opini

Adakah Pajak Masa Rasulullah SAW?

Oleh Ustaz Dr Oni Sahroni; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustaz, saat ini sedang ramai permasalahan seputar pajak di media sosial. Apakah benar bahwa tidak ada pajak di masa Rasulullah SAW dan para sahabat? Mohon penjelasan Ustaz. — Salman, Jakarta

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Mayoritas ahli fikih kontemporer membolehkan negara memberlakukan kewajiban pajak bagi warga negara dengan ketentuan ada kebutuhan yang riil dan nyata, tidak ada sumber dana atau surplus dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan besaran nominal pajak yang adil, wajar dan tidak membebani, serta disalurkan untuk kebutuhan masyarakat atau warga negara.

Kriteria ini sebagaimana ditegaskan oleh lembaga dan ahli fikih kontemporer. Di antaranya Lembaga Fatwa Negara Mesir, Syeikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq saat menjadi Mufti Mesir (dalam fatwanya No 18/1980), Syeikh Abdul Lathif Hamzah Mufti Mesir, dan para Mufti Mesir pada umumnya, Syeikh ‘Athiyah Saqr dan Syeikh al-Qardhawi, al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia No 9/285, dan putusan Muktamar ke-2 Lembaga Riset Islam al-Azhar pada Mei 1965.

Syekh Prof Dr Ali Qurrah Daghi menjelaskan bahwa sejak masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin ada beberapa kewajiban yang harus ditunaikan oleh masyarakat (yang disepakati tanpa ada perbedaan pedapat) kepada otoritas saat itu.

Pertama, jizyah. Sederhananya, jizyah itu seperti pajak tetapi hanya diberlakukan bagi non-Muslim. Detailnya, jizyah adalah kewajiban pajak yang harus ditunaikan setiap tahun oleh setiap warga negara non-Muslim (laki-laki dan baligh) sebagai kompensasi atas hak-hak kewarganegaraannya dengan besaran atau nominal wajar, lazim, dan adil sesuai dengan kebijakan otoritas yang peruntukannya sama dengan peruntukan al-fai’ (ghanimah yang diperoleh tanpa peperangan).

Kebolehan jizyah tersebut sebagaimana pandangan Imam Ahmad (dalam salah satu riwayatnya), Abu Ubaid, dan ats-Tsauri yang merujuk pada Alquran, sunnah, dan ijma’.

Kedua, kharaj. Sederhananya, kharaj seperti pajak atas bumi dan bangunan. Bedanya, kharaj hanya diberlakukan setiap tahun sekali terhadap non-Muslim dan disalurkan seperti peruntukkan al-fai’. Kharaj itu diberlakukan berdasarkan ijtihad.

Kharaj ini hasil komunikasi yang disampaikan oleh sahabat Umar RA kepada para sahabat dan mereka menyetujuinya. Dalam diskusi antara sahabat Umar dengan para sahabat tersebut terjadi saat pembukaan daerah Sawad (salah satu daerah di Irak).

Sahabat Umar berpandangan bahwa tanah-tanah yang baru didapatkan tersebut tidak dibagikan, tetapi tetap di tangan pemiliknya. Namun, sebagian sahabat tidak sependapat dengan ide atau gagasan tersebut, di antaranya sahabat Bilal.

Kemudian sahabat Umar menjelaskan dengan merujuk pada firman Allah SWT dalam surah al-Hasyr, “Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan…” (QS al-Hasyr: 7).

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang itu menjadi niscaya. Di antaranya dengan menyerahkan lahan tersebut kepada pemiliknya agar menjadi aset produktif dan memberikan manfaat berkepanjangan kepada mereka lintas generasi.

Sahabat Umar –setelah membacakan surah al-Hasyr tersebut– “Sesungguhnya orang-orang yang datang setelah mereka dalam fai’ ini jika aku bagi kepada kalian semua, maka generasi setelah kalian tidak mendapatkan apa-apa. Andaikan ada lahan yang tersisa, maka para ra’i di daerah Shan’a akan mendapatkan haknya dari al-fai’ tersebut agar apa yang didapatkan dari kewajiban tersebut digunakan untuk membela umat Islam, jihad, dan fasilitas umum serta agar ada takaful ijtima’i antarsesama masyarakat.

Di mana ia berkata, ‘Aku telah bagi tanah Irak dengan penduduk laki-lakinya yang kuat dan tanah Syam dengan penduduk laki-lakinya yang kuat, maka apa yang bisa menutupi lobang-lobang tersebut? Dan inilah yang diperuntukkan bagi para anak cucu generasi mendatang dan janda dengan negeri ini dan selainnya’.”

Ketiga, ‘usyur. ‘Usyur itu –seperti– pajak yang dibebankan kepada para pedagang non-Muslim yang masuk ke negara Islam. Adalah Umar RA menjadi orang pertama yang memberlakukan ‘usyur atas setiap komoditas yang dimiliki oleh pedangang non-Muslim.

Abu Yusuf melansir, Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada Umar bin Khatthab: “Sesungguhnya para pedagang Muslim datang ke negara-negara non-Muslim dan mereka dibebankan ‘usyur atas setiap komoditas yang diperdagangkan?” Ia berkata: “Umar RA menulis jawaban kepadanya: ‘Silakan engkau ambil dari mereka sebagaimana mereka mengambil pajak terhadap pedagang Muslim, dan ambillah lima persen dari non-Muslim. Dan ambillah dari umat Muslim satu dirhan setiap sepuluh dirham.”

Abu Yusuf menjelaskan bahwa ini pada awalnya terjadi di mana komunitas munbahaj (komunitas non-Muslim di pinggir lautan) yang menulis surat kepada Umar bin Khatthab.

Mereka mengatakan, “Biarkan kami masuk ke daerah kalian sebagai pedagang yang harus membayar ‘usyur yang engkau berlakukan kepada kami.”

Maka kemudian Umar meminta pendapat sahabat Rasulullah SAW, kemudian mereka mengusulkan pandangan ‘usyur tersebut.

Dari sejarah ini bisa disimpulkan bahwa sahabat Umar RA adalah orang pertama memberlakukan ‘usyur terhadapa non-Muslim.

Ijtihad sahabat Umar RA yang disetujui oleh para sahabat ini menjadi referensi bagi tata hubungan dagang internasional yang didasarkan pada prinsip kesamaan dan keadilan sehingga memberikan manfaat bagi semua untuk menopang ekonomi syariah.

Keempat, khumus. Khumus, sejenis pajak yang diberlakukan terhadap produk hasil bumi. Di mana Rasulullah SAW memberlakukan pajak atau khumus bagi rikaz atau produk hasil bumi sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Wa fii ar-rikaz al-khumus” (pada harta rikaz/harta temuan (dikeluarkan) seperlimanya).

Objek pajak atau khumus ini menurut pendapat yang rajih termasuk hasil bumi dengan seluruh jenisnya, baik yang mencair ataupun bukan, termasuk simpanan yang ada di bumi.

Abu Yusuf menjelaskan bahwa setiap hasil bumi itu dikenakan pajak atau khumus. Adapun rikaz (barang temuan) yaitu emas dan perak itu juga dikenakan khumus.

Begitu pula saat seseorang menemukan barang temuan yang dimiliki oleh seseorang dan di dalamnya ada emas, perak, berlian, baja, maka juga dikenakan khumus.

Model zakat harusnya menjadi rujukan pemberlakuan pajak.

Jika merujuk pada pemberlakuan instrumen di atas, maka tujuan utamanya adalah seperti hanya target zakat. Model zakat harusnya menjadi rujukan pemberlakuan pajak, di mana dalam zakat, para hartawan berbagi sebagian asetnya yang menjadi wajib zakatnya agar dinikmati oleh para dhuafa sehingga tidak ada kesenjangan sosial seluruh elemen masyarakat, baik dhuafa ataupun hartawan sehingga merasakan satu tubuh karena saling membantu dan menjamin.

Jika saat ini pajak dengan beragam jenisnya diberlakukan, maka target model zakat tersebut yang harus diberlakukan agar memudahkan, membantu, dan menyejahterakan masyarakat.

Wallahu a’lam. (Irw)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button