Dukungan Semu Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Pola penjaringan oleh Partai Politik Menjadi Kata Kunci, Untuk menemukan Pemimpin Daerah yang baik dan terukur
Oleh : Syamsul Bahri, SE
Pemimpin itu adalah mengelola sebelum keberhasilan masa lalu menjadi keberhasilan masa kini, dan menghilangkan ketidak keberhasilan masa kini, bukan menjelekan masa lalu, itulah tanggung jawab sebagai pemimpin dan kegagalan pemimpin politik selama ini, karena mandat semu yang diberikan pada proses demokrasi politik.
Pemilihan Kepala daerah (Pemilu-kada) yang serentak tahun 2020 sebanyak 224 Wilayah Kabupaten dan 34 Kota dan 9 Pemilihan Gubernur, sudah memasuki tahapam Penyerahan syarat dukungan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur kepada KPU Provinsi (9 Desember 2019–3 Maret 2020), dimana saat ini Partai Politik sedang melakukan proses penjaringan melalui tahapan yang ditentukan oleh Parpol masing-masing.
Masing-masing bakal calon kepala daerah (baca-kada) telah berusaha melakukan pendaftaran dan penjaringan melalui Parpol yang melakukan proses penjaringan, tentunya kegiatan sosialisasi dan klaim mengklaim sampai ke basis lawan tetap akan dilakukan sebagai modal dalam mendukung pelaksanaan survey elektabilitas yang dilakukan oleh masing-masing parpol.
Baliho dan sosialisasi, temu silaturrahmi, road show, penyebaran spanduk saat ini menjadi bagian dari menjaring kekuatan pendukung yang dilakukan oleh masing-masing Baca-Kada ke setiap wilayah Pemilihan, tentunya dengan proses mencoba dan berusaha merangkul tokoh dan yang ditokohkan untuk suatu komunitas dalam wilayah atau daerah pemiihan (DAPIL), terutama tokoh informal yang ada, karena secara prinsip tokoh formal tidak dilegalkan untuk ikut dalam proses ini, karena tokoh formal cenderung berasal dari Kades, ASN dan pejabat public lainnya, namun dinelakang layer tentu mereka ikut aktif.
Salah satu bagian terpenting yang perlu dilihat dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, adalah bagaimana mencari dan munculnya calon terbaik untuk memimpin daerah, tentumya tidak dalam bentuk dukungan semu, yang cenderung akan menjadi permasalahan setelah terpilih nantinya.
Bakal Calon Kepala Daerah (Baca-Kada) terbaik tentu saja hanya akan muncul jika dilakukan proses penjaringan yang tepat dan benar serta sungguh sungguh dan professional yang dilakukan pada proses penjaringan melalui Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam koalisi yang berfungsi sebagai mesin produksi pemimpin politik.
Proses ini sangat menentukan Pemimpin atau Kepala Daerah yang bermutu atau tidak, atau kepala daerah yang memahami dan mengetahui persoalan daerah tersebut secara kongkrit dan memahami cara dan startegi untuk mengatasi masalah yang ada di wilayah tersebut, agar terhindar seorang pemimpin yang mengabaikan prestasi masa lalu dan selalu menyalahkan masa lalu karena tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut dan tidak memiliki prestasi untuk masa kini.
Jika proses penjaringan melalui Partai Politik ini justru hanya berpikir pada loyalitas partai, populis, memiliki financial yang mapan, serta utamanya UANG MAHAR dan uang lainnya dan mengabaikan rekam jejak yang baik dan nilai nilai leadership sang Baca-Kada, tentunya akan lahir pilihan masyarakat yang dilematis, sehingga ditingkat masyarakat atau akar rumput akan muncul keinginan memilih berdasarkan “wani Piro”, yang tentunya “dukungan semu”.
Kepemimpinan politik hendaknya bukan hanya dilihat dari aspek kemampuan financial yang mapan, populis dan terkenal, serta gelar akademis yang Panjang, namun rekam jejak dan pengalaman organisasi serta kedewasaan dalam politik dan kemasyarakatan, serta tidak terkait beban masalah hukum masa lalu hendaknya menjadi bagian utama dalam penjaringan Baca-Kada untuk menjadi Ca-kada.
Karena pemimpin politik itu sebagai kepala daerah, adalah bagaimana mengelola kebelum berhasilan masa lalu menjadi keberhasilan masa kini, dan menghilangkan ketidak berhasilan masa kini, bukan menjelekan masa lalu, sehingga kemapanan manajemen dan rekan jejak serta kedewasaan dalam organisasi social kemasyarakatan menjadi bagian yang penting untuk menjadi pemimpin.
Jika kita cermati kondisi Pelaksanaan Pemilu-kada yang telah berlangsung selama ini, kecenderungan banyak pasangan baik incumbent maupun bukan incumbent ataupun Independent terlalu dinina bobok dengan sebuah fakta dalam dukungan semu, hal ini sudah banyak terbukti, bahwa data dari peta politik hasil pemantauan dilapangan ”seakan-akan berpihak” pada pasangan tertentu, tapi kenyataan pada hari H justru terbalik, sehingga kajian dan analisa Ilmiah belum bisa mengalihkan prediksi kondisi hari H nantinya, karena ada sebuah kekuatan ”invisible hand” yang bermain justru menjelang hari (H), kondisi ini sebuah bukti pembelajaran politik yang tidak baik selama proses demokrasi langsung di Indonesia, apa lagi beberapa indikasi pelanggaran pilkada dan money politik yang selama ini menjadi sebuah permainan yang terkesan dilegalkan oleh sebuah ketentuan Peraturan dan Perundangan melalui pembatasan waktu pembuktian. Money politik yang sangat sulit dibuktikan namun faktanya ini menjadi sebuah kekuatan dan menjadi sebuah permainan dan menjadi dipermainkan oleh masyarakat atau sang calon.
Beberapa catatan bahwa kecenderungan yang terjadi selama ini, Pimpinan Partai Politik/Panitia yang ada di daerah hanya jalur proses penjaringan jika pun difungsikan hanya sebatas rekomendasi, sehingga yang memahami siapa yang layak dan mampu secara benar dan tepat itu sesungguhnya difahami oleh Pimpinan daerah/tim partai yang ada di daerah baik Kabupaten/Kota maupun provinsi, namun keputusan lebih cenderung ada di DPP, yang sesungguya pendapat daerah menjadi acuan utama dalam menentukan Calon tersebut.
Sehingga berlomba-lombalah para Baca-Kada untuk melakukan loby dan pendekatan ke DPP yang tentunya melakukan pendekatan dengan berbagai strategi dan yakinlah kekuatan financial menjadi daya duku utama, bahkan cenderung mengabaikan persyaratan tehnis dan administrative lainnya, mudah-mudahan Pemilu-Kada saat ini, proses penjaringan yang dimulai dari Formulir dan pendaftaran sampai pada keputusan final secara komprehensif antara Panitia Kabupaten/Kota, Propinsi dan DPP bisa merekomendasikan calon Pimpinan Politik menjadi Kepala Daerah yang layak secara manejerial dan layak secara kemampuan tehnis dan adminstratif.
Peran Parpol sebagai jembatan untuk merekrut Pemimpin Kepala Daerah melalui Proses yang dimulai dengan penjaringan bakal calon kepala daerah (raja kecil daerah) dengan mekanisme yang terbuka, jujur, dan adil sangat menentukan kebersatuan Negara Republik Indonesia, yang saat ini cenderung berbentuk antara Kesatuan atau Serikat, karena kita harus menyadarai bahwa pameo ini harusnya menjadi acuan adalah “hasil akhir tidak akan menghianati proses”.
Disamping Pola Penjaringan yang ada saat ini, hampir semua partai di daerah baik Kabupaten/Kota dan Propinsi belum memenuhi syarat jumlah kursi (Gubernur/Bupati/ Wali kota Treshold-KDT) untuk bisa mengusung Calon Kepala daerah secara mandiri, sehingga partai politik membutuhkan koalisi setelah proses penjaringan dilakukan oleh Partai untuk bakal Calon kepala daerah terpaksa kawin siri/kawin paksa untuk mendapat Partai atau gabungan Partai untuk maju Bersama wakil Kepala Daerah.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena untuk maju sebagai calon Kepala Daerah itu harus satu visi dan misi bersama wakil Kepala Daerah, namun dengan pola ini cenderung belum ada kesepahaman antara Calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah, karena mereka dikawinkan secara terpaksa dan mendadak, yang akhirnya mereka sering tidak sejalan dalam pelaksanaan kepemimpinan daerah, bahkan cenderung pecah di tengah perjalanan Kepemimpinan tersebut, serta wakil Kepala Daerah cenderung tidak memiliki fungsi yang jelas, dan ini harusnya menjadi catatan, karena Nomen Klatur Kepala daerah itu adalah Kepala Daerah dan Wakil, sehingga perlu penegasan paran dan tugas dari Wakil kepala daerah tersebut.
Jika dilihat kondisi Proses Pemilu-Kada saat ini, proses penjaringan yang belum sejalan dengan pola satu Kepemimpinan Daerah ( dua menjadi satu) yang sehati, sejiwa dan memiliki kesepahaman yang sama tercermin dalam Visi dan misi Calon tersebut harusnya menjadi Visi dan misi bersama antara Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah.
Alangkah baiknya, dalam proses penjaringan yang dilakukan, jika partai yang belum memiliki Kepala Daerah Treshold (KDT) bisa melakukan koalisi lebih awal dengan partai yang memiliki plate form yang sama agar Kepala Daerah Treshold (KDT) terpenuhi atau lebih dan membuka penjaringan bersama secara koalisi.
Begitu juga dengan Baca-Kada juga harus mendaftar Bersama dengan Baca-wakada, tentunya pasangan tersebut sudah kompak dan sudah menysun VM Bersama dan melakukan kalkulasi bersama. Ini semua agar terhindar dari dukungan semu dan perpecahan di saat memimpin daerah dan agar terjadi power sharing antara Kepala
Seyogyannya Partai Politik berusaha membenah diri, terutama pola penjaringan bakal calon kepala daerah, mari sepakat kita hindari, publik dipaksa “membeli kucing dalam karung” dengan mengusung bakal calon kepala daerah yang tidak jelas alasan dan indikator pengusungannya. Partai harus membangun dan melaksanakan mekanisme penjaringan bakal calon yang terbuka dan demokratis.
Agar penjaringan bisa memenuhi keinginan pemilih, seyogyannya penjaringan diserahkan sepenuhnya kepada partai politik pada wilayah Pemilihan sebagai acuan utama, berikut juga dengan mekanismenya. Tetapi, yang mesti ada dalam proses penjaringan bakal calon tersebut adalah adanya kesempatan yang sama bagi setiap kader partai atau non kader partai untuk maju menjadi bakal calon kepala daerah dan proses penjaringan dilakukan secara terbuka bagi setiap bakal calon yang mendaftar kepada partai tersebut.
Proses penjaringan secara transparan tentunya akan memberikan kesempatan kepada publik untuk berinteraksi atau bertanya jawab dengan bakal calon tentang konsep dan misi yang dibawa oleh bakal calon untuk memimpin daerah tersebut. Menghadirkan panelis, seperti akademisi dan tokoh masyarakat dalam proses seleksi tentu akan membuat kedalaman proses seleksi dan penjaringan lebih bernilai.
Elektabilitas, akan ditentukan oleh public melalui uji pablik kedalaman visi dan misi, Rekam jejak, kedewasaan dalam organisasi atau indikator penilaian lain yang bisa dijelaskan oleh partai politik kepada konstituennya.
Sehingga proses dan indicator uji public akan menciptakan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menjadi Pemimpin daerah yang harmonis dan serasi sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pilkada tahun 2020 yang merupakan Pemilu-kada serentak, akan mempersempit peluang “wani piro” dan/atau money politik baik oleh Balon atau partai, serta pemilih dengan menerapkan sanksi sistem “Diskualifikasi” terhadap balon/calon serta partai yang melakukan money politik atau politik uang, apakah system efektif atau tidak, memberikan efek jera atau tidak mari kita lihat dan kita saksikan ?????.
Namun klaim mengklaim, bahwa masing-masing Balon telah didukung dan telah dideklarasikan sebagai balon yang didukung oleh kelompok atau etnis tertentu terus berjalan, perang opini di media sosial semakin panas dan memanas, bahkan hampir mengarah pada tingkat emosional tanpa arah dan tidak rasional, dan kondisi ini yang tercipta menjadi sebuah “dukungan semu” baik itu dukungan aspiratif secara tertulis maupun tidak tertulis, baik dari lembaga resmi (non governement) maupun tidak resmi menjadi bagian permainan dan pemain dalam Pilkada langsung, sehingga dukungan semu sebelum proses berjalan belum menjamin sebuah kemenangan, dan belum mencerminkan sebuah kekuatan menuju hari (H), bahkan dukungan basis secara tradisional juga belum bisa dijadikan jaminan yang kongkrit.
Kenapa dikatakan dukungan”semu”, karena politik pilkada sesungguhnya dalam implementasi tidaklah menjadi bagian dari keinginan para elit patai, elit masyarakat, tokoh dan penokohan, melainkan adalah implementasi dari masyarakat pemilih yang terdaftar di DPT secara nyata di bilik suara, sehingga dukungan yang telah diperoleh oleh para balon, terkesan sebuah dukungan “semu”, yang memerlukan proses untuk menjadi dukungan nyata di level pemilih.
Proses Pilkada langsung selama era reformasi telah menciptakan pembelajararn politik buruk di tingkat elite dan akar rumput, yang berindikasi kepada ketidak pedulian pada kelayakan seorang pimpinan daerah apakah Gubernur atau Bupati/walikota, namun lebih mengutamakan kepentingan sesaat yaitu berapa nilai rupiah atas suara yang diberikan, itupun terjadi kompetisi diantara pemilih.
Fakta tersebut sebuah cerminan kegagalan demokrasi dan kegagalan pembangunan ekonomi, karena diperkirakan cukup banyak pemilih berpikir suara mereka dinilai dengan setitik rupiah untuk setitik harapan dalam satu hari.
Jadi apa yang menjadi tujuan demokrasi sebagai system untuk mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang diimplementasikan dalam penyelengaraan Negara dari eksekutif, legeslatif dan yudikatif bekerja dan berbuat untuk Negara dalam hal ini “Pemilik Negara” yaitu Rakyat, karena kedaulan rakyat, dengan indicator keberhasilan adalah pada tatanan ekonomi yang mapan di tingkat masyarakat sebagaimana yang diimpikan oleh Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea terakhir “…….serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak tercapai.
Karena hasil dari sebuah demokrasi yang benar adalah terciptanya dan terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyart Indonesia, tidak tercapai karena demokrasi yang belum benar, melahirkan sebuah proses Pilkada dengan dukungan semu, yang membawa implikasi pada besarnya cost politik di partai Politik dan money politik, melahirkan sebuah kepemimpinan yang berkerja berdasarkan Investasi Politik dalam bentuk financial (money dan cost politik) maupun non financial yang kemungkinan akan dikonversikan dalam financial, lalu bagaimana Pembangunan bangsa ini sebagaimana diperintahkan oleh UUD 1945.
Jika amati, antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat, terkesan seperti telur dengan ayam, demokrasi bertujuan mewjudkan kesejahteraan rakyat, kesejahteraan rakyat sangat sulit terwujud dengan pola dan sistim demokrasi yang menciptakan demokrasi sebagaimana yang terjadi saat ini dimana seluruh kekuatan financial Negara dan bakal calon dan calon dikeluarkan sebagai investasi politik untuk mendukung proses Pilkada langsung masa lalu, namun tidak menghasilkan apa yang diamanatkan dalam demokrasi sebagai alat untuk mewjudkan kesejahteraan social.
Dengan implementasi UU No 10 tahun 2016, tentang perubahan Perubahan ke dua atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang yang saat ini sedang mengalami proses revisi untuk Pilkada tahun 2020 dengan tujuan adalah dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang demokratis, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota;
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud diatas, perlu merevisi UU No 10 tahun 2016; dan sebagai tindak lanjut keputusan MK antara lain Pencalonan ASN, Anggota Dewan yang maju sebagai calon Kepala Daerah harus mundur, serta ketentuan mantan Narapidana jika maju sebagai calon Kepala daerah, serta ketentuan hokum terkait perbuatan pidana Pilkada antara lain Money Politik dll yang menginginkan proses seleksi balon menjadi calon yang memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas maka selain memenuhi persyaratan formal administratif lainnya serta pemilihan kepala daerah lebih demokratis dengan bobot demokratis yang lebih baik dan lebih menyempurnakan pelaksanaan Pilkada sebelumnya, terutama terseleksinya dari balon menjadi calon yang baik yang memiliki visi yang bisa mengatasi kondisi lokal, nasional dan regional bahkan Internasional berkaitan dengan global dan pasar bebas serta lingkungan.
Penyempurnaan UU tersebut menyangkut pada pola rekruitmen personal Balon dan Calon yang dilakukan oleh Partai politik dengan tetap mengedapankan nilai elektabiltas murni sebagai acuan, bukan elektabilitas berdasarkan nilai yang tertinggi dari aspek financial dan menghentikan adanya upaya-upaya membuat dynasty di suatu daerah.
Begitu juga dengan kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas menjadi sesuatu yang sangat penting yang bertujuan untuk mendapatkan Calon yang memiliki minimal 2 (dua) aspek utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, aspek kompetensi meliputi seluruh pengetahuan, wawasan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; Kedua, aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan karakter yang lekat pada bakal calon kepala daerah yang bisa dilihat dari rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik. Dua aspek inilah yang sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership (kepemimpinan) yang sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang lebih menonjolkan aspek popularitas dan modal (materi), menjadi tanggung jawab partai pengusung.
Dan kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas tetap harus dilakukan dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada walaupun menjadi kewenangan Partai pengusung, namun hendaknya parta tidak mengabaikan suara masyarakat pendukung dalam menentukan calon terseleksi dalam proses di tingkat partai, karena masyarakat dilibatkan dan turut serta dengan harapan bisa mengetahui apa visi, misi dan kualitas seorang calon kepala daerah yang akan dipilihnya atau diusung.
Dengan penyempurnaan melalui revisi ini beberapa point yang diharapkan dapat terwujud yaitu sebagai berikut
Point (1) sangat diharapkan adalah terseleksinya Pimpinann daerah tidak berbasiskan kekuatan financial, populeritas, penampilan visual saja, namun berbasisiskan aspek utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang kewenangannya berada pada Partai yang melakukan penjaringan, tentunya sebagai mesin pencetak pemimpin peran partai sangat dominan untuk melahirkan pemimpin yang dibutuhkan, yang akan tercermin dari (1) aspek kompetensi meliputi seluruh pengetahuan, wawasan, dan keterampilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; (2) aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan karakter yang lekat pada bakal calon kepala daerah yang bisa dilihat dari rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik. Dua aspek inilah yang sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership (kepemimpinan) yang sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang lebih menonjolkan aspek popularitas dan modal (materi), menjadi tanggung jawab partai pengusung.
Point (2) Meminimalkan/mencegah/menghentikan Politik uang atau money politik, sesungguhnya ruang dan gerak untuk Money Politik mungkin agak sempit, apalagi akan diperkuat dengan ketentuan tehnis melalui Peraturan Pemerintah dan Peraturan KPU, namun kelemahan dan peluang tersebut pasti akan dicari peluang oleh para pihak yang berkepentingan untuk memainkan Politik Uang.
Point (3) Terhindarnya dukungan bersifat semu yang mengatas namakan masyarakat/rakyat/etnis dan kelompok sosial/adat/genetik dll oleh para elit adat, politik, masyarakat, para adventure yang cenderung menjual atas nama masyarakat untuk mendapatkan segepok uang dari para Balon/calon untuk mendapat dukungan yang sesungguhnya itu adalah dukungan semu, menuju pilkada yang lebih rasionalitas dan profesionalitas.
Point (4) Terciptanya Pilkada dengan meminimalkan perseteruan dan komplik internal sesama /antar wilayah communitas yang berbasiskan pemilih, baik etnis, kelompok communitas, adat, genetik dll bahkan mencegah terjadi komplik horizontal.
Point (5) Terciptanya Pilkada yang bermartabat dan melahirkan Pemimpin yang bermartabat, melalui proses mulai dari tahapan sosialisasi, penjaringan, persiapan, pelaksanaan yang transparant, elegan, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang demokratis dengan bobot demokratis yang lebih baik dan lebih menyempurnakan pelaksanaan Pilkada sebelumnya, terutama terseleksinya dari balon menjadi calon yang baik yang memiliki visi yang bisa mengatasi kondisi lokal, nasional dan regional bahkan Internasional berkaitan dengan global dan pasar bebas.
Point (6) terciptanya pola penjaringan yang sejalan dengan plate form Partai, sebagaimana diketahui bahwa secara umum partai di daerah belum memenuhi koata Kepala Darah Treshold (KDT) untuk maju dengan sendiri pada Pemilu-Kada, sehinga proses penjaringan sebaiknya koalisi berdasarkan plat form untuk melakukan penjaringan, sehingga Baca-Kada juga mendaftar bukan hanya Baca-Kada, melainkan pasangan Baca-Kada yang telah tersusun dan terencana bersama melalui Visi dan misi, untuk menghindari kawin siri dan kawin paksa dan untuk menghindari perpecahan di tengah perjalanan kepemimpinan di suatu daerah.
Point (7) Hendaknya Pemimpin yang muncul berdasarkan rekam jejak yang baik, sehingga diharapkan Parpol untuk tidak menjaring Baca-Kada dengan rekam jejak yang pernah melakukan tindakan Pidana sebelumnya, baik pidana umum, apalgai pidana korupsi, karena Baca-Kada yang diusung mencerminkan Partai Pengusung.
Diharapkan pada Pemilu-Kada tahun 2020 sampai pada Pemilu-Kada 2024, akan lebih baik dan terhindar dari komplik dan kondisi yang jelek selama ini, tidak terulang lagi termasuk kemungkinan komersialisasi jabatan di SKPD dan Sekretaris Wilayah Daerah sebelum dan pasca Pilkada di masing-masing wilayah dan mudah mudahan dengan revisi undang-undang ini Pemilu-Kada akan lebih baik (wait and see).