Tale Sastra Lisan Suku Kerinci yang terancam punah
Kerincitime.co.id, Sungai Penuh – Salah satu bentuk sastra tradisional yang perlu diteliti adalah sastra lisan Kerinci. Sastra lisan Kerinci merupakan bentuk sastra yang dimiliki oleh masyarakat Kerinci.
Sebagai produk budaya, sastra lisan Kerinci pada prinsipnya memiliki karakteristik yang sama dengan sastra lisan daerah lain di Nusantara. Sastra lisan Kerinci berkembang di tengah masyarakat Kerinci sebagai kristalisasi budaya masyarakat yang berproses secara alami.
Sastra lisan Kerinci sarat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kerinci. Salah satu bentuk sastra lisan Kerinci adalah Tale. Tale adalah sejenis pantun yang dinyanyikan. Setiap jenis Tale berbeda isi dan iramanya sesuai dengan kegunaan dan tujuan pemakaiannya. Tale sangat dikenal dan frekuensi pemakaiannya cukup tinggi.
Tale digunakan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat Kerinci, seperti saat gotong royong, menuai padi di sawah, muda-mudi yang sedang bercinta (bertandang), penampilan hiburan rakyat, acara pelepasan jemaah calon haji, dan berbagai upacara tradisional.
Tale yang masih tetap digunakan secara tradisi sampai sekarang adalah Tale yang digunakan dalam tradisi untuk melepaskan jemaah haji ke Tanah Suci Mekkah. Tale ini sangat akrab dengan tatakrama kehidupan masyarakat Kerinci. Tale pelepasan jemaah haji ini sampai sekarang tetap dilaksanakan secara tradisi dan rutin setiap tahun jika ada anggota masyarakat Kerinci yang akan pergi menunaikan ibadah haji.
Di samping dilaksanakan secara tradisi di tengah keluarga Tale pelepasan jemaah haji ini juga harus dilaksanakan secara adat di tengah pemimpin negeri, pemimpin adat, dan masyarakat kampung dengan segala persyaratan tradisi yang berlaku.
HJ.Nazurty,M.Pd Dosen Universitas Negeri Jambi dalam Disertasi yang di sampaikan dihadapan Guru besar Universitas Negeri Jakarta untuk memperoleh gelar Doktor (4/9-2013) menyampaikan Disertasinya berjudul Nilai- nilai budaya dalam sastra lisan tale Kerinci:Kajian structural dan semiotic.
DR.Hj.Nazurty,Suhaimi,M.Pd mengemukan bahwa Sastra adalah bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian sastra lisan merupakan bagian dari sistem kebudayaan, maka dalam sastra lisan akan terekam pengalaman hidup masyarakat pemiliknya. Berbagai cara digunakan untuk menyebarluaskan informasi budaya suatu masyarakat, misalnya pendidikan formal dan informal. Khususnya bagi mereka yang masih berpegang teguh pada tradisi lama terdapat cara tersendiri untuk menyampaikan nilai dan norma-norma yang berlaku, seperti tradisi lisan yakni sastra lisan.
Penyampaian nilai-nilai dan norma–norma merupakan proses pendidikan nonformal kepada masyarakat penikmat sastra. Untuk itu sastra lisan dapat digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan informasi budaya baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal. Khususnya untuk pendidikan formal sastra lisan dapat memperkaya bahan atau materi ajar pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Lebih jelasnya, sastra lisan dapat dijadikan bahan ajar untuk memperkaya bahan dan sumber materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah dan di Perguruan Tinggi.
Oleh karena itu, sastra lisan banyak memberikan manfaat terhadap masyarakat pendukungnya karena sastra lisan dapat mewariskan nilai-nilai budaya masa lalu yang sangat bermanfaat untuk masa sekarang. Terlebih lagi pada sastra lisan penggambaran tentang norma-norma dan adat-istiadat sangat kental mempengaruhi lahirnya sebuah karya sastra. Hal ini merupakan nilai-nilai budaya yang sebagian besarnya dapat diaplikasikan kepada yang masih berlaku dalam tatanan masyarakat sekarang.
Mengingat kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting, maka penelitian mengenai sastra lisan perlu dilakukan sesegera mungkin. Apa lagi mengingat terjadinya pergeseran tatanilai budaya dalam masyarakat, seperti adanya kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan hilangnya sastra lisan.
Dengan demikian usaha pewarisan nilai budaya suatu bangsa kepada anak-cucu kelak akan terabaikan, karena dalam karya sastra lisan dapat ditemukan nilai moral, falsafah, ideologi dan nilai budaya suatu suku bangsa yang bisa menjadi teladan untuk generasi berikutnya.
DR.HJ.Hj.Nazurty,M.Pd dalam Disertasinya megunngungkapan nilai-nilai budaya sastra lisan Tale, penelitian yang dilakukan Nazurty ini menggunakan metode analisis isi (content analysis) dengan pendekatan struktural dan semiotik. Metode analisis isi digunakan untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya dalam sastra lisan Tale berkaitan dengan struktur, simbol, makna, pesan yang terkandung di dalamnya serta fungsi dan pengaruh terhadap masyarakat pendukungnya. Sebagai penelitian kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis) data-data formalnya diambil dari teks naskah Tale dalam bentuk nilai-nilai budaya yang terdapat dalam ungkapan satra lisan Tale
Tale tergolong ke dalam karya puisi konvensional yang strukturnya mengacu kepada konvensi yang sudah ada, yaitu tifografi, rima, ritma dan metrum, diksi, pencitraan, dan majas sama pada setiap kelompok atau identitas Tale, kecuali tema. Tema yang ditemukan di dalam Tale adalah perpisahan, kesedihan dan keharuan, nasehat, petunjuk, dan kasih sayang keinginan, kehendak, harapan, atau cita-cita. Tema-tema tersebut diungkapkan sesuai dengan situasi, kondisi, dan hubungan antara si Petale dengan para jemaah baik hubungan secara kontak dan lingkungan sosial maupun maupu kontak emosional.
Nilai-nilai budaya yang ditemukan dalam hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu taat, tawakkal, takdir Allah, kekuasaan Allah, bersyukur, kekuatan iman. Hubungan manusia dengan alam, yaitu manusia meguasai alam, perilaku manusia dan alam, manusia dan alam sekitarnya, pemanfaatan alam. Hubungan manusia dengan masyarakat, manusia sebagai anggota masyarakat. Hubungan manusia dengan manusia lain, manusia dan pemimpin, manusia dan keluarga, manusia dan kerabat. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu menjaga keseimbangan antara kehendak atau harapan dengan kenyataan dengan cara meningkatkan keimanan kepada Allah Swt.
Depati Maisyardi,S.Pd dan Depati Marlis Mukhtar,ketua Lembaga Adat enam Luhah Sungai Penuh (29/9) menyebutkan sampai era tahun 1980 an tale masih tumbuh dan berkembang dengan subur,diantara tale yang berkembang ialah Tale / dan sike Gotong royong,tale mangko,tale menuwai padi,tale mabeouk dan tale naek joi(Tale pelepasan Calon Jemaah Haji). Belakangan tale tale tersebut semakin jarang dipergunakan oleh masyarakat kecuali tale naek joi.
Tale naek joi hanya di lantunkan pada saat menjelang pelepasan keberangkatan calon jemaah haji,biasanya para petale menalekan calon jemaah haji dari saru rumah kerumah anggota keluarga calon jemaah haji.
Pengamatan penulis dan wawancara dengan tokoh adat dan budayawan setempat memperlihatkan bahwa jumlah para petale dari waktu kewaktu semakin berkurang,tidak banyak generasi muda di daerah ini yang menguasai tale tale termasuk tale naek joi,sebagian besar para petale berusia diatas 50 tahun.
Bukan hanya tale naek joi saja, tale tale yang lain seperti tale turun kesawah,tale nuwei,tale mabeouk termasuk sike sejak dekade tahun 1990 an hingga saat ini nyaris tenggelam dalam pusaran kemajuan peradaban zaman, Dinas terkait seeperti dinas Pariwisata dan Kebudayaan seakan akan tidak memiliki kemampuan untuk melestarikan nilai nilai budaya yang selama berabad abad tumbuh dan berkembang ditengah tengah masyarakat.kegiatan yang dilakukan oleh dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam membina budaya dan tradisi masyarakat bagikan iklan mobil fanther”Nyaris tak terdengar”.Sebuah Ironi agaknya. ( Budhi Vrihaspathi Jauhari)