Nasionalopini

Amandemen UUD 1945 Akan Mensejahterakan Masyarakat ?

AMANDEMEN UUD 1945
AKAN MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT ? (1)
(bersambung)
Oleh Syamsul Bahri

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tertuang secara jelas dalam pembukaan UUD 1945 pada alenia empat. Adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tujuan dari aspek (1) perlindungan; (2), kesejahteraan; (3) pencerdasan, (4) pedamaian abadi dan (5) Keadilan Sosial
Parameter keberhasilan negara dari 5 aspek diatas itu apabila tujuan berbangsa dan bernegara dalam pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara ukuran subyek hukum sebagai warga negara sudah terpenuhi unsur-unsur tersebut diatas, antara lain. Hak warga negara Indonesia sendiri telah tercantum dalam UUD 1945. Hak-hak tersebut antara lain adalah hak asasi manusia, hak mendapatkan pekerjaan, hak perlindungan hukum yang sama, hak memperoleh pendidikan, hak mendapatkan Kesejahteraan, dan lain sebagainya.
Mencermati kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini munculnya wacana perubahan sebagaian dari UUD 1945 dan/atau keseleruhan yang diklaim oleh Anggota Dewan sebagai keinginan masyarakat, terutama perubahan periodesasi jabatan Presiden, yang banyak dipertanyakan masyarakat yang mengajukan terkait masa periodenisasi Jabatan Presiden, disamping perubahan yang lainnya.

Sesungguhnya, sebelum wacana perubahan Amandemen ini diajukan baik sebagian maupun keseluruhan, harus dilakukan evaluasi secara komprehensif terkait dengan pelaksanaan dan implementasi dari UUD 1945 yang diamandemen sebanyak 4 kali sewaktu Reformasi, sehingga jelas mana yang harus diamandemen dan mana yang tidak perlu di amandemen, dan hasil evaluasi tersebut dibahas di kampus kampus serta diuji coba secara public, agar amendemen tersebut sesuai dengan kebutuhan sekarang dan masa yang akan datang, yang tidak memberi kesan “sekonyong-konyong” untuk kepentinga sesaat, tentunya kepentingan kekuasaan yang memiliki kecenderungan Otoritarianisme.

Jika kita cermati bahwa tujuan dari pelaksanaan demokrasi adalah bagaimana menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur dengan etika yang mengedepankan keadilan, kejujuran dan keterbukaan, melalui tatanan dalam kehidupan bernegara, kebebasan berpendapat dan kedaulatan rakyat, disini jelas demokrasi bukan tujuan, melainkan demokrasi sebagai alat atau sarana untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana yang termuat dalam alinea ke 4 pembukaan UUD 1945.

Bahwa sesungguhnya tujuan negera demokrasi adalah antara lain memberi kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi; mencegah perselisihan antar kelompok; menciptakan keamanan dan ketertiban bersama; mendorong masyarakat aktif dalam pemerintahan; yang tidak kalah penting tujuan demokrasi adalah membatasi kekuasaan pemerintahan, bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi ada di tangan rakyat. Artinya rakyat berhak memberi aspirasi dan kritik pada pemerintahan. Sistem negara demokrasi juga bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan agar tidak menjadi diktator atau kekuasaan absolut.

Maka tulisan kami ini berusaha untuk menyikapi kondisi saat ini, dengan menyampaikan beberapa hal terkait dengan rencana amandemen UUD 1945 yang 5, antara lain

Bentuk dan kedaulatan Negara

Jika kita cermati dalam pasal 1UUD 1945, bentuk Negara adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan kedaulatan berada di tangan rakyat, dan negara berdasarkan Hukum.

Artinya negara berbentuk Negara Kesatuan adalah negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal, di mana pemerintah pusat adalah yang tertinggi dan satuan-satuan subnasionalnya hanya menjalankan kekuasaan-kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat untuk didelegasikan.

Sementara sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengedepankan Otonomi daerah, dimana Otonomi daerah di defenisikan adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.

Konsekwensi dari Otonomi daerah tersebut, maka Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Wali kota menjadi konsekwensi dari otonomi daerah tersebut, yang mengarah dan menjadi bentuk negara adalah federasi atau serikat.

Hal ini senada dengan pernyataan dari Mahfud MD pada Indonesia Lawyers Club 3 April 2018 yang menyatakan bahwa Gus Dur ketika ditanya yang benar itu negara kesatuan atau negara federal, Gus Dur menjawab beri nama itu negara kesatuan tapi isinya federal.

Begitu juga menurut (Kansil & Kansil, 2008) negara kesatuan adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat di seluruh negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah, sedangkan negara federasi atau serikat, bentuk negara adalah suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara, yang menjadi negara-negara bagian dari negara serikat itu. Begitu juga yang dimaksud dengan pemerintahan daerah itu atau disebut local government dalam bahasa Inggris. Local government adalah “authority to determine and execute measures within a restricted area inside and smaller than a whole state” (Encyclopedia Britannica). Jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia pemerintahan daerah merupakan wewenang untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah dalam area terbatas di dalam dan lebih kecil dari seluruh negara.

Kejelasan antara NKRI dan implementasi NKRI yang cenderung melaksanakan bentuk negeri federasi atau serikat ini perlu ada pembahasan yang jelas dan konkrit, agar dalam pelaksanaan pemerintahan jelas dan konkrit antara Presidential dengan Parlementer dan/ atau Negara Kesatuan atau Negara Serikat atau faderal.

Parlementer atau Presidential

Pemilihan Presiden sebagai konsekwensi sebuah negara Demokrasi dan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang dipimpin sebagai kepala Negara dan Kepala Pemerintahan adalah pasangan Presiden terpilih melalui pemilihan langsung rezim lima tahunan.

Namun faktanya pada pemilihan presiden terutama selama Reformasi, kecenderngan dalam peleksanaan dan hasilnya mencerminkan sebagai sebuah negara berdasarkan system Parlementer bukan Presidential, hal ini munculnya koalisi dan opopsisi saat Pra Pilpres, Pilpres dan pasca Pilpres, Pengelompokan anggota Parlemen serta penetapan Menteri dalam Kabinet, dimana peran kelompok koalisi di Parlemen dan Kabinet sangat dominan.

Bahkan kondisi koalisi ini juga telah merumuskan startegi pemenangan presiden antara lain proses penyusunan Rencana Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Pasal 222 tersebut merupakan sebuah tragedy demokrasi yang mengakomodir koalisi dalam Parlemen yaitu Koalisi Pemerintah DPR, hal ini sudah banyak dibahas oleh para pakar dan Ilmuwan, yang sepakat bahwa parlement threshold 20% itu menginkari demokrasi pancasila, hal ini lebih diperkuat bahwa system koalisi tersebut lebih mengedapankan demokrasi pembenaran dan mengabaikan demokrasi kebenaran, karena Parlement threshold tersebut sudah digunakan untuk Pilpres tahun 2014.

Kemudian itu berlanjut melalui koalisi pemerintah bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pada pasal 6, yang mengatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya, namun ketentuan tersebut dimentahkan melalui skenerio demokrasi Pembenaran melalui koalisi Pemerintahdi DPR ketentuan itu sudah tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana, tertuang dalam dalam pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengamanatkan bahwa UU Nomor 42 Tahun 2008 pasal 6 tersebut itu sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017, yang dipertegas pada pasal 300 dan 301 Tentang Pemilu, bahwa presiden dan wakil presiden tidak perlu melepas masa jabatan namun tetap menjalankan tugas negara.

Begitu juga sebaliknya terhadap kekuasan pemerintahan maupun sebagai kepala Negara, dengan system presidential, bahwa presiden diberi tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan visi negara sebagaimana telah tertuang dalam preambule UUD 1945, mewujudakan kesejahteraan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia, yang harus didukung oleh system Zaken Kabinet, sehingga kewenangan Presiden yang memiliki hak prerogatif untuk menetapkan Kabinet dan menteri serta perangkat lain baik sesuai hak prerogatif berdasarkan keahlian atau profesionalisme.

Jika kita cermati sesungguhnya bahwa DPR dengan (1) fungsi legeslasi yaitu memegang kekuasaan dalam membentuk undang-undang, (2) fungsi anggaran yaitu membahas dan memberikan sebuah persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap sebuah rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh presiden dan (3) fungsi pengawasan yaitu melaksanakan sebuah pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN

Mencermati fungsi/tugas dan wewenang serta hak anggota DPR sebagai lembaga tinggi negara terutama dengan 3 fungsi tersebut diatas, semua anggota DPR yang terpilih melalui proses pemilu legeslatif tidak mungkin “berkoalisi” dengan Pemerintah dalam menjalankan fungsinya, melainkan semua anggota DPR menjalankan amanah yang diberikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk memantau, mengevaluasi, mengkritik, mengawasi pelaksaan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Presiden baik sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan maupun sebagai Kepala Negara, bahkan melakukan proses pemakzulan jika terpenuhi persyaratan sesuai UU, pertanyaan kenapa ada Koalisi Pemerintah di DPR ?????

Terlihat bahwa dengan kewenangan hak prerogatif dan kewenangan DPR, itu tidak memungkinkan terjadi koalisi Presiden dengan partai politik baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara yang memberi kesan bahwa koalisi partai politik membagi-bagi rezki atau kursi kekuasaan.

Dari uraian diatas, bahwa system demokrasi tidak boleh/tidak mengenal koalisi baik pemerintahan maupun oposisi, karena wilayah Politik ada di kelembagaan DPR yang sesungguhnya diberi kekuasaan oleh Rakyat untuk memantau, mengevaluasi, mencermati, mengawasi pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah dalam mewjudkan visi negera.

Pemilihan Kepala Daerah

Bahwa bentuk negara Indonesia yang sudah menjadi harga mati, adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berarti negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal, di mana pemerintah pusat adalah yang tertinggi dan satuan-satuan subnasionalnya hanya menjalankan kekuasaan-kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat untuk didelegasikan.

Faktanya saat ini munculnya raja raja di daerah, baik gubernur maupun bupati/Wali kota melalui mekanisme Pilkada 5 tahun, yang tentu secara kepartian tidak akan sejalur dengan Presiden, karena masing-masing pejabat memiliki label sebagai petugas partai, dengan pola dan system hampir sama dengan Pemilihan Presiden melalui koalisi yang terbentuk dan dibentuk.

Bahkan di daerah, terkait dengan penentuan pejabat setingkat eselon 1,2, dan 3 bahkan 4 atau kabinet setingkat Propinsi, Kabupaten/kota, juga akan mencerminkan gaya koalisi daerah yang lebih cenderung menggunakan pendekatan emosional dan transaksi jual beli jabatan. Termasuk terlkait dengan pelaksanaan proyek pembangunan di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/kota

Kondisi ini menciptakan kecenderungan beberapa Bupati tidak terlalu mengindahkan nilai Kepemimpinan seorang Gubernur, bahkan cenderung berseberangan, tidak menutup kemungkinan kondisi itu tercipta antara gubernur dan Presiden, karena masing-masing pejabat berasal dari Partai yang berbeda dan mungkin memiliki visi dan misi untuk merebut kekuasaan pada periode selanjutnya, tentunya sinkronisasi program tidak akan berjalan secara utuh mulai dari pusat sampai ke daerah selama periode tersebut.

Secara fakta akibat ketidak jelas tersebut diatas, pelaksanaan pemerintahan antara pusat dan daerah ada kecenderungan belum sinkron dengan baik, karena antara Negara Kesatuan namun dalam prateknya kecenderungan menganut system Federal, begitu juga dengan System Pemerintahan yang Presidential yang cenderung implementasinya parlementer, dimana dominasi partai koalisi sebagai pemenang Pilpres sangat dominan baik dalam Parlemen maupun dalam Kabinet.

Kondisi ini menurut penulis cenderung menjadi factor memperlambat pertumbuhan ekonomi (sampai saat ini berkisar 5,0%), karena pengelolaan pemerintahan yang cenderung tidak berbasis kepada zaken cabinet, sehingga perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan membawa dampak-dampak negative lainnya, termasuk aspek Pendidikan, kesehatan, politik, hukum, Sara, bahkan radikalisme dll.

Periodenisasi Jabatan Presiden

Pasal 7 UUD 1945, berbunyi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*)

Dari pasal 7 tersebut jelas bahwa masa Jabatan Presiden dan wakil untuk 1 periode selama 5 tahun dan boleh dipilih kembali melalui mekanisme Pilpres 5 tahunan. Maka untuk masa jabatan dan periode Pilpres ini, penulis mengajak untuk mecermati Proses Pilpres dan masa jabatan Pilpres selama 5 tahun dengan 2 periode tersebut.

Untuk maju sebagai Capres itu dibutuhkan waktu cukup dengan dukungan politik yang baik, termasuk dukungan financial, jika Presiden terpilih untuk periode I, dengan berbagai strategi pemenangan yang dilakukan bersama dengan Partai Koalisi pengusung dan pendukun, sehingga pola Presidential melalui implemetasi Parlementer dan Koalisi akan terus berjalan baik di Parlemen maupun di Kabinet, untuk tahun – tahun periode I sebagai berikut.

Tahun 1 pemerintahan, masih menata Parlemen yang berbasis koalisi dan Oposisi, serta berusaha menarik oposisi menjadi Koalisi dan Kabinet melalui proses pembelajaran dan perubahan nomen klatur dan administrative, sedangkan Parlemen cenderung sibuk dalam rangka proses pemilihan Pimpinan Partai baik dipusat maupun di daerah pasca Pilpres dan Pileg, yang mebawa pengaruh fungsi masing-masing baik sebagai anggota Parlemen, fungsi pengawasan maupun anggota Kabinet sebagai fungsi pelaksana pembangunan, disini kecenderungan pelaksanaan pemerintahan belum efektif.

Tahun ke 2 dan tahun ke 3, cenderung baik Parlemen maupun Kabinet akan mulai bekerja secara efektif untuk melaksanakan visi dan misi Presiden, karena proses pembelajaran dan evaluasi pelaksanaan pemerintahan sudah berjalan, dan kecenderungan perubahan pejabat kementerian akan terjadi. Serta pelaksanaan Pemerintahan baik implementasi dan pengawasan akan cenderung berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Tahun ke 4 dan ke 5, Pejabat di Kementerian yang cenderung berasal dari Partai Koalisi dan rekomendasi dari Partai Koalisi, sehingga pada tahun ke 4 dan 5 masing masing sudah berpikir untuk ikut memberikan kontribusi ke Partai dalam rangla Pemilhan Legeslatif dan mendukung pejabat Presiden Petahana untuk maju pada Periode selanjutnya, dengan mengkapitaslisasi fungsi, tugas dan Hak serta jabatan yang ada baik untuk mendukung Petahana maupun mendukung keberhaslan Partai Politik pada pelaksanaan Pemilu Legeslatif yang akan datang.

Kondisi ini lebih marak dan friontal pada masa tahun kelima untuk mendukung petahana dan Partai dalam merebut kekuasaan dan keberhasilan Partai Politik pada Pilpres maupun pada Pemilu Legeslatif

Sehingga dengan masa jabatan 5 tahun untuk 2 periode, pelaksanaan pemerintahan diperkirakan tidak akan efektif, begitu juga pada periode 2, persaingan akan lebih marak lagi, karena disamping merebut kursi DPR namun perebutan untuk menjadi Calon Presiden akan lebih marak oleh masing-masing Partai, sehingga 5 tahun masa jabatan Presiden untuk 2 periode akan sangat tidak efektif dalam pelaksanaan pembangunan, begitu juga dengan pemilihan Kepala daerah yang cenderung memunculkan tokoh dengan kekuatan financial, namun miskin gagasan dan miskin enterprenuership, bahkan mungkin miskin manajemen.

Faktanya selama Periode Reformasi, minimalnya seja tahun 2004, sebanyak 124 Pejabat Kepala Daerah yang kena OTT KPK, begitu pula pejabat baik di Kementerian maupun anggota DPR, bahkan Pelaku pejabat publik terbanyak adalah para anggota DPR dan DPRD, yaitu dalam 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. Setelah itu, sejumlah politisi kembali diproses.

Kenapa ini harus terjadi terutama pada pejabat Kepala Daerah, Kmenterian dan DPR dan DPRD, yak arena system Pemilu kita yang seharusnya dikaji secara komprehensif, agar Demokrasi tidak berbiaya tinggi, jika berbiaya tinggi ya konsekwensinya pejabat berusaha untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji terkait dengan kebijakan pembangunan dan kebijakan public.

Diharapkan rencana amandemen UUD 1945 yang ke 5 ini, diamandemen melalui proses yang berakar dan merupakan kebutuhan berbangsa dan bernegara melalui tahapan ilmiah antara lain perlu kajian evaluasi tehadap implementasi pelaksanaan UUD 1945 secara komprenhensif dengan acuan adalah tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD 1945, agar terwujudnya Kesejahteraan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena kesejahteraan social itu tidak hanya berpikir tentang pertumbuhan ekonomi semata-mata, namun juga berpikir tentang sustainable development, kesetaraan dalam hokum, politik, Pendidikan, lapangan kerja, budaya, agama, Radikalisme dll (bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button