umum Kursi dari masing-masing partai atau suara yang masuk sebagai anggota legeslatif, tidak mencukupi 20% kursi atau 25% akumulasi suara, sehingga memaksa partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi syarat untuk bergabung (koalisi) agar dapat mengusulkan calon kepala daerah.

Untuk mendapatkan partai atau gabungan partai pengusung atau pengusul dengan jumlah suara atau kursi yang telah ditetapkan, maka partai Politik melakukan penjaringan melalui proses pendaftaran dengan persyaratan administrasi yang ditetapkan. Proses itu lebih lanjut dilakukan dengan bentuk bentuk kajian kelayakan semacam fit and proferty test dan langkah terakhir yaitu survey elektabilitas masing-masing Bakal Calon untuk menguji kelayakan Bakal Calon Kepala Daerah oleh masyarakat melalui Lembaga survey yang telah ditunjuk oleh partai masig-masing dan kecenderungan Lembaga yang direkomendasi adalah Lembaga survey nasional, dengan beban pembiayaan dibebankan kepada Bakal Calon Kepala Daerah yang mau dan mampu dan telah melalui proses pendaftaran.

Lembaga survei berperan penting dalam memotret perkembangan tingkat popularitas, kesukaan, dan elektabiltas terhadap bakal calon kepala daerah dan partai politik. Untuk mendapatkan data-data evaluasi performa kepuasan para pemilih terhadap Bakal Calon Kepala Daearh dan partai politik.

Dari beberapa pemahaman, survey elektabilitas sangat mementukan dan menjadi nilai/parameter penting seseorang/pasangan untuk menjadi calon yang diusung/diusul oleh Partai baik secara sendiri maupun berkoalisi menjadi calon untuk maju sebagai peserta Pemilihan Kepala Daerah.

Parameter popularitas dan elektabilitas menjadi factor yang sangat menentukan, artinya opini publik yang dikenal oleh masyarakat menjadi indicator penting, mungkin dengan tidak mengabaikan Track dan Trade record masing-masing Bakal Calon Kepala Daerah yang secara umum belum banyak dikenal masyarakat.

Survey elektabilitas ini sangat dirasakan penting oleh para Bakal Calon Kepala Daerah adalah merupakan salah satu model yang dikenal dalam hubungan survei dan perilaku pemilih adalah efek bandwagon. Argumen dalam efek bandwagon yakni seorang pemilih akan cenderung memilih seorang kandidat atau partai politik karena kandidat atau partai tersebut diopinikan akan memenangkan pemilu yang akan direkomendasikan ke Partai pengusung untuk dipilih atau dituunjuk sebagai Calon yang akan akan diusung pada Pilkada nantinya, walaupun efek bandwagon ini tidak menjadi target utama survey.

Karena pemilih cenderung mengikuti pendapat mayoritas, meski tak semua kandidat yang diopinikan menang akan keluar sebagai pemenang pemilu. Itu mengapa hasil poling yang dilakukan pra-pemilu bisa mempengaruhi keputusan seorang pemilih. Kemenangan dalam poling bisa menghadirkan kemenangan sungguhan di hari pencoblosan, atau menjadi self-fulfilling prophecy.

Pelaksanan survey ini dinilai cukup rawan dalam proses penentuan siapa Bakal Calon Kepala Daerah yang akan diputuskan atau ditetapkan untuk diusul atau diusung sebagai Calon Kepala Daerah ke masing-masing partai, karena semula Survey elektabilitas ini dipakai untuk kepentingan akademis, namun sekarang ada kecenderungan lembaga survei menjadi sebuah peluang atau berorientasi bisnis, dan bahkan berkembang merangkap sebagai konsultan Politik, disini muncuk konflik intrest, bahkan cenderung mengedapan nilai bisnis dari pada menggali dan mengamati persepsi dan keingina public sebagai pemilih.

Lembaga survey elektabilitas yang berorientasi bisnis jika mengabaikan fakta dan factual di tingkat akar rumput untuk meneropong dan mengamati prilaku pemilih yang sesuai dengan keinginan pemilih, sehingga rekomendasi yang direkomendasikan belum sesuai dengan kondisi nyata di tingkat akar rumput, karena mengedepankan nilai manfaat financial secara Business oriented

Tentunya hasil akhir dari hasil survey akan direkomendasikan jauh dari apa yang ada ditengah public, dan diharapkan ke depan untuk Lembaga survey agar Bakal Calon Kepala Daerah yang direkomendasi harus berdasarkan basis ilmiah yaitu fakta dan factual di akar rumput, maka diharapkan Lembaga survey betul berbasis ilmiah dan menjauhkan dari basis bisnis, agar demokrasi di Indonesia baik demokrasi PILPRES, PILEG maupun Pilkada betul-betul mencerminkan fakta lapangan.

Bahkan tidak bisa dibayangkan apabila Lembaga survey merangkap sebagai Lembaga konsultan Politik Bakal/Calon Kepala Daerah yang akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah yang jelas dalam perjaniian kontrak kerja sangat menonjolkan keberpihakan dan business oriented.

Walaupun seharusnya Lembaga survey dalam rangka Pilkada harusnya mengedapankan dan menjaga kualitas independensinya sudah diatur dalam UU 16/1997 tentang statistik. Dalam sejumlah pasalnya menyebutkan bahwa lembaga survei wajib memberi kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk mengetahui dan memperoleh manfaat dari survei. Bahkan Lembaga survey sesuai dalam aturan yang ditetapkan KPU Nomor 8 Tahun 2017 menyebut, di antara hal lain, bahwa lembaga survei dilarang melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilihan; benar-benar melakukan wawancara dalam survei; tidak mengubah data lapangan maupun dalam pemrosesan data; menggunakan metode ilmiah; serta melaporkan sumber dana.

Pertanggungjawaban survey yang bersifat public yang diamati selama ini hanya dipertanggung jawabkan kepada partai dan Bakal calon sebagai pemesan  dan membiayai pelaksanaan survey, namun tidak disampaikan ke public sebagai bentuk pertanggungjawab ke Publik dan hasil akhir adalah Bakal Calon Kepala Daerah yang membiayai survey sebagai calon yang diusul dan diusung untuk menjadi Kepala Daerah.

Untuk seorang atau pasangan bakal calon kepala daerah, kondisi itu belum berakhir, karena hampir secara umum partai politik tersebut pasti melakukan koalisi dengan partai politik lain, tentunya prosedur dan tahapan survey yang sama dengan pembiayaan yang hampir sama, namun hasilnya belum tentu sama, dan ini menjadi problem kelembagaan partai untuk pengusungan.

Tahapan tersebut akan berlanjut adanya bargaining position terkait nilai kursi masing-masing partai yang duduk di Parlemen local baik Kabupaten/Kota maupun untuk Provinsi sebagai uang mahar (termasuk politic cost) yang tentunya tidak terelakkan dalam proses mencari partai pengusul atau pengusung, serta biaya operasional dllnya, tentunya nilainya sangat Wahhhh.

Harapan penulis, diharapkan pada Pilkada serentak tanggal 23 September 2020 hal itu tidak terjadi dan dapat dihindari dan semoga Calon Kepala Daerah yang diusung oleh Partai Politik atau koalisi Partai Politik memang betul-betul berdasarkan fakta dan factual keinginan dari masyarakat akar rumput, tidak berdasarkan hanya aspek bisnis semata-mata, yang akan membuat demokrasi di Indonesia semakin tidak jelas.

Untuk difahami bahwa tujuan survei atau polling sejatinya bukan untuk memengaruhi opini publik tapi untuk mendapatkan data dan informasi tentang peta kekuatan masing-masing kontestan dan perilaku pemilih (voter behavior) dan tujuan utama dari survei bukan untuk memengaruhi opini public, namun sebagai bahan evaluasi dari para Bakal Calon atau Calon Kepala daerah untuk memahami kekuarangan dan keunggulan. Dan kalaupun public terpengaruh oleh hasil survey, itu bukan tujuan, melainkan salah satu impect dari Public survey.

Kebenaran dan kejernihan dari sebuah hasil akhir demokrasi politik akan ditentukan oleh system yang baik dan benar yang dilakukan melalui proses yang benar dan tepat oleh Pelaku yang benar dan tepat, jika sebaliknya, maka hasil akhir Demokrasi politik akan menghasilkan pemimpin yang belum benar dan belum tepat, tentunya pemimpin yang belum memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memberikan solusi dan perbaikan taraf hidup masyarakat sebagai tujuan utama dari Demokrasi Politik, wait and see”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button